Jumat, 26 Juni 2009

TIADA ANAK YANG TAK SUKA BUKU

TIADA ANAK YANG TAK SUKA BUKU

Tidak perlu berharap banyak dari dosen yang tidak membaca dan menulis. Kita ikhlaskan saja mereka menunggu pensiun. Lebih baik kita pikirkan anak-anak dan generasi muda.

- Prof Budi Darma, PhD

Kata-kata di atas adalah pernyataan Prof Budi Darma, PhD dalam sebuah wawancara sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tidak bisa melupakan kata-kata Guru Besar Universitas Negeri Surabaya itu, yang juga sastrawan terkemuka di Indonesia. Saya sempat terkesiap. Ada kesan sinisme, tetapi sekaligus juga sangat masuk akal. Maka ketika saya membaca berita “Memprihatinkan, Produksi Buku Hanya 4.800 Judul Per Tahun” di Harian Bhirawa (Senin, 6 Oktober 2003), saya langsung teringat kata-kata profesor itu.

Dalam berita itu dilaporkan rasa prihatin Sekprop Jawa Timur Soekarwo SH, M.Hum saat mewakili Gubernur Jatim membuka Pameran Perpustakaan dan Bursa Buku dalam memperingati Gerakan Membaca Nasional 2003 di Kantor Badan Perpustakaan Jatim. Sekprop antara lain mengemukakan bahwa produksi buku di Indonesia hanya 4.800 buah judul per tahun dengan 80%-nya adalah buku pelajaran sekolah. Di negeri-negeri seperti AS dan Belanda, produksi buku mencapai 50.000 judul per tahun, dan di Jepang bahkan 100.000 judul. Kita juga kalah dengan Malaysia yang memproduksi 7.500 judul buku per tahun (padahal jumlah penduduknya hanya sekitar sepersepuluh dari penduduk Indonesia. Pen)

Sebagai perbandingan atas data yang dikutip Sekprop Jatim tersebut, ada data hasil penelitian Gibbs dalam bukunya Scientific American, yang dikutip Dr Mestika Zed, sejarawan dan dosen Universitas Andalas Padang. Data itu menyebutkan, produksi buku tahun 2000 di AS adalah 30,817%, Jepang 8, 224%, Inggris, 7,934%, Jerman 7,184%, Prancis 5,392%, Belanda 2,284%, India 1,643%, Singapura 0, 179%, Thailand 0,084%, Malaysia 0.064%, dan Indonesia 0,010%.

Memang menyedihkan. Tetapi yang lebih menyedihkan, situasi perbukuan seolah tak beranjak dari keadaan 30 tahun yang lalu. Buktinya, dalam sebuah laporannya pada 1973, badan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO), melaporkan keadaan Indonesia yang dilukiskannya mengalami book starvation (kelaparan buku), dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi.

Laporan UNESCO itu menyadarkan berbagai pihak untuk melakukan upaya memperbaiki keadaan. Yayasan Obor Indonesia (YOI), misalnya, sebuah organisasi nir-laba yang bergerak dalam aktivitas budaya, mengawali penerjemahan dan penerbitan buku-buku asing. Langkah itu dipandang akan sangat membantu wawasan berpikir masyarakat dan memperluas pengetahuan tentang sejarah, budaya dan masa depan Indonesia. Buku-buku yang diterjemahkan antara lain adalah Only One World karya Barbara Ward dan Rene Dubois, Human Environment and National Development karya Otto Sumarwoto, dan Peddlers and Princes karangan Clifford Geertz. Tentu saja, banyak yang telah dilakukan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dan organisasi-organisasi lain seperti Yayasan Obor Indonesia. Kemajuan sudah barang tentu juga telah banyak diraih. Namun, negara terbesar di ASEAN ini tetaplah saja tetap tercatat sebagai negara paling terbelakang dari industri perbukuan.

Penerbitan di Jatim

Masih panjang rasanya berbagai ilustrasi yang dapat disampaikan. Di Jawa Timur, misalnya, dari sekitar 80 penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), sebagian besar adalah penerbit-penerbit kecil. Para penerbit itu sering dikatakan belum bisa menjadi “tuan rumah di daerah sendiri”. Artinya, kebutuhan buku-buku masyarakat Jawa Timur, termasuk buku-buku sekolah, didominasi oleh buku-buku yang diterbitkan para penerbit di luar Jawa Timur.

Adalah para penerbit buku yang berkewajiban untuk memperbaiki keadaan dunia penerbitan itu. Para penerbit diharapkan selalu kreatif dan inovatif untuk mengembangkan bisnis bukunya. Tetapi pemerintah jelas tidak dapat lepas tangan dari tanggungjawabnya untuk mendorong iklim penerbitan buku yang lebih kondusif. Masyarakat kita -- yang bagaimana pun paternalistik -- membutuhkan keteladanan dari para pejabat dan tokoh masyarakat untuk mencintai buku-buku, agar senang membaca buku. Tetapi sayangnya, harapan untuk itu pun masih jauh.

Setiap kali Ikapi Jawa Timur mengadakan pameran buku, undangan bagi para pejabat termasuk wakil-wakil rakyat di DPRD tak pernah dilupakan. Namun sebagian kecil saja yang datang memenuhi undangan. Bahkan menurut Ketua Ikapi Jawa Timur Ir H. Udanarto Pudji Ludwinto, yang telah bergelut di dunia perbukuan lebih dari 25 tahun, belum pernah satu kali pun Gubernur Jawa Timur datang memenuhi undangan guna membuka pameran. Termasuk pada “Surabaya Book & Education Fair 2003” yang diselenggarakan di WTC Juli lalu. Walikota Surabaya juga tak pernah datang (Kalau pameran properti dan semacamnya kok selalu datang, celetuk seseorang). Padahal, pameran buku nasional di Jakarta selalu dibuka oleh Presiden dan di propinsi-propinsi lain selalu dibuka gubernurnya.

Meskipun begitu, Ikapi selalu berpikir positif. Selalu ditekankan, mungkin Gubernur harus menghadiri acara yang lebih penting. Berpikir positif memang jauh lebih bermanfaat daripada berpikir negatif, sekedar mengeluh dan menyalahkan pihak lain. Berpikir positif cenderung memberikan hasil-hasil positif, begitu kata para psikolog. Dan nyatanya, usai pameran, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo secara khusus mengirimkan pesan permintaan maafnya kepada panitia pameran karena tidak dapat membuka sendiri pameran buku tersebut.

Dengan berpikir positif, dunia penerbitan buku termasuk di Jawa Timur pasti dapat diperbaiki. Keadaan sekarang masih sulit, memang tidak bisa dibantah. Namun lebih baik selalu melihat sisi positif di balik setiap situasi yang negatif. Propinsi Jawa Timur adalah propinsi yang sangat kaya, penduduk yang lebih dari 35 juta adalah pasar buku yang luar biasa. Masih banyak harapan yang terbentang di depan. Dan semua harapan itu hendaknya tidak dikubur begitu saja.

Dari pembicaraan dengan sejumlah penerbit buku, mereka umumnya tetap optimistis menatap masa depan perbukuan. Masuk akal karena pada dasarnya semua orang butuh buku, paling tidak untuk anak-anak mereka. Semua orang pada dasarnya menginginkan anak-anaknya maju belajar untuk meraih sukses di masa depan. Ini semua tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan buku-buku yang cukup banyak dan bermutu.

Bagaimana dengan pandangan bahwa anak-anak kita makin menjauhi buku-buku dan lebih suka menonton televisi? Jawabnya adalah ‘tidak’. Pada dasarnya, tidak ada bayi yang tidak menyukai buku. Tiada anak yang tidak atau kurang menyukai buku-buku. Kalau pun kemudian ada, jelas hal tersebut bukanlah kesalahan sang anak. Tidak ada istilah sikap tidak menyukai buku adalah terkait dengan gawan bayi.

Marilah kaum pecinta buku, para pejabat yang concern pada masalah-masalah perbukuan, melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Sebagian warga masyarakat tak suka buku? Kaum terdidik, para dosen, doktor, profesor tidak mau menulis buku? Tidak apa-apa. Tidak perlu mengeluh, tidak perlu menyalahkan pihak lain. Justru tidak masuk akal berharap mereka yang menganggap diri intelektual dan ilmuwan untuk menulis buku. Seperti kata Prof Budi Darma, kita ikhlaskan mereka menunggu pensiun dan menikmati hari tua. Menjadi tugas para pecinta buku, para pegiat perbukuan, menghidup-hidupkan iklim perbukuan, mendorong anak-anak, termasuk anak-anak tetangga, dan anak-anak sekolah, untuk membaca buku-buku, agar mereka menjadi orang-orang pintar dan mau menulis buku-buku. Menjadi tugas mereka untuk berusaha bagaimana para pengusaha untuk tertarik memberikan sumbangan kepada proyek-proyek perbukuan. Masih ada hari esok di negeri ini.

Kita percaya masih adanya orang-orang di negeri ini yang memiliki kepedulian mendorong bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Orang-orang dengan impian besar itu mungkin tidak terlalu banyak. Tetapi, bukankah perubahan-perubahan besar dalam sejarah selalu digerakkan oleh sedikit orang?

Walhasil, kita juga tidak perlu berharap suatu perubahan besar dalam waktu sekejap. Apa yang penting adalah melakukan hal-hal kecil yang positif setiap waktu, setiap hari. Seperti dikemukakan pelukis terkemuka Vincent van Gogh (1853-1890): “Great things are not done by impulse, but by a series of small things, brought together.”.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar