Di Balik Pikiran Pengebom Bunuh Diri
Never in the field of human conflict was so much owed by so many to so few.
.
Winston Churchill
Pidato 20 Agustus 1940
Dunia tampaknya tidak pernah kekurangan orang-orang yang bersedia mati untuk tujuan tertentu. Orang-orang seperti itu, misalnya, seolah terus mengalir di Irak dan pengeboman dengan bunuh diri secara rutin menghancurkan hotel-hotel, pasar-pasar, pos polisi dan militer, gedung-gedung PBB bahkan masjid-masjid.
Laporan-laporan menyebutkan, senjata pilihan mereka biasanya mobil yang dipenuhi bahan peledak, tetapi juga baju rompi yang dipasangi bom. Semula para pelaku pengeboman tersebut dikira hanya orang-orang asing yang bertempur di Irak untuk mengusir pasukan asing. Namun menurut para pejabat intelijen Amerika, ternyata tidak.
Brigjen John Custer, Direktur Intelijen Komando Pusat AB Amerika di Washington mengatakan, terus tersedianya pengebom bunuh diri hanyalah mitos, seperti juga diyakini adanya pejuang asing di mana-mana di Irak. Cerita seperti itulah yang ingin didengar setiap orang, dan rakyat Irak tidak ingin mengakui bahwa sebagian pengebom bunuh diri itu mungkin juga orang-orang Irak, kata Custer suatu ketika.
Tetapi apapun pernyataan Custer, kenyataannya bom-bom bunuh diri terus berledakan di Irak. Meskipun tidak sesering sebelumnya, bom-bom bunuh diri juga berdentuman di kota-kota Israel. Di Sri Lanka, pemerintah juga masih bergelibat menghadapi pengebom bunuh diri Tamil yang seolah tidak habis-habisnya. Dan aksi yang paling spektakuler kiranya adalah aksi teror bunuh diri dengan membajak beberapa pesawat penumpang dan menabrakkannya ke Gedung WTC New York dan Markas AB Amerika, Pentagon, pada 11 September 2001. Ribuan orang tewas dalam insiden-insiden itu, yang kabarnya telah mengubah sama sekali paradigma warga Amerika tentang terorisme..
Kisah-kisah pengeboman seperti itu sebelumnya seolah hanya bisa terjadi di luar Indonesia. Tak mungkin hal seperti itu terjadi di negeri ini, begitu pandangan banyak orang. Tetapi ternyata pandangan itu salah setelah ledakan bom di Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan sekitar 250 orang, kebanyakan warga Australia. Pengeboman juga terjadi di Hotel JW Marriot Jakarta (2002), di depan Kedubes Australia di Kuningan, Jakarta (2004), dan terakhir di kawasan Jimbaran, Bali, pada 1 Oktober 2005 lalu yang menewaskan lebih dari 20 orang.
Pihak Kepolisian telah memastikan, setidaknya bom di depan Kedubes Australia dan di Jimbaran adalah bom bunuh diri. Dalam kejadian paling baru itu, polisi menyebut ditemukannya tiga kepala manusia yang terpisah dari tubuhnya. Foto-foto mereka telah disebarkan pula di berbagai kota dalam upaya mengenali tersangka yang sudah mati itu.
Tokoh teroris asal Malaysia Dr Azahari lagi-lagi dituduh sebagai otak pengeboman tersebut, sementara Mindano Selatan disebut-sebut sebagai asal bom dan tempat pelatihan para pelakunya. Dengan demikian, makin kuatlah pandangan bahwa memang ada orang di negeri ini, yang notabene puak Melayu seperti orang Malaysia dan Moro, yang juga berani menjadi pengebom bunuh diri.
Perspektif Sosiologis
Orang-orang tentu bertanya, apa yang membuat mereka bersedia membuat pengorbanan tertinggi dengan menyerahkan nyawa mereka? Untuk mengetahuinya, alasan-alasan sosiologis dan psikologis dalam bunuh diri harus dianalisa.
Pemikir sosial Prancis Emile Durkheim (1856-1919), mengatakan, ada tiga tipe dasar teori tentang bunuh diri. Pertama, bunuh egoistis, di mana seseorang melakukan bunuh diri jika ia gagal mengintegrasikan dirinya dengan keluarga dan masyarakatnya. Keyakinan dan sistem nilai orang itu tidak sepakati oleh nilai-nilai dan sistem kepercayaan masyarakat. Atau, orang itu tidak sepakat dengan masyarakatnya, sehingga menimbulkan pengasingan oleh masyarakat dan berakhir dengan bunuh diri egoistis.
Tipe kedua menurut Durkheim adalah bunuh diri anomik, di mana seseorang bunuh diri karena anarki di masyarakat. Jika terjadi gangguan terhadap kehidupan sehari-hari, khususnya terkait dengan masalah ekonomi akibat gangguan industri, keuangan dan sosial, orang itu merasa putus asa, yang mendorongnya bunuh diri. Di sini bunuh diri itu akibat frustrasi yang berbeda dengan tipe ketiga.
Apa tipe ketiganya? Tipe ini adalah bunuh diri altruistik, yang dilakukan karena perasaan integrasi seseorang dengan nilai-nilai sosial dan sistem kepercayaan. Nah, pembunuhan diri dengan serangan bom dewasa ini kiranya masuk ke dalam kategori altruistik.Seseorang yang melakukannya merasa jadi bagian dari suatu kelompok dan percaya bahwa tidak ada harapan bagi individu bila kelompok masyarakatnya terancam. Individu itu pun siap mengorbankan nyawanya sehingga kelompoknya bisa selamat. Kelompok dari pengebom bunuh diri tersebut juga meyakinkan bahwa kelompoknya terancam oleh kekuatan asing, baik secara budaya, ekonomi maupun politik. Untuk itu, perlu memahami kaitan antara masyarakat itu, sistem nilai dan keyakinannya, dan fenomena pengebom bunuh diri.
Pertama, faktor keluarga. Suba Chandran, periset di Institute of Peace and Conflict Studies, menyebutkan bahwa faktor-faktornya beragam dari hilangnya prestise dan pekerjaan hingga hilangnya nyawa akibat kebijakan pemerintah dan aparat keamanannya.Hal-hal seperti punya dampak negatif pada persepsi keluarga, khususnya generasi muda. Di Kashmir dan Sri Lanka, kebijakan pemerintah berakibat bangkrutnya bisnis keluarga, pengangguran, pembunuhan-pembunuhan dan kekerasan lainnya. Pandangan keluarga terhadap pemerintah yang melukiskannya sebagai penjahat punya pengaruh besar terhadap generasi muda sehingga mereka pun siap membela kehormatan dan masyarakatnya.
Kedua, sistem pendidikan membentuk sistem nilai dan keyakinan seseorang. Ketika sistem pendidikan tidak dikendalikan pemerintah, terbuka lebar peluang bagi aktor-aktor di luar pemerintah untuk menggunakan pendidikan untuk mengajarkan sejarah menurut versinya. Hal ini nyata terjadi di Kashmir, di mana banyak sekolah tidak dikontrol oleh pemerintah. Demikian juga di kawasan utara Sri Lanka yang dikuasai para pemberontak Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE). Sistem pendidikan dikuasai sepenuhnya organisasi pemberontak itu.
Ketiga, masyarakat mengajarkan nilai-nilai keyakinannya kepada individu-individu dan menuntut lebih dari mereka melalui para pemimpin kharismatik. Para pemimpin itulah yang mendifinisikan sejarah mereka, tujuan-tujuan dan masa depan masyarakatnya. Pemimpin LTTE Prabakaran, misalnya, merumuskan apa itu “Tamil Eelam” dan bagaimana mewujudkannya. Prabakaran dilukiskan bak dewa bagi masyarakat Tamil dan banyak kader Macan Hitam LTTE bersedia mati untuk perjuangannya. Apalagi untuk itu serangan-serangannya itu, mereka dijamu secara khusus untuk makan malam bersama Prabakaran.
Keterkaitan kharisma pemimpin dan pengebom bunuh diri juga terlihat dari kasus Partai Pekerja Kurdistan di Turki (PKK). Setelah pemimpin PKK Abdullah Ocalan ditahan pada Maret 1999, tidak ada lagi serangan bunuh diri oleh anggota PKK. Terdapat sekitar 20 serangan bunuh diri PKK dari 1966 hingga 1999, menewaskan 19 orang dan melukai lebih dari 100 orang. Tapi sejak 1999 tidak ada lagi.
Pengebom Bali
Sampai di sini kita bertanya, apa yang sebenarnya menggerakkan pengebom bunuh diri di Indonesia, termasuk pengebom Bali? Siapa sebenarnya mereka? Benarkah Jamaah Islamiyah seperti ramai diberitakan di media? Siapa pemimpinnya dan bagaimana pula kedekatan dengan anggotanya? Seperti apa pula kekuatan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan lain bisa sangat panjang dan mereka yang kreatif pasti bisa membuatnya jadi buku-buku. Kita bisa juga mengulas sejarah pengeboman bunuh diri modern, yang berawal pada 1980-an lewat Kelompok Hezbollah di Lebanon saat menyerang kepentingan Amerika di negeri itu. Sukses Hezbollah dalam serangan terhadap markas marinir AS dan menewaskan 240 marinir kemudian ditiru pemberontak Tamil di Sri Lanka, Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE), dengan serangan pertama kali di Kolombo pada 3 Juli 1987. Dan di seluruh dunia kini diperkirakan ada 17 organisasi yang telah menggunakan taktik ini
Walhasil, ada seribu satu pertanyaan yang bisa diajukan terkait dengan pengebom bunuh diri di negeri ini, termasuk di Bali. Kita membutuhkan jawaban-jawaban yang cerdas dan mencerahkan pikiran dalam upaya mencegah terjadinya serangan-serangan seperti itu di masa mendatang. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati luka-luka batin dan fisik yang telah terjadi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar