Jumat, 26 Juni 2009

pohon anti korupsi

Menanam Pohon Antikorupsi yang Sehat dan Kuat

Judul Buku : Memerangi Korupsi, Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia

Judul Asli : A Handbook on Fighting Corruption With Special Reference to Hong Kong

Experience And the United Nations Convention Against Corruption

Penulis : Ian Mc Walters, SC

Pengantar : Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos

Penerbit : JP Books

Cetakan : Pertama, 2006

Tebal : xii + 283 hlm

Oleh : Kun Haryono *)

Sulit bahkan mustahil. Itulah reaksi yang biasanya muncul ketika orang mendiskusikan pemberantasan korupsi yang terjadi negeri kita. Identifikasi yang gamblang terhadap berbagai macam tindak korupsi biasanya akan melemah dan hilang begitu saja ketika memasuki pencarian solusi.

Orang hanya geleng kepala, habis akal dan tak menemukan jalan keluar sementara korupsi tetap berlangsung. Maka tak heran jika orang kemudian berkesimpulan, inilah negeri paling korup tanpa koruptor.

Bisa dimaklumi jika frustrasi dan kemarahan melanda sebagian besar masyarakat karena tak kunjung mampu keluar dari jurang korupsi yang makin hari makin menggila. Dalam kemarahan dan rasa frustrasi yang sangat menekan sangat mungkin bangsa ini tidak akan sempat berpikir jernih, mencari akal bagaimana harus melawan.

Buku ini mengajak kita untuk berpikir jernih, menggunakan akal sehat dan tidak menggunakan kemarahan untuk melawan korupsi yang notabene adalah kejahatan yang tercipta karena intelektual dan pemikiran canggih.

Ada dua hal yang menjadi pesan utama buku ini. Pertama, marilah menoleh keluar agar bisa sedikit memperoleh oksigen pengisi dada kita supaya menjadi lebih lapang. Bahwa ternyata korupsi juga menjangkiti hampir semua bangsa di dunia ini sehingga pemberantasan korupsi juga menjadi urusan masyarakat internasional dengan dibuatnya Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang merupakan kulminasi dari berbagai upaya besar dan konsensus sejumlah besar negara. Pentingnya kerjasama internasional ini bisa dilihat dari pernyataan Sekjen PBB Kofi Annan yang mengatakan: apabila kejahatan bisa dilakukan antarnegara begitu pula seharusnya dengan proses penegakan hukum.

Dua prinsip utama yang mendasari UNCAC adalah bahwa korupsi merupakan kejahatan sosial yang harus diberantas melalui proses peradilan tindak kejahatan dan kedua agar proses peradilan tindak kejahatan menjadi efektif, peraturan-peraturan harus dibuat baik secara domestik maupun internasional.

Konvensi ini menangani korupsi dengan dua jalan: mencegah hal itu terjadi dan langkah-langkah untuk memeranginya secara efektif bila tindakan sudah terjadi. Langkah-langkah yang tercantum dalam konvensi ini secara terbatas dikutip dan dijelaskan penulis secara sekilas namun cukup inspiratif. (hlm. 8-16).

Ketidakjelasan definisi pelaku korupsi dan tindakan apa saja yang bisa dimasukkan kejahatan ini menjadi lebih jelas jika kita membaca buku ini. UNCAC membagi tiga kelompok orang-orang yang bisa terlibat tindak korupsi. Mereka adalah pejabat pemerintah, pejabat pemerintah asing dan orang-orang yang memimpin atau bekerja dalam kapasitas apapun di sektor swasta. Mereka bisa melakukan tindakan korupsi baik suap, nonsuap, memperkaya diri, penyalahgunaan jabatan hingga praktik bisnis yang tidak fair dan merusak masyarakat.(31-55)

Lihatlah Hong Kong

Pesan kedua yang bisa kita tangkap adalah sembari melanjutkan pemberantasan korupsi yang sedang berlangsung di negara kita, sangat bijaksana jika kita juga meneliti secara cermat perangkat antikorupsi yang kita miliki saat ini mulai perangkat peraturan perundangan, goodwill pemerintah, perangkat kelembagaan hingga dukungan masyarakat.

Buku ini mengajak kita melihat Hong Kong sebagai rujukan pemberantasan korupsi yang dinilai berhasil. Menurut Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos yang memberi kata pengantar buku ini, bukan saja Hong Kong telah diakui sebagai “pusat dunia untuk belajar pemeberantasan korupsi” tapi juga latar belakangnya sangat relevan dengan apa yang terjadi di Indonesia.

Tingkat korupsi di Hongkong, 30 tahun yang lalu, boleh dibilang sama dengan apa yang terjadi di Indonesia selama ini. Mereka juga mempunyai istilah bahwa “korupsi telah membudaya”. Begitu membudayanya sehingga petugas pemadam kebakaran yang sudah berada di lokasi amukan api pun tidak akan menyemprotkan airnya kalau belum disogok. Perawat yang sudah siap alat suntiknya di rumah sakit umum pun tidak akan mulai menginjeksi pasiennya kalau belum dapat penghasilan tambahan.

Pada saat itu 90% tindak korupsi dilakukan aparat negara mulai dari atas sampai paling bawah. Mulai pejabat kementerian hingga petugas di kampung-kampung sedang sisanya 10% dilakukan oleh swasta. Sampai kemudian dilakukan pemberantasan korupsi secara sistematis. Hasilnya, bukan saja berupa sistem ketatanegaraan dan kemasyarakatan yang sangat bersih tetapi juga kemajuan ekonomi yang luar biasa.

Perilaku korupsi dengan aneka macam variasi dari yang terang-terangan hingga super halus serta tindakan yang diambil kejaksaan Hong Kong bisa kita baca di buku ini. Seperti yang diminta Dahlan Iskan kepada penulis yang selama 10 tahun terlibat dalam pemberantasan korupsi di Hong Kong, buku ini membuat semacam “peta jalan” bagi pemberantasan korupsi bagi kita, lebih dari sekadar uraian-uraian umum yang referensinya sudah banyak mengisi kepustakaan di negara kita.

Kalau ada yang kurang mendapat porsi di buku ini adalah peran masyarakat. Betapapun pemberantasan korupsi bukanlah persoalan pemerintah atau aturan semata tetapi juga dukungan masyarakat. Dukungan itu akan menjadi lebih riel jika masyarakat juga dipandu secara teknis untuk berperan dalam pemberantasan korupsi.

Yang tak kalah menarik dari buku ini adalah pilihan yang disodorkan penulis dalam mengatasi hambatan pemberantasan korupsi yang sudah mengakar dan menyebar luas. Ia usulkan memberi “rapor merah” dan amnesti. Ampunan bagi kesalahan di masa lalu dan tiada ampunan bagi korupsi di masa mendatang. Seakan menyentak kesadaran kita, Dahlan Iskan memberi judul pengantarnya “Relakah Kita Memaafkan Koruptor? (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar