“Baca Buku, Berpikir dan Menjadi Kaya”
Kaya itu sangat penting. Ya, menjadi kaya memang sangat penting. Kata-kata ini mungkin masih kontroversial bagi sebagian orang. Anak-anak sekolah umumnya tidak diajarkan hal-hal seperti itu. Dalam berbagai cerita dan dongeng, orang-orang kaya sering diidentikkan dengan orang-orang yang kejam, culas dan kikir. Sebaliknya, orang-orang baik sering digambarkan hidup sederhana tetapi ramah dan penuh perhatian dalam membantu orang lain.
Dalam cerita-cerita rakyat di Jawa, kita juga sering mendengar bagaimana orang kaya sering dilukiskan memelihara tuyul (mahkluk halus yang kabarnya berujud bayi). Tuyul itu disebutkan ditugaskan untuk mencuri kekayaan orang lain di malam hari dan membawanya ke rumah orang yang memeliharanya. Ada juga cerita-cerita yang melukiskan bagaimana orang miskin bisa menjadi kaya asal mau menjalin perjanjian dengan makhluk halus tertentu, misalnya dengan mengorbankan anak kandungnya sendiri. Cerita seperti itu sering berakhir dengan kematian orang itu secara mengenaskan, misalnya dikeroyok massa.
Di masyarakat Kristen Eropa, cerita-cerita seperti itu juga tidak kurang. Tetapi orang-orang yang menjadi sasaran kebencian adalah orang-orang dari kelompok ras tertentu, yakni orang-orang Yahudi yang secara ekonomi lebih makmur. Dalam cerita yang berkembang ratusan tahun di Polandia, misalnya, orang-orang Yahudi digambarkan sebagai orang-orang yang sering mencuri dan membunuh bayi non-Yahudi lalu melemparkannya di sumur penduduk. Dengan cara itulah, menurut cerita berbau rasis itu, para pedagang dan rentenir Yahudi bisa mempertahankan kekayaannya.
Seiring dengan majunya peradaban manusia, cerita yang berkembang dari kepercayaan masyarakat itu semakin menghilang meskipun belum sepenuhnya. Orang-orang makin berpikir rasional mengapa sebagian sebagian orang bisa menjadi kaya sedang lainnya tetap miskin. Dunia pun bisa mempelajari mengapa orang-orang Yahudi sekarang ini bisa menjadi kelompok paling kaya dibanding orang-orang Kristen, Buddha, Islam, Sikh, dan Hindu. Sebuah penelitian internasional oleh Philip M. Parker seperti dikutip Time edisi 10 Maret 2003 menyebutkan, orang-orang Yahudi merupakan kelompok agama paling kaya dengan penghasilan 16.100 dollar/tahun. Setelah itu baru orang-orang Kristen (8.230 dollar), Buddha (6.740 dollar), Islam atau muslim (1.720 dollar), Sikh (702 dollar), dan Hindu (392 dollar).
Mengapa orang-orang Yahudi itu bisa menjadi begitu kaya? Sebagian orang mungkin akan menunjuk tulisan di Jewish Encyclopedia yang menyebutkan bahwa pada menjelang abad ke-10 saja orang-orang Yahudi sudah menjadi “menguasai” Eropa dengan kekayaannya. Ya, tapi bagaimana bisa? “Mereka berpikir, menggunakan otaknya,” kata mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad belum lama ini.
Mengapa Penting
Menjadi kaya memang sangat penting. Mengapa? Masyarakat Yahudi mungkin merupakan bangsa atau kelompok ras/agama yang paling mampu menjawab mengapa orang perlu menjadi kaya. Terlepas dari apa pun komentar orang, termasuk Karl Marx yang menyebut bahwa uang adalah Tuhan orang-orang Yahudi, mereka kini bisa “menguasai” dunia. Seperti dikatakan Mahathir, orang-orang Yahudi kini telah memerintah dunia lewat mandat, “mengatur orang-orang lain untuk berperang dan mati untuk mereka.”
Tetapi jelas, orang tidak perlu menjadi Yahudi untuk bisa menjadi kaya, apalagi ketika kekayaan itu membuat mereka menjadi arogan. Tetapi ia bisa belajar pada mereka, mengambil pelajaran yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Ia mungkin tidak bisa berspekulasi dengan bermain valas seperti George Soros, miliuner Yahudi yang dijuluki filantropis sekaligus perampok dan parasit. Tetapi ia bisa mengambil pelajaran bagaimana orang-orang Yahudi sangat mengutamakan pendidikan anak-anaknya sebagai kunci meraih kesuksesan.
Di tengah keterpurukan Indonesia sekarang ini – dililit utang raksasa dan kemiskinan di mana-mana – berpikir untuk menjadi kaya rasanya sangat penting. Sudah barang tentu, bukan menjadi kaya dengan korupsi, merampok dan menipu, tetapi menjadi kaya dengan cara yang benar dan jujur. Bukan kaya dengan bim salabim lampu Aladin, tetapi kaya dengan bekerja keras dan cerdas.
Menjadi kaya tidak bertentangan dengan ajaran agama mana pun. Islam tidak antikekayaan, demikian juga agama Kristen, Buddha, Hindu, dan sebagainya. Apa yang dilarang adalah tindakan-tindakan yang dilarang agama untuk menjadi kaya. Rich de Vos, miliuner Amerika pendiri Amway Corporation, suatu ketika ditanya wartawan apakah kekayaannya merusak imannya sebagai pemeluk Kristen? Ia menjawab ‘tidak’, justru ia merasa bertambah kuat imannya.
KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), mubaligh kondang dan kaya raya, punya jawaban yang tak kurang menariknya ketika ditanya tentang pentingnya menjadi kaya. Apa definisi kaya? Seberapa penting? Aa Gym menjawab: “Menurut Islam, yang disebut orang kaya itu adalah orang yang kalbunya kaya dengan kebaikan. Tapi tak ada salahnya orang yang kaya harta, hatinya juga kaya dengan kebaikan.”
Ia pun melanjutkan: “Kalau lihat negeri kita seperti sekarang ini, menjadi sebuah jihad bagi kita untuk membangkitkan ekonomi umat Islam. Karena, kalau ekonominya terbatas, kemampuan mengakses ilmu juga terbatas. Kalau lemah, umat Islam enggak berdaya untuk berbuat banyak kebaikan kepada orang lain. Saya melihat sahabat rasul hidupnya makmur. Rasul sendiri orang yang berlimpah hartanya. Dan sebaik-baiknya harta adalah kalau dimiliki orang yang saleh.”(Majalah Trust, No 8 & 9 Tahun I, 27 November-10 Desember 2002)
Aa Gym sendiri sekarang adalah sebuah model. Ia pintar berdakwah. Ia juga memiliki banyak perusahaan yang dikelola dengan baik sehingga dapat berkembang pesat. Ia berprinsip, dirinya harus punya penghasilan yang cukup agar tidak menjadi beban masyarakat dan bisa menjadi contoh bagaimana menjadi kaya dengan cara mendapatkan harta dan menafkahkan dengan benar pula. “Kalau saya hidup sederhana karena enggak punya uang, ya sudahlah enggak usah omong, namanya juga enggak punya uang. Sementara kalau saya kaya raya tapi hidup sederhana bersahaja dan menjaga kejujuran, mudah-mudahan orang lain bisa meniru,” kata Aa Gym pula.
Kaya dan jujur. Betapa indahnya rangkaian dua kata itu. Ketika anak-anak muda bermimpi menjadi pegawai negeri lalu terjebak dalam iklim koruptif yang menjadikannya kaya mendadak, menjadi kaya dalam jalan kejujuran mungkin menjadi impian yang naif. Begitu pula ketika iklim korupsi merajalela, terasa berkhayal saja menjadi pengusaha kaya tanpa menyogok pejabat untuk memenangkan tender, misalnya. Orang memang mudah terseret arus bila melihat banyak lingkungan sekitarnya melangkah tanpa memperhatikan aturan dan etika.
Tetapi negeri ini, meskipun korupsi disebut sudah merata dan tinggal masuk jurang, nilai-nilai kejujuran tetap masih dipegang oleh banyak orang. Seperti tak melihat praktik-praktik korupsi, banyak orang masih bekerja keras dan cerdas dengan memegang prinsip-prinsip kejujuran, suka memperhatikan orang-orang miskin dan lemah. Dan banyak di antara mereka yang sukses dalam beragam usaha bisnisnya. Bagi orang-orang seperti itu, sakbegjo-begjone wong kang lali isih begjo wong kang eling lan waspada. (Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa masih untung orang yang ingat [Tuhan] dan waspada).
Walhasil, menjadi kaya (dengan kejujuran) memang sangat penting. Terlalu banyak negeri ini orang-orang yang miskin, termasuk miskin wawasan kehidupan. Sudah jelas negeri ini membutuhkan sebanyak-banyaknya orang kaya, orang-orang yang mampu membangun bisnisnya dengan pikiran dan keringat sehingga tercipta kekayaan yang melimpah. Bukan kekayaan hasil merampok dan korupsi.
Orang-orang seperti itu, tak akan muncul dengan pikiran-pikiran punya tuyul atau jin brekasakan, tetapi melalui pembelajaran terus-menerus, membaca buku-buku dan menjalin hubungan baik dengan orang lain sebanyak-banyaknya. Mereka juga tidak akan menempuh cara-cara tidak jujur, dengan menyogok atau memberi peluang korupsi kepada pihak lain. Orang bilang, kejujuran sudah jadi barang langka. Tetapi kita mesti yakin bahwa selama bumi masih berputar, dua hal yang berbalikan masih tetap ada. Ada baik ada buruk.
Kemiskinan memang akan selalu ada. Tetapi sejarah juga mengajarkan bahwa kemakmuran masyarakat bisa diikhtiarkan oleh orang-orang yang berpikir dan dipercepat dengan beragam sarana, termasuk harta benda tentu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar