Kamis, 25 Juni 2009

jaringan amerika

Kisah Sebuah Odise

Abstrak:

Kisah Odise adalah perjalanan panjang penuh marabahaya yang harus ditempuh oleh Ulises setelah dia menyelesaikan tugas dalam Perang Toya, suatu perang yang sangat legendaris, sangat dahsyat, sangat lama, memakan begitu banyak korban, dan melibatkan begitu banyak ahli strategi. Perjalanan panjang manusia untuk mencari jati-diri, kematangan, dan kebenaran, juga sering diidentikkan dengan kisa Odise. Karena jati-diri, kematangan, dan kebenaran bersifat nisbi, kisah Odise tidak akan pernah berhenti.

Ilmu dan seni juga tidak akan pernah berhenti berkembang, karena ilmu dan seni berusaha mencari dan mengungukapkan kebenaran. Obyek ilmu dan seni sama, yaitu realita atau kehidupan. Perbedaan ilmu dan seni terletak pada sudut pandang dan cara pengungkapan kebenaran, namun ilmu dan seni tidak lain adalah sepasang saudara kembar siam. Bagaikan pisau bermata dua, sastra dan seni, dan sastra dan ilmu. Teori sastra dengan segala macam variasinya termasuk kritik sastra adalah seni yang muncul sebagai ilmu, dan karya sastra adalah ilmu yang muncul sebagai seni.

Karena dalam berhadapan dengan realita kita cenderung sinkronik, sastra kita juga cenderung hermeneutik. Dalam kehidupan kita bersikap luwes, dan dalam sastra kita komodatif terhadap keadaan-keadaan sesaat. Hermeneutik pada dasarnya non-epistemologik, sedangkan titik berat ilmu adalah epistemologi.

Sementara itu, kita terlanjur terbiasa menganggap sastra, baik sebagai seni maupun sebagai ilmu, sebagai sesuatu yang monolitik, lepas dari realita, seni lain, dan ilmu lain. Kelemahan kita menjadi ganda. Berhadapan dengan sastra sebagai seni kita menjadi canggung, apalagi sastra sebagai ilmu.

Dalam kisah Odise, kita berusaha menyulap kelemahan menjadi kekuatan. Agar kita dapat menanggapi sastra dengan benar, kita kembali ke realita, ke kehidupan. Kita simak gejala-gejala alam, gejala-gejala sosial, perilaku manusia, seni lain, dan ilmu lain. Dan Odise bukan sekedar perjalanan tanpa tanggung jawab moral. Setiap langkah dalam Odise adalah proses pendewasaan moral kita.

***

Drama alegori Abad Pertengahan selalu mengajarkan, bahwa salah satu dosa besar manusia adalah kemalasan. Padahal, dalam soal menurus kenaikan pangkat dan jabatan, saya sangat malas. Untunglah saya bekerja di lingkungan teman-teman yang mengasihi, mencintai, dan melindungi saya. Justru karena cinta-kasih itulah mereka saling meneror saya, yaitu meneror untuk mengurus kenaikan pangkat dan jabatan.

Dengan demikian, meskipun secara resmi saya sendiri yang mengucapkan pidato pengukuhan, dan saya sendirilah yang menulis pidato ini, sebenarnya keberadaan saya sebagai Guru Besar adalah juga keberadaan teman-teman saya. Mereka telah beberapa kali mengadakan komplotan untuk menjegal kemalasan saya, dan adalah kewajiban saya untuk ganti meneror mereka, agar mereka cepat naik pangkat dan jabatan.

Surat Pengangkatan saya sebagai Guru Besar sebetulnya berlaku sejak tanggal 1 April 1988. Karena kesulitan teknis, upacara pengukuhan baru dapat dilaksanakan sekarang. Sementara itu, pidato ini sendiri saya tulis pada tanggal 21 Agustus 1990. Mengapa? Karena sesudah tanggal itu, saya harus menghadapi tugas-tugas lain yang tidak mungkin saya elakkan. Dengan adanya beberapa penundaan tersebut, saya mohon agar pidato ini dianggap berlaku surut.

Dalam menulis pidato ini, dengan sendirinya saya harus sadar akan makna pidato pengukuhan. Karena berbagai alasan, yang mungkin tidak perlu saya rinci satu-persatu, saya mohon perkenan untuk bertindak sedikit lebih bebas. Dalam kebebasan inilah, pidato pengukuhan ini menghablur menjadi pidato konvokasi.

Sebelum saya masuk ke dalam konvokasi perlu saya beritahukan, bahwa disiplin ilmu saya adalah Sastra Inggris. Namun kita tahu, bahwa Sastra Inggris sebetulnya merupakan penyempitan sesuatu yang lebih luas, yaitu sastra pada umumnya. Sementara itu, karena kita berada di Indonesia, kita tidak mungkin melepaskan diri dari kondisi Indonesia. Karena itu, masalah sastra dalam pengertian yang luas dan sastra Indonesia tidak mungkin lepas dari konvokasi ini.

Sebenarnya, sastra sudah masuk ke universitas-universitas pertama di Eropa pada Abad Pertengahan, sekitar abad ke 11 dan ke 12. Pada waktu itu sastra masuk ke Universitas bersama-sama dengan agama dan filsafat. Tapi, sampai sekarang persepsi kita mengenai sastra masih sering keliru.

Banyak orang menganggap, bahwa sastra identik dengan kerja berteriak-teriak membaca puisi sambil pura-pura teler atau pura-pura menangis. Anggapan bahwa sastra identik dengan dunia para penderita inertia sampai sekarang juga masih merajalela. Sementara itu banyak orang sastra sendiri yang menganggap, bahwa sastra adalah dunia tersendiri yang lepas dari dunia lain.

Lalu bagaimana? Jangan tanya sekarang. Marilah kita masuk ke dunia lain, yang nampaknya sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan sastra. Kita ambil dua tokoh, yaitu tukang sulap spektakuler Houdini, dan juara tinju sejati Muhammad Ali. Mula-mula Houdini hanyalah seorang pemain akrobat. Dia meloncat dari satu tali ke tali lain, berjungkir-balik di udara, dan sekali tempo berpura-pura akan jatuh. Andaikata pikiran Houdini sama panjang dengan hidungnya, paling-paling akhirnya dia akan pensiun sebagai tukang loncat dan berjungkir-balik di udara. Tapi, ketahuilah, Houdini adalah ilmuwan, dan juga seniman. Dia pelajari psikologi massa, fisika, metalurgi, gejala-gejala alam, dan lain-lain dengan baik. Dengan kemampuannya untuk belajar itulah, dia sanggup menciptakan jurus-jurus ajaib yang membuat namanya terpaku dalam sejarah.

Pernah, pada suatu hari, dalam keadaan terikat rantai besi, Houdini digantung, juga dengan rantai besi. Berkat jurus-jurus ajaib yang dia ciptakan, dia sanggup mematahkan rantai itu dengan mudah, kemudian turun ke tanah dengan sikap yang sangat jumawa.

Bukan hanya itu. Pada suatu hari seluruh tubuhnya ditutup rapat dengan jaket besi, kemudian dia dimasukkan ke dalam kerangkeng besi. Lalu, kerangkeng itu diceburkan ke dalam air. Lagi, dengan jurus-jurus ajaib yang dia ciptakan, dia sanggup keluar dari air dalam keadaan tanpa jaket besi dan tanpa kerangkeng besi.

Keajaiban Houdini tidak hanya berhenti disitu. Dia kemudian sanggup membongkar kejahatan para dukun, tukang ramai, pembaca rajah tangan dan lain-lain. Dia sanggup membuktikan, bahwa mereka tidak lain hanyalah penipu belaka.

Sekarang marilah kita lihat Muhammad Ali. Kita tidak mungkin menganggap dia semata sebagai tukang bertarung. Lihatlah, misalnya, film-film mengenai dia sebelum dia merobohkan Sonny Liston dalam sebuah pertarungan legendaris pada tahun 1964.

Muhammad Ali ternyata bukan hanya jago dalam merobohkan lawan-lawannya. Dia juga sanggup berlari mundur dengan kecepatan yang mengagumkan. Sekian banyak cabang olah-raga dia kuasai dengan baik. Sejarah pertinjauan juga dia pelajari dengan teliti. Seperti juga halnya Houdini, dia juga mempelajari psikologi masa. Dan meskipun resminya dia tidak menerbitkan puisi, sebenarnya dia juga penyair.

Houdini dan Muhammad Ali mempunyai dua kualifikasi yang saling mendukung. Apa? Kualitas dan popularitas. Mereka memiliki kualitas sebab pada dasarnya mereka adalah ilmuwan, meskipun resminya mereka tidak muncul sebagai ilmuwan. Lihatlah apa yang mereka lakukan. Mereka belajar dengan tekun, melakukan serangkaian penelitian yang handal, dan menerapkan hasil penelitian mereka dengan seni yang tinggi. Karena mereka memiliki seni yang tinggi itulah, mereka memiliki popularitas.

Memang, kualitas dan popularitas dapat bertindak sebaga saudara kembar siam. Mengapa? Karena kualitas adalah puncak gunung es ilmu, dan popularitas adalah puncak gunung es seni. Sementara itu, orang awam hanya sanggup melihat puncak gunung es tanpa menyadari, bahwa sebenarnya kaki gunung es lebih fundamental daripada puncak gunung es itu sendiri. Bagi orang awam, Houdini hanyalah tukang sulap, dan Muhammad Ali hanyalah tukang meninju.

Kalau kita mau bersikap realistis kita akan menyadari, bahwa kehidupan ilmuwan dan seniman sebenarnya mempunyai titik-titik persamaan dengan kehidupan Houdini dan Muhammad Ali. Baik ilmuwan maupun seniman suka menyimak gejala-gejala alam, gejala-gejala sosial, prilaku manusia, dan lain-lain. Mana yang menjadi puncak gunung es, sebenarnya hanyalah masalah titik berat. Sebagian orang yang memiliki kualitas dan popularitas muncul sebagai ilmuwan, dan sebagian muncul sebagai seniman.

Kualitas dan popularitas dapat bertindak sebagai saudara kembar siam, karena ilmu dan seni adalah juga saudara kembar siam. Kita tahu, bahwa manusia tidak mungkin melepaskan diri dari nalurinya sebagai homo sapiens, homo faber, dan homo ludens.

Marilah kita lihat satu per satu. Pertama, ilmu. Hakikat ilmu adalah kognisi. Karena itu, manusia sebagai homo sapiens mempunyai naluri untuk selalu mengembangkan ilmu. Kedua, kerja keras. Karena itu, manusia sebagai homo faber sanggup menghasilkan teknologi sebagai akses ke arah produktivitas kerja dan kehidupan yang lebih baik. Ketiga, seni. Sebagai homo ludens, manusia sanggup berimajinasi dan berkreasi. Maka lahirlah seni.

Ilmu, kerja keras, dan seni memang merupakan mata rantai yang saling terkait. Tidak mungkin, misalnya, seorang ilmuwan memiliki kualitas dan popularitas manakala dia bermalas-malasan. Seniman juga tidak mungkin memiliki kualitas dan popularitas manakala dia hanya menggelandang, tidak pernah menyimak kehidupan, dan tidak pernah berkreasi.

Kita sudah berbicara mengenai puncak es. Lalu dimanakah letak kaki gunung es yang tidak nampak oleh mata kasap? Dengan sendirinya di bumi. Dan bumi adalah realita, yaitu kehidupan ini sendiri.

Lalu, apakah sastra? Bagaikan pisau bermata dua, sastra adalah ilmu, dan sastra adalah seni. Mana yang mana, tergantung pada titik beratnya. Teori sastra dengan segala variasinya, termasuk kritik sastra, adalah seni yang muncul sebagai ilmu. Novel, drama, cerpen, puisi, dan bentuk-bentuk sastra yang lain, tentu saja yang baik, adalah ilmu yang muncul sebagai seni.

Dengan demikian, dalam pengertian yang sebenarnya, teoritikus sastra dengan segala variasinya termasuk kritikus sastra bukanlah semata ilmuwan, tapi juga seniman. Pengarang, penyair, dan penulis drama dalam pengertian yang sebenarnya juga bukan semata seniman, tapi juga ilmuwan. Kaki mereka berpijak pada bumi yang sama, yairu realita. Mereka sanggup menghayati gejala-gejala alam, gejala-gejala sosial, perilaku manusia, ilmu-ilmu lain, dan seni-seni lain dengan cara mereka sendiri.

Kemudian, mereka mengungkapkan hasil penghayatan mereka juga dengan caranya masing-masing.


II

Agar kita dapat bertindak realistis, marilah kita mengadakan pengakuan. Apa? Kenyataan bahwa kita tidak mungkin melepaskan diri dari pengaruh Barat. Cara berpakaian kita, sistem pendidikan kita, bahkan perilaku kita, tidak mungkin seluruhnya kita anggap sebagai kreasi kita sendiri. Jenjang Guru Besar juga bukan kreasi kita sendiri, demikian juga tradisi pidato pengukuhan.

Sementara itu kita tahu, bahwa manusia selamanya mencari mitos. Ada mitos dangkal, ada pula mitos fundamental. Mitos dangkal dapat kita lihat, misalnya, pada usaha sementara orang untuk menirukan perilaku para pemain film, penyanyi, dan foto model. Sementara itu, mitos yang lebih fundamental dapat kita lihat antara lain pada simbol-simbol tradisi. Upacara adat dan ritual, termasuk upacara pengukuhan ini, adalah bayang-bayang kebutuhan manusia akan mitos.

Karena sebagaian kebudayaan kita adalah produk kebudayaan Barat, mau tidak mau orientasi mitos kita juga Barat. Marilah kita lihat dunia musik pop sebagai contoh mencolok. Kita pasti pernah mengenal nama para pemain musik terkemuka, seperti misalnya Janis Joplin, Jimmi Hendrix, dan Bruce Springsteen. Mereka berpakian aneh-aneh, dan berjingkrak-jingkrak seolah kesurupan. Maka, para pemain musik di banyak tempat, juga berbuat demikian.

Sementara itu kita tahu, bahwa pada mulanya, petingkah aneh-anehan para pemain musik terkemuka itu sebenarnya terjadi setelah bintang mereka mulai surut. Pada waktu bintang mereka sedang naik, justru pentingkah mereka lebih wajar. Ambillah Elvis Presley sebagai contoh. Ketika dia masih menyanyikan lagu-lagu awal, seperti misalnya “Be-Bop-A-Lula,” dia masih nampak wajar. Setelah menyadari bahwa bintangnya mulai menyurut, dia mulai melakukan doping. Kemudian, setelah bintangnya benar-benar melorot, setiap kali akan tampil dia mengenakan pakaian aneh-aneh seberat empat belas kilogram hanya untuk menutupi kelemahannya.

Kemudian muncullah Micahel Jackson dan Janet Jackson. Madonna kemudian menyusul. Suara mereka merdu, koreografi mereka idah, gerak tubuh mereka menawan. Popularitas mereka kemudian ditunjang oleh video. Sekarang seolah timbul anggapan, bahwa lagu tanpa koreografi nyaris mustahil. Bukan hanya itu. Banyak koreografi pengiring lagu yang kemudian cenderung sensual.

Bagaimana dalam ilmu? Kita ambil sebuah contoh. Setiap kali kita berbicara mengenai pendidikan, kita tidak bisa melepaskan diri dari orang-orang macam Ivan Paviov dengan paradigma stimulusnya, Jean Piaget dengan teori pengembangan kognisinya, Stanford-Binet dengan konsep I.Q-nya, dan lain-lain dengan segala macam variasinya.

Dalam sastra kita dipaksa untuk menerima sekian banyak teori. Ada strukturalisme, ada semiotik, ada dekonstruksi, dan enta apa lagi. Sementara itu kita tidak perduli terhadap gejala-gejala alam, gejala-gejala sosial, perilaku baik manusia Barat sebagai sumber teori maupun manusia Timur sebagai pemakai teori, ilmu-ilmu dan seni-seni lain. Hakikat teori sebagai proses pemikiran kita lupakan. Kita melihat teori semata sebagai formula untuk dihapalkan, bagaikan melihat Houdini semata sebagai tukang sulap dan Muhammad Ali semata sebagia petinju.

Lalu, bagaimana? Jangan khawatir. Ex Nihilo Nihil Fit. Tidak ada sesuatu yang berasal dari sesuatu yang tidak ada. Kalau ada ini pasti ada itu, dan kalau ada itu pasti ada ini.

Agar kita memperoleh postulat yang baik, marilah kita lihat logistik mental kita. Sekian banyak bukti telah menunjukkan, bahwa bangsa kita mempunyai kepribadian yang kuat. Lihatlah sejarah bangsa kita dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan. Sementara itu, segala usaha untuk menentang Pancasila pasti tumbang. Mengapa? Karena Pancasila adalah prinsip, demikian juga kemerdekaan. Terhadap hal-hal yang prinsip kita memang tidak pernah main-main. Dalam mempertahankan prinsip, kita selamanya kokoh dan tidak pernah tergoyahkan.

Lalu, bagaimanakah sikap kita terhadap hal-hal yang bersifat pelaksanaan? Ternyata kita lebih banyak bersikap sinkronik, yaitu menyesuaikan diri dengan keadaan. Sekian banyak peraturan yang sangat rasional, obyektif, dan sudah dipersiapkan begitu matang, ternyata lumer menghadapi keadaan-keadaan sesaat. Timbullah kebijakan-kebijakan, dan timbullah semacam konsensus, bahwa segala sesuatu dapat diatur. Baik di kantor maupun di sekolah dengan mendadak ada jam-jam libur, juga karena keadaan sesaat.

Bagaimana dalam seni? Kita lihat sekejap seni rupa. Kubisma macam Picasso dan Braque ternyata tidak dapat kita terima. Sementara itu, ekspresionisme macam Van Gogh dapat kita terima dan kembangkan, dengan puncaknya pada Affandi. Padahal, kubisme mempunyai unsur-unsur kolase. Dan kolase sangat dekat dengan kepribadian kita, seperti yang tercermin dalam ungkapan “manjing ajur ajer” yaitu menyatu dengan segalanya, menyatu dengan lingkungan.

Mengapa kubisme kita tolak? Mungkin karena kubisme menggambarkan kotak-kotak yang tegas, ruang-ruang yang jelas, dan garis-garis yang kaku. Dan kita tahu, bahwa kepribadian kita tidak demikian.

Memang, dengan munculnya sekian banyak proyek, sedikit demi sedikit kita dipernalkan dengan paket-paket. Kita terpaku pada tujuan tertentu, dana tertentu, dan alokasi waktu tertentu. Tapi, seperti yang dapat kita saksikan dalam sekian banyak paket, antara lain paket penelitian di perguruan tinggi, pikiran kita mudah lumer menghadapi keadaan sesaat. Dengan mendadak kita harus menghadiri rapat ini atau itu, dengan mendadak kita harus mengerjakan tugas-tugas lain, dan dengan mendadak pula kita pura-pura sibuk meskipun kita tidak sibuk. Maka, sekian banyak paket terpaksa tidak taat waktu dan tidak taat azas.

Sementara itu, kolase dapat kita terima dengan baik. Lihatlah misalnya, lukisan para pelukis akademik ITB dan juga lukisan batik Amri Yahya. Kolase memang menawarkan kelenturan, dan menolak kotak, ruang, dan garis yang tegar.

Bagaimana sastra kita? Ternyata, cerita-cerita punakawan, si kancil, si kebayan, dan cerita-cerita semacam itu telah menyebar ke dalam sastra Indonesia dalam berbagai bentuk dan variasi.

Hakikat punakawan, si kancil, si kebayan, dan cerita-cerita semacam itu adalah satire, parodi, dan aphorisme. Dalam teater, ketiga unsur tersebut sering menyatu. Sementara itu, aphorisme dapat kita lihat dalam syair-syair Melayu dan parikan-parikan ludruk. Lihat, misalnya, parikan Cak Durasim : “Pegupon omahe dara, melok Nippon awak sengsara,” memang, syair dan parikan boleh dibilang sudah surut. Tapi, dalam bentuk baru, kita dapat merasakan aphorisme misalnya dalam beberapa sajak Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, dan Sapardi Djoko Damono.

Satire, parodi dan aphorisme tidak hanya terdapat dalam sastra. Sukses awal majalah “Tempo” misalnya, juga terjadi antara lain karena gaya bahasanya yang berseloroh. Beberapa lagu Ebiet G. Ade terasa mantab antara lain juga karena aphorismenya.

Memang, cerita-cerita punakawan, si kancil, si kebayan, dan lain-lain cerita semacam itu sudah mempunyai pakem, yaitu semacam patokan yang baku. Namuun, dalam praktek, cerita-cerita itu banyak ditentukan oleh keadaan sesaat, seperti halnya kita menghadapi peraturan yang sudah baku. Lihatlah, misalnya, adegan gara-gara dalam wayang. Mengapa? Mungkin karena kita berpola pikiran hermeneutik.

Perlu saya jelaskan, bahwa hermeneutik disini bukanlah hermeneutik exegesis. Hermeneutik disini bukan penafsiran terhadap teks, melainkan terhadap kehidupan. Dan kehidupan kita selalu menawarkan keadaan-keadaan sesaat.

Mengapakah absurdisme dan surealisme dapat kita terima? Mungkin karena dua alasan. Pertama, absurdisme dan surealisme mengandung unsur-unsur satire, parodi, dan aphorisme. Novel-novel Iwan Simatupang tidak lain adalah lelucon, menertawakan situasi tidak menentu di Indonesia sewaktu Indonesia dilanda kemelut politik. Kedua, absurdisme dan surealisme akomodatif terhadap keadaan-keadaan sesaat. Lihatlah, misalnya, proses kreasi novel-novel Iwan Simantupang dan Putu Wijaya, dan juga teater Putu Wijaya dan Arifin C. Noor. Mereka sangat dipengaruhi oleh keadaan sesaat.

Teater dan ritual keagamaan di Bali, menurut cerita Putu Wijaya dalam sebuah penataran sastra dan bahasa di Pusat Bahasa dan pada tahun 1989, lebih kurang sama. Babi yang sekonyong menyelonong masuk ke dalam arena teater dapat menjadi bagian cerita, meskipun cerita aslinya tidak ada babinya. Dan kalau pada waktu pendeta berdoa sekonyong ada anjing mengganggu, maka gangguan anjing itu juga dapat menjadi bagian doa.

Ekspresionisme juga mempunyai unsur hermeneutik. Lihatlah cara kerja Van Gogh dan Affandi. Mereka lebih mempercayakan pada goresan-goresan sesaat, bukan pada rancang bangun.


III

Dalam wayang Bima digambarkan selalu berdiri, kasar tingkah lakunya. Kasar pula tutur bahasanya. Sebenarnya, dia tidak selamanya demikian. Dalam kisah Dewa Ruci dia pernah bersimpuh dan bertutur lemah lembut.

Sebagai mitos, Dewa Ruci adalah universal, seperti juga halnya Odise dalam kebudayaan Barat. Baik Dewa Ruci maupun Odise menggambarkan bahwa kedewasaan baru dapat kita capai, manakalah kita bekerja keras untuk mengenal diri sendiri.

Sementara itu, kebenaran dalam ilmu selalu bersifat sementara, demikian juga kebenaran dalam seni. Justru karena bersifat sementara, kita dipacu untuk terus mencari seperti halnya kisah Dewa Ruci dan Odise. Dan dalam mencari kita tidak mempunyai pilihan lain, selain bersikap pragmatis dan realistis, yaitu menyadari keadaan kita yang sebenarnya.

Kita sudah tahu bahwa kita berpola pikiran hermeneutik. Karena itu kita juga tahu, bahwa kita tidak berpola pikiran epistemologik. Dalam epistemologi segala sesuatu harus rasional, analistis, dan dapat di perhitungkan. Sebaliknya, hermeneutik cenderung untuk lebih intuitif. Dalam hermeneutik, peran common sense atau akal sehat lebih menonjol.

Dalam kehidupan sehari-hari, hermeneutik lebih banyak menawarkan kesempatan untuk menciptakan keselarasan. Sikap hermeneutik lebih kurang sebagai berikut :”Marilah kita berjalan, dan kalau nanti ada masalah, kita selesaikan masalah itu sesuai dengan keadaan nanti,”. Peluang untuk bermusyawarah dan mempertemukan pendapat, dalam hermeneutik, lebih terbuka.

Dalam usaha untuk mengenal diri sendiri, dengan sendirinya kita selalu berusaha untuk menyulap kelemahan menjadi kekuatan. Sebagai makhluk yang berpola pikiran hermeneutik, kelemahan kita terletak pada daya analisa, dan kekuatan kita terletak pada intuisi. Kita kurang mampu menganalisa, dan kita lebih mampu untuk mempergunakan common sense atau akal sehat.

Kalau kita mau menyombongkan diri, kita dapat menganggap diri kita masing-masing sebagai Ronggowarsito-Ronggowarsito kecil. Kita bukan tipe orang-orang semacam Alvin Toffler (The Third Wave) dan John Naisbitt serta Patricia Aburdene (Megantrends 2000). Karena kita belum terbiasa mengumpulkan data dengan akurat dan menganalisanya dengan jitu. Kecenderungan kita, sekali lagi, adalah non-epistemologik. Karena itu, kalau kita mau berbicara secara ekstrim, kita memiliki pawang-pawang hujan yang sanggup menunda dan memindahkan hujan tanpa sanggup mempertanggung-jawabkannya secara ilmiah.

Sementara itu, kita sudah terlanjur terbiasa melihat seni dan ilmu hanya sebagai puncak-puncak gunung es. Kkalau kita mau menyulap kelemahan ktia menjadi kekuatan, kita kembali ke realita, yaitu kehidupan sendiri. Kita hayati gejala-gejala alam, gejala-gejala sosial, perilaku manusia, ilmu-ilmu lain, dan cabang-cabang seni lain. Kalau kita sanggup berbuat demikian, maka kita akan mengenal sastra bukan sebagai deretan kata-kata atau dongeng belaka. Teori sastra juga tidak kita anggap sebagai formula untuk dihapalkan, namun sebagai proses pemikiran.

Kekuatan Intuituf pada hakikatnya transendental, yaitu kekuatan common sense atau akal sehat tanpa penggunaan seperangkat teori dalam pengertian yang formal. Houdini dan Muhammad Ali juga tidak mempergunakan teori sebagai teori dalam pengertian formal, karena mereka langsung terjun ke dalam kehidupan, dan mempelajari masalah-masalah lain di luar persulapan dan pertinjauan.

Disamping menyulap kelemahan menjadi kekuatan, kita juga mempunyai kewajiban lain yang lebih penting, yaitu memiliki akhlak yang tinggi. Mengapa? Karena ilmu dan seni pada hakikatnya netral, dan karena itu dapat dimiliki oleh siapapun, lepas dari apakah orang itu buta moral atau tidak.

Bukan hanya orang-orang berbudi luhur saja yang sanggup memiliki kualitas dan popularitas. Para penjahat perang pun, seperti Hitler dan Jenderal Tojo, sanggup memiliki kualitas dan popularitas. Mereka suka berpikir dan bekerja keras, serta melaksanakan niat-niat mereka dengan seni yang tinggi.

Sebelum pidato ini mencapi titik penutup perlu saya sampaikan, bahwa gagasan-gagasan dalam pidato ini sebenarnya sudah pernah saya kemukakan dalam berbagai forum. Apa yang saya kemukakan disini sebenarnya bukan gagasan-gagasan baru. Karena itu, saya mohon kebebasan untuk tidak mencantumkan referensi. Sementara itu saya yakin, segala sesuatu dalam pidato ini pasti rentan, baik terhadap verifikasi maupun falsifikasi. Katarsis dalam seni dan ilmu, dan juga dalam kehidupan, pada hakikatnya juga bersifat sementara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar