Jumat, 26 Juni 2009

artikel 3

Citra AS Saat Presiden Bush Bertamu

Reaksi terhadap kunjungan Presiden Amerika Serikat George W. Bush ke Indonesia hari ini sungguh luar biasa. Reaksi-reaksi tersebut umumnya bersifat menentang kunjungan tersebut. Penentangan itu disertai dramatisasi suasana oleh sementara kalangan, di antara “atraksi ritual” ala tokoh paranormal Ki Gendeng Pamungkas dengan maksud “menyantet” Presiden Bush.

Sebagai seorang tamu negara, Presiden Bush selayaknya mendapat penghormatan yang baik dan wajar. Dalam hal ini pemerintah Indonesia telah melakukan persiapan yang luar biasa karena tamu kali ini memang istimewa, seorang pemimpin negara adikuasa yang pengaruhnya di dunia memang sangat besar. Operasi pengamanannya pun sedemikian rupa rumitnya. Ada kesan, seperti kunjungan Presiden Ronald Reagan di Bali pada 1980-an, pihak keamanan Amerika mendikte aparat keamanan negeri ini.

Mengapa aksi penentangan terhadap Bush begitu besar? Semua orang kiranya sudah tahu. Berbagai kebijakan Presiden Bush beberapa tahun terahir ini dinilai sewenang-wenang oleh banyak pihak di dunia. Menyusul peristiwa peledakan Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York 2001, Amerika di bawah Bush telah menyerang dan menghancurkan Irak dan Afghanistan. Berbagai sikap dan tindakannya yang terkait dengan serangan itu pun telah menyakiti berjuta-juta orang di dunia. Bush, misalnya, seolah tutup mata di saat Israel menghancurkan Lebanon beberapa bulan lalu, dengan alasan untuk melenyapkan Kelompok Hizbullah..

Tidak sedikit barangkali yang memandang bahwa ketidaksukaan – atau kebencian – terhadap Bush hanya datang dari dunia Islam, padahal sama sekali tidak. Kebencian terhadap Bush juga ditunjukkan oleh banyak negara non-muslim. Sejumlah negara Amerika Latin seperti Venezuela dan Bolivia yang mayoritas Kristen juga menunjukkan ketidaksukaan. Di Nikaragua, Daniel Ortega, pemimpin yang dulu tersingkir berkat dukungan Amerika, belum lama ini terpilih kembali menjadi Presiden.

Di dalam negerinya sendiri, Bush juga tidak disukai, terbukti dari kekalahan Partai Republik dalam pemilihan sela awal November. Dominasi partai itu di Kongres (Senat dan DPR) digusur Partai Demokrat. Jadinya Presiden Bush sekarang ibarat “bebek lumpuh”.

Sebagai representasi Amerika, kebijakan Bush tentu saja menjatuhkan citra negeri itu. Boleh dikatakan, citra Amerika sekarang ini paling buruk dalam beberapa dekade terakhir. Terutama di negara-negara Islam, citra Amerika boleh dikatakan “sedang bangkrut”. Jelas, Amerika tidak tinggal diam. Jutaan dollar dikeluarkan tiap tahunnya dalam bentuk iklan, majalah-majalah, brosur-brosur dan lainnya untuk mendokrak citra Amerika yang terpuruk. Para diplomat, dibantu para tokoh ternama negeri itu, dengan rajin berbicara tentang kebijakan-kebijakan pemerintahnya.

Tetapi seperti pernah dilaporkan Kantor Akuntan Umum ( GAO), pengawas Kongres AS yang melakukan jajak pendapat di negara-negara Islam, citra Amerika memang sangat merosot dibanding sebelum peristiwa 11 September 2001. Survei tersebut melibatkan antara lain Yordania, Lebanon, Maroko, Indonesia, Turki, dan Pakistan. Di Yordania, persentasenya menurun dari 25 persen pada pertengahan tahun 2002 menjadi satu persen pada awal 2003. Di Lebanon, jumlahnya turun dari 35 persen menjadi 27 persen pada periode yang sama. Di Indonesia, tingkat popularitas Amerika turun dari 75 persen menjadi hanya 15 persen! Mau tahu keadaannya sekarang? Silakan lakukan survei. Bisa diyakini hasilnya tak akan jauh berbeda.

Namun kebencian dunia terhadap Amerika itu barangkali juga wajar. Terutama terkait dengan serangan militer terhadap Irak pada 21 Maret 2003, dunia telah menentangnya. Apalagi sekarang, di saat Amerika telah menghancurleburkan Irak. Rakyat Amerika yang sebelumnya mendukung, kini berbalik menentang karena jumlah tentang Amerika yang tewas telah lebih dari 3.000 orang.

Amat Tragis

Terpuruknya citra Amerika sekarang ini bolehlah dibilang sangat tragis. Amerika Serikat adalah bangsa besar pionir demokrasi. Para pendiri negeri itu adalah para pembebas orang-orang dan kelompok tertindas sehingga memberikan inspirasi kepada banyak pemimpin dunia tentang kemerdekaan dan kebebasan.

Presiden Soekarno dalam kunjungan kenegaraan ke Amerika pada 1956, mempesona banyak warga AS ketika ia memuji para bapak bangsa itu. “Adalah Amerika yang sekarang ini, yang merupakan tempat pengolahan teknologi Amerika, yang telah melampaui kemajuan bangsa-bangsa lain, yang menjelma menjadi bangsa yang besar,” kata Bung Karno.

“Amerika dewasa ini, yang merupakan suatu keajaiban dunia dengan segala pengaruhnya terhadap bangsa-bangsa di dunia, adalah anak hasil perkawinan antara Amerika yang revolusioner zaman (George) Washington, (Thomas) Jefferson dan (Abraham) Lincoln dengan Amerika yang teknologis yang diliputi oleh semangat teknis dari (Thomas) Edison dan (Henry) Ford.”

“Tembakan yang dilepaskan di Lexington pada 19 April 1775 telah terdengar di seluruh dunia. Gemanya masih tetap dirasakan dalam sanubari mereka yang baru mencapai kemerdekaannya, dan di dalam sanubari bangsa-bangsa yang masih berjuang menentang ikatan-ikatan penjajahan,” kata Bung Karno pula.

Sekarang, Amerika adalah negeri yang tetap besar. Meskipun kekuatan ekonominya mungkin akan segera disalip Tiongkok, Amerika tetap pemegang supremasi banyak bidang. Amerika tetap tujuan banyak kaum imigran, tempat berkumpulnya orang-orang pintar, genius, dan kaum plutokrat yang amat kaya raya. Tetapi makna kebesaran bangsa yang disebut “pendekar hak-hak asasi manusia” itu memang sudah jauh berubah. Bagaimana disebut pendekar HAM ketika pada saat yang sama Amerika justru ikut menindas semangat demokrasi dan penghormatan terhadap HAM?

Amerika mengatakan, Irak diserang karena pemimpin Irak Saddam Hussein menumpuk senjata kimia. Sampai sekarang, saat Saddam telah divonis hukuman gantung oleh pengadilan Irak, Presiden Bush (dan rekannya di Inggris, PM Tony Blair) tidak bisa menunjukkan bukti adanya senjata kimia.

Kebohongan Bush dikomentari oleh mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela dalam wawancara dengan Newsweek. Mandela menyebut, Bush memang tidak dapat membuktikan tuduhannya. Namun, kata Mandela, masyarakat dunia tahu benar adalah Israel memiliki senjata pemusnah massal, tetapi Amerika tidak pernah mempersoalkannya.

Tokoh Afrika Selatan lainnya, Uskup Desmon Tutu, memperjelas pernyataan Mandela dengan mengatakan, umumnya politikus Amerika memang tidak berani mengritik kebijakan pro Israel. Kekuatan Lobi Israel yang luar biasa mampu membungkam mulut dan hati para politikus. “Mereka tidak berani berbicara jujur karena begitu besarnya kekuatan Lobi Israel,” kata Uskup Desmond Tutu.

Dapatkah Amerika kembali menjadi sumber inspirasi para pejuang yang menggunakan hati nurani? Butuh keajaiban, barangkali. (*)

* Djoko Pitono, Jurnalis dan Editor Buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar