Jumat, 26 Juni 2009

Analisa Teoritis Gempa Bumi

Analisa Teoritis Gempa Bumi; Belajar dari Bencana Aceh

Minggu, 9 Januari 2005
POSISI geografis kepulauan Indonesia yang sangat unik menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana. Kepulauan Indonesia termasuk dalam wilayah Pacific Ring of Fire (deretan gunung berapi Pasifik), yang bentuknya melengkung dari utara Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara hingga ke Sulawesi Utara. Kepulauan Indonesia juga terletak di pertemuan dua lempeng tektonik dunia dan dipengaruhi oleh 3 gerakan, yaitu Gerakan Sistem Sunda di bagian barat, Gerakan Sistem pinggiran Asia Timur dan Gerakan Sirkum Australia. Kedua faktor tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung berapi dan gempa bumi.

Kondisi geologi Indonesia yg merupakan pertemuan lempeng-lempeng tektonik menjadikan kawasan Indonesia ini memiliki kondisi geologi yang sangat kompleks. Selain menjadikan wilayah Indonesia ini kaya akan sumberdaya alam, salah satu konsekuensi logis kekompleksan kondisi geologi ini menjadikan banyak daerah-daerah di Indonesia memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana alam. Beberapa diantaranya adalah rawan gempa bumi, tsunami serta rawan letusan gunung api disepanjang ring of fire dari Sumatra, Jawa, Bali, Nusatenggara, Banda, dan Maluku. Namun, bukan berarti pemahaman akan resiko tinggal di daerah dengan kerawanan bencana tinggi ini menjebak kita pada pemikiran sempit bahwa kita sedang menjalani "takdir hitam". Alam selalu bertindak jujur, adil, berjalan dengan aturan, rambu-rambu dan petunjuk, tanda-tanda yang amat jelas bagi yang bersedia memahaminya dengan tawadlu' dan kerendahan hati.

Gempa di Aceh yang diikuti tsunami dengan ratusan ribu korban jiwa dan kerugian materi yang tak terhitung, untuk kesekian kalinya menghenyakkan kesadaran dan mengguncang jiwa kita. Gempa yang mulai terjadi hari Minggu (26/12) tersebut sampai saat ini masih terus berkelanjutan dengan gempa-gempa susulannya. Sampai dengan tanggal 29 Desember 2004, sudah tercatat getaran-getaran dengan kekuatan 5-9 Skala Richter sebanyak 40 kali, dan belum jelas terlihat tanda-tanda kapan akan berhenti.

Kekuatan gempa yang terjadi di Samudera Hindia, atau berjarak 149 km sebelah barat Meulaboh, NAD, itu terpantau oleh Global Seismic Network sebesar 8,2 Mw (Moment Magnitude). Sementara itu, data seismograf di Pusat Gempa Nasional (PGN) Jakarta menunjukkan bahwa gempa hari Minggu pagi itu berkekuatan 6,8 Skala Richter (SR). Namun, laporan CNN menyebutkan bahwa kekuatan gempa tersebut mencapai 8,9 SR, sedangkan jaringan televisi BBC merujuk angka 8,5 SR.

Gempa ini selain menimbulkan getaran yang kuat juga menyebabkan timbulnya deformasi vertikal di sumber gempa. Deformasi yang berupa penurunan permukaan dasar laut mengakibatkan penjalaran energi kinetik menjadi gelombang tsunami di pantai. Daerah yang rawan tsunami adalah daerah yang berpantai landai dan berupa teluk. Pada daerah teluk, energi gelombang terperangkap hingga naik ke darat.

Karakteristik Gempa Bumi

Gempa adalah sentakan asli pada kulit bumi sebagai gejala penggiringan dari aktifitas tektonisme maupun vulkanisme dan kadang-kadang runtuhan bagian bumi secara lokal. Yang dapat dirasakan pada saat gempa bumi terjadi adalah getaran bumi tempat kita berada pada saat itu. Bumi bergoyang ke samping dan ke atas. Itulah gelombang gempa yang sampai ke tempat kita. Pada waktu mengalami gempa kita tidak tahu dari mana gempa itu datang, sehingga kita tidak tahu ke arah mana lari harus lari untuk menjauhi sumber gempa.

Ada tiga gelombang gempa yaitu:

Gelombang longitudinal yaitu gelombang gempa yang merambat dari sumber gempa ke segala arah dengan kecepatan 7 - 14 km per detik. Gelombang ini pertama dicatat dengan seismograf dan yang pertama kali dirasakan orang di daerah gempa, sehingga dinamakan gelombang primer.

Gelombang Transversal yaitu gelombang yang sejalan dengan gelombang primer dengan kecepatan 4 - 7 km per detik, dinamakan juga gelombang sekunder.

Gelombang panjang atau gelombang permukaan, yaitu gelombang gempa yang merambat di permukaan bumi dengan kecepatan sekitar 3,5 - 3,9 km per detik. Gelombang inilah yang paling banyak menimbulkan kerusakan.

Getaran gempa ada yang horizontal dan ada yang vertikal, sehingga alat pencatatnya juga ada macamnya. Seismograf horizontal terdiri atas massa stasioner yang digantung pada tiang dan dilengkapi engsel di tempat massa itu digantungkan serta jarum di bagian bawah massa itu. Jika ada gempa massa itu tetap diam (stasioner) sekalipun tiang dan silender di bawahnya ikut bergetar dengan bumi. Akibatnya terdapat goresan pada silender berlapis jelaga. Goresan pada silender itu berbentuk garis patah yang dinamakan seismogram. Pada seismograf vertikal, massa stationer digantung pada pegas, yang berfungsi untuk menormalkan gravitasi bumi. Pada waktu getaran vertikal berlangsung, tempat massa itu digantung dan silender alat pencatat ikut bergoyang, namun massa tetap stationer, sehingga terdapat seismogram pada alat pencatat.

Di sebuah stasiun gempa dipasang dua seismograf horizontal yang masing-masing berarah timur-barat dan utara-selatan. Dengan dua seismograf ini tercatat getaran berarah timur-barat dan utara-selatan, sehingga dari resultannya petugas dapat menentukan arah episentrum. Dibantu oleh sebuah seismograf vertikal yang dipasang bersama kedua seismograf tadi, dapat ditentukan letak episentrum gempa tersebut. Untuk mencatat getaran yang lemah, diperlukan seismograf yang sangat peka. Namun, getaran yang terlalu kuat membuat seismograf tidak mampu membuat catatan, karena tangkai alat pencatat bisa mengalami kerusakan.

Untuk menentukan lokasi episentrum terhadap suatu tempat, dapat digunakan beberapa cara, diantaranya:

>> Menggunakan beberapa tempat yang terletak pada satu homoseista.

>> Menggunakan tiga seismograf yang ditempatkan di sebuah statiun gempa.

>> Menggunakan tiga tempat yang telah diketahui jarak episentralnya.

Jarak episentarum dapat dihitung dengan menggunakan Rumus Laska sebagai berikut:

( = {(S - P) - 1') x 1 megameter

( = jarak episentrum

S - P = Selisih waktu antara gelombang primer dan sekunder yang dicatat pada

seismograf dalam satuan menit.

1' = Satu menit merupakan pengurangan tetap.

1 megameter = 1000 kilometer

Ada beberapa macam skala gempa yang digunakan untuk mengetahui berapa besar intensitas getaran gempa, di antaranya Skala Mercalli, Skala Derossiforel, Skala Omori, Skala Cancani dan Skala Richter

Tsunami

Tsunami adalah istilah dalam bahasa Jepang yang pada dasarnya menyatakan suatu gelombang laut yang terjadi akibat gempa bumi tektonik di dasar laut. Magnitudo Tsunami yang terjadi di Indonesia berkisar antara 1,5 - 4,5 skala Imamura, dengan tinggi gelombang Tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara 4 - 24 meter dan jangkauan gelombang ke daratan berkisar antara 50 sampai 200 meter dari garis pantai. Berdasarkan Katalog gempa (1629-2002) di Indonesia pernah terjadi Tsunami sebanyak 109 kali, yakni 1 kali akibat longsoran (landslide), 9 kali akibat gunung berapi dan 98 kali akibat gempa bumi tektonik.

Yang paling mungkin dapat menimbulkan tsunami adalah gempa yang terjadi di dasar laut, kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km, magnitudo gempa lebih besar dari 6,0 skala Richter, serta jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau sesar turun. Gempa yang menimbulkan tsunami sebagian besar berupa gempa yang mempunyai mekanisme fokus dengan komponen dip-slip, yang terbanyak adalah tipe thrust (Flores 1992) dan sebagian kecil tipe normal (Sumba 1977). Gempa dengan mekanisme fokus strike slip kecil sekali kemungkinan untuk menimbulkan tsunami. Ancaman gempa tsunami berada sepanjang pertemuan lempeng mulai dari timur Kepulauan Maluku, selatan Nusat Tenggara dan Jawa, hingga barat Sumatera. Umumnya gempa subduksi di laut yang berkekuatan minimal 6,2 Skala Richter sudah dapat menimbulkan gelombang tsunami. Namun yang lebih kecil dari itupun dapat mengakibatnya gelombang pasang tergantung lokasinya dan pola subduksi serta topografi dasar laut.

Kata tsunami baru populer di Indonesia sejak terjadinya bencana tsunami di Flores, 12 Desember 1992. Dapat dimaklumi kalau tsunami belum dipahami secara benar. Tsunami seringkali disalahartikan sebagai gelombang pasang (tidal wave). Padahal sangat berbeda artinya. Gelombang pasang terjadi karena adanya gaya tarik bulan terhadap bumi. Sedangkan tsunami, berasal dari bahasa Jepang tsu dan nami yang arti harfiahnya adalah gelombang di pelabuhan, terjadi karena adanya gangguan impulsif pada air laut akibat terjadinya perubahan bentuk dasar laut secara tiba-tiba. Penyebabnya dapat berasal dari tiga sumber, yaitu: Gempa, letusan gunung api, dan longsoran yang terjadi di dasar laut.

Dari ketiga penyebab timbulnya tsunami, gempa merupakan penyebab utama. Besar kecilnya gelombang tsunami sangat ditentukan oleh karakteristik gempa yang menyebabkannya. Gempa-gempa yang paling mungkin dapat menimbulkan tsunami adalah gempa yang terjadi di dasar laut, kedalaman pusat gempa kurang dari 60 km, magnitudo lebih besar dari 6.0 Skala Richter (SR), serta jenis pensesaran gempa tergolong sesar naik atau sesar turun. Gempa-gempa semacam ini biasanya terjadi pada zona subduksi, zona bukaan, dan zona sesar.

Kecepatan penjalaran gelombang tsunami berkisar antara 50 km sampai 1.000 km per jam. Pada saat mendekati pantai kecepatannya semakin berkurang karena adanya gesekan dasar laut. Sedangkan tinggi gelombang tsunami justru akan bertambah besar pada saat mendekati pantai.

Tinggi gelombang tsunami mencapai harga maksimum pada pantai berbentuk landai dan berlekuk seperti teluk dan muara sungai. Pada pantai semacam ini, tinggi gelombang tsunami dapat mencapai puluhan meter. Sebagai contoh, gempa Flores 1992 dengan magnitudo 6.8 SR secara teoritis akan menghasilkan gelombang tsunami setinggi satu sampai dua meter di episenter gempa. Namun pada saat tiba di pantai Flores gelombang tsunami mencapai ketinggian maksimum sekitar 24 meter.

Dari tahun 1900 sampai 1996 setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia. Lima belas di antaranya terjadi di kawasan timur Indonesia yang memang dikenal sebagai daerah seismotektonik aktip dan kompleks. Tsunami tersebut diakibatkan oleh aktivitas

kegempaan yang terdapat pada zona-zona seismmotektonik aktip seperti zona subduksi, zona bukaan, dan zona sesar yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia.

Lima bencana tsunami (Banda 1938, Sigli 1967, Bandanaira 1975, Sumba 1977, dan Banyuwangi 1994) diakibatkan aktivitas zona subduksi Sunda-Banda yang terletak memanjang dari kepulauan Andaman sampai ke laut Banda. Aktivitas zona sesar naik yang terletak memanjang dari utara Bali sampai ke Alor menghasilkan tiga tsunami di Ende 1908, Larantuka 1982, dan Flores 1992. Tsunami-tsunami yang terjadi di Tinambung 1967, Sulteng 1968, Majene 1969, dan Mamuju 1984 diakibatkan aktivitas zona bukaan yang terletak di Selat Makassar. Aktivitas zona sesar Palu-Koro dan sesar Sorong yang melalui Palu, utara Pulau Buru sampai ke selatan Biak telah mengakibatkan empat bencana tsunami yang terjadi di Teluk Tomini 1938, Sana Maluku 1965, Sanana Maluku, 1975 dan Toli-Toli 1996.

Bencana tsunami yang terjadi di Indonesia diakibatkan gempa-gempa dangkal dan kuat yang terjadi di dasar laut. Gempa-gempa tersebut mempunyai kedalaman bervariasi antara 13 sampai 95 km, magnitudo 5.9 sampai 7.5 SR, intensitas gempa antara VII sampai IX dalam skala MMI (Mo-dified Mercalli Intensity), dan jenis pensesaran gempa yang dominan adalah sesar naik.

Tinggi gelombang tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara tempat sampai 24 meter, dengan magnitudo tsunami berkisar antara 1.5 sampai 4.5 dalam skala Imamura. Sementara itu jangkauan gelombang tsunami ke daratan berkisar antara 50 sampai 200 meter dari garis pantai.

Riset tentang tsunami dapat dibagi menjadi tiga bidang utama. Pertama, riset yang ditujukan untuk mengidentifikasi lokasi pusat gempa dan karakteristik gempa yang mempunyai potensi menimbulkan tsunami. Bidang ini merupakan kajian Ilmu Seismologi. Kedua, riset yang diarahkan untuk membuat model penjalaran tsunami dan prediksi tinggi gelombang tsunami pada saat mencapai pantai. Riset semacam ini merupakan kajian Ilmu Oseanografi. Ketiga, riset yang ditujukan untuk mencari cara-cara yang tepat dalam pemantauan tsunami dan perlindungan pantai terhadap bahaya tsunami. Riset semacam ini memerlukan keahlian dalam bidang Seismologi, Oseanografi, dan Teknik Sipil.

Perkembangan riset tsunami di Indonesia masih dalam tahap permulaan. Kegiatan riset secara agak serius baru dimulai sejak terjadinya bencana tsunami di Flores tahun 1992. Saat ini ada enam instansi yang terlibat serius dalam riset tsunami, yaitu BMG, BPPT, LIPI, PPPG

Bandung, UK Petra Surabaya, dan ITB. Instansi yang aktif melakukan riset bidang pertama adalah BMG, LIPI, PPPG, dan ITB. Tiga instansi, yaitu BPPT, LIPI, dan ITB secara serius melakukan riset bidang kedua. Sedangkan riset bidang ketiga dilakukan oleh BMG, LIPI, UK Petra, dan ITB.

Hambatan utama dalam riset, seperti yang biasa dijumpai di Indonesia, adalah minimnya jumlah ilmuwan dan fasilitas yang tersedia. Dari belasan jumlah ilmuwan yang aktip melakukan riset hanya ada dua ilmuwan yang thesis kesarjanaannya khusus tentang tsunami. Kurang tertariknya ilmuwan melakukan riset tsunami mungkin dikarenakan kegiatan ini secara ekonomi tergolong "kering", walaupun fenomena sunami sendiri berkaitan dengan sesuatu yang "basah" yaitu air laut. Fasilitas untuk pemantauan, baik untuk pemantauan gempa sebagai sumber penyebab tsunami maupun pemantauan gelombang tsunami, juga masih dirasa sangat kurang. Idealnya untuk tiap jarak 100 km di sepanjang pantai yang ada di kepulauan Indonesia diletakkan satu alat pemantau gempa dan gelombang. Yang ada saat ini tidak lebih dari 50-an alat pemantau gempa dan 20-an alat pembantu gelombang. Hambatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah masih kurangnya koordinasi dan komunikasi di antara pusat-pusat kegiatan riset tsunami yang ada di Indonesia.

Secara teoritis tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan gempa. Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan untuk dapat menganalisis karakteristik gempa. Dalam waktu sekitar 20 sampai 30 menit dapat ditentukan apakah suatu gempa dapat menyebabkan tsunami atau tidak. Informasi tersebut kemudian dapat segera disampaikan ke masyarakat sebelum gelombang tsunami menerjang pantai. Ide inilah yang mendasari didirikannya pusat sistem peringatan dini tsunami (Tsunami Warning System) dibeberapa negara Pasifik.

Yang menjadi persoalan di Indonesia adalah tenggang waktu tersebut hanya berkisar antara 10 sampai 50 menit saja karena jarak antara pusat gempa dan garis pantai tidak lebih dari 200 km. Ini berbeda dengan di negara-negara Pasifik yang tenggang waktunya dapat mencapai satu sampai tiga jam.

Akibat terbatasnya waktu untuk menyampaikan informasi dan fasilitas komunikasi yang belum memadai, sangat mungkin terjadi informasi belum sampai sementara gelombang tsunami telah menyapu pantai. Untuk mengatasi kesulitan tersebut di atas, kesiapsiagaan merupakan jawaban yang paling tepat. Di antaranya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

>> Pertama, identifikasi daerah rawan tsunami.

>> Kedua, penyuluhan kepada penduduk dan aparat terkait di daerah rawan tsunami.

>> Ketiga, proteksi pada pantai. Di antaranya membuat jalur hijau 200 meter dari garis pantai yang dapat berfungsi sebagai penahan gelombang dan melestarikan keberadaan batu karang yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang.

>> Keempat, menetapkan letak pemukiman berada di belakang jalur hijau sehingga terlindung dari ancaman gelombang. Kalaupun terpaksa dibangun di dekat pantai, rumah yang baik adalah rumah panggung dengan bagian bawah kosong untuk memungkinkan gelombang lewat.

>> Kelima, membuat dasar hukum yang kuat bagi upaya pengaturan tata guna lahan di daerah pantai.

Belajar dari bencana yang terjadi di Aceh ini, menurut Dr Nanang T. Puspito, Kepala Laboratorium Seismotektonik Jurusan Geofisika dan Meteorologi ITB, ada beberapa hal yang mungkin sudah saatnya kita perhatikan secara serius untuk mengantisipasi bencana serupa di masa mendatang.

>> Pertama, perlunya riset gempa dan tsunami secara total. Usulan semacam ini mungkin kedengarannya kedaluwarsa. Namun, memang harus dikampanyekan terus menerus untuk menarik perhatian pemerintah.

>> Kedua, perlunya sistem penyuluhan yang efektif bagi masyarakat. Penyuluhan ini di antaranya berisikan tentang apa dan bagaimana gempa dan tsunami terjadi, dan cara-cara untuk menghindar dari bencana. Penyuluhan dapat dilakukan melalui televisi sesering mungkin. Atau dapat juga dilakukan melalui poster-poster yang dipasang di tempat-tempat umum pada daerah-daerah rawan gempa dan tsunami.

>> Ketiga, untuk mendukung usulan pertama dan kedua, perlu dibentuk suatu lembaga atau setidaknya kelompok kerja yang mempunyai kewenangan dan kemampuan yang besar. Lembaga atau kelompok kerja semacam ini bekerja all out dalam bidang riset dan penyebaran informasi.

>> Keempat, perlunya membentuk zona proteksi tsunami di sepanjang pantai yang rawan terhadap tsunami. Zona proteksi ini berupa jalur hijau selebar sekitar 200 meter. Jalur hijau ini sebaiknya adalah jenis tumbuhan yang tidak terlalu tinggi tetapi beranting dan berdaun lebat. Jangan berupa pohon kelapa karena terbukti pohon kelapa tidak dapat menahan atau memecahkan gelombang tsunami.

>> Kelima, barangkali perlu diadakan latihan praktis atau simulasi menghadapi bencana. Simulasi ini di antaranya meliputi cara-cara untuk menghindar dari bencana, memberi pertolongan pada korban, dan rehabilitasi daerah bencana. Simulasi ini akan berdaya guna maksimal kalau melibatkan semua pihak yang terkait, baik masyarakat maupun aparat.

========

Apa yang harus dilakukan sebelum, saat dan sesudah gempa bumi?

>> Sebelum terjadi gempa bumi

* Mengenali apa yang disebut gempa bumi

* Memastikan bahwa struktur dan letak rumah anda dapat terhindar dari bahaya

* yang disebabkan gempabumi (longsor, liquefaction dan lain-lain)

* Mengevaluasi dan merenovasi ulang struktur bangunan anda agar terhindar bahaya gempabumi

* Kenali lingkungan tempat anda bekerja dan tinggal

* Memperhatikan letak pintu, lift serta tangga darurat, apabila terjadi gempabumi, sudah mengetahui tempat paling aman untuk berlindung.

>> Belajar melakukan P3K

* Belajar menggunakan Pemadam Kebakaran

* Mencatat Nomor Telepon Penting yang dapat dihubungi pada saat terjadi gempabumi

* Persiapan Rutin pada tempat anda bekerja dan tinggal

* Perabotan (Lemari, Cabinet, dan lain-lain) diatur menempel pada dinding (dipaku/ diikat dan lain-lain) untuk menghindari jatuh, roboh, bergeser pada saat terjadi gempa bumi.

* Menyimpan bahan yang mudah terbakar pada tempat yang tidak mudah pecah, agar terhindar dari kebakaran.

* Selalu mematikan air, gas dan listrik apa bila sedang tidak digunakan

>> Penyebab celaka yang paling banyak pada saat gempa bumi adalah akibat kejatuhan material

* Atur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian bawah.

* Cek kestabilan benda yang tergantung yang dapat jatuh pada saat gempa bumi terjadi.

>> Alat yang harus ada disetiap tempat

* Kotak P3K

* Senter/lampu Battery

* Radio

* Makanan Suplemen dan Air

* Saat terjadi gemba bumi

>> Jika anda berada dalam bangunan

* Lindungi kepala dan badan anda dari reruntuhan bangunan (dengan bersembunyi di bawah meja misalnya).

* Mencari tempat yang paling aman dari reruntuhan goncangan.

* Berlari keluar apabila masih dapat dilakukan.

* Jika berada diluar bangunan atau area terbuka

* Menghindari dari bangunan yang ada di sekitar anda (seperti gedung, tiang listrik, pohon dan lain-lain).

* Perhatikan tempat anda berpijak hindari apabila terjadi rekahan tanah.

>> Jika anda sedang mengendarai mobil

* Keluar, turun dan menjauh dari mobil hindari jika terjadi pergeseran atau kebakaran.

* Perhatikan tempat anda berpijak hindari apabila terjadi rekahan tanah.

* Jika anda tinggal atau berada di pantai, jauhi pantai untuk menghindari terjadinya Tsunami.

* Jika anda tinggal didaerah pegunungan, apabila terjadi gempabumi hindari daerah yang mungkin terjadi longsoran.

>> Sesudah terjadi gempa bumi

>> Jika anda berada dalam bangunan.

* Keluar dari bangunan tersebut dengan tertib.

* Jangan menggunakan tangga berjalan atau lift, gunakan tangga biasa.

* Periksa apa ada yang terluka, lakukan P3K.

* Telpon/minta pertolongan apabila terjadi luka parah pada anda atau sekitar anda.

* Periksa lingkungan sekitar anda

* Periksa apabila terjadi kebakaran.

* Periksa apabila terjadi kebocoran gas.

* Periksa apabila terjadi arus pendek.

* Periksa aliran dan pipa air.

* Periksa segala hal yang dapat membahayakan (mematikan listrik, tidak menyalakan api dan lain-lain)

* Jangan masuk kebangunan yang sudah terjadi gempa, karena kemungkian masih terdapat reruntuhan.

* Jangan berjalan disekitar daerah gempa, kemungkinan terjadi bahaya susulan masih ada.

* Mendengarkan informasi mengenai gempa dari radio (apabila terjadi gempa susulan).

* Mengisi angket yang diberikan oleh Instansi Terkait untuk mengetahui seberapa besar kerusakan yang terjadi.

Skala Mercalli adalah satuan untuk mengukur kekuatan gempa bumi. Satuan ini diciptakan oleh seorang vulkanologis dari Italia yang bernama Giuseppe Mercalli pada tahun 1902. Skala Mercalli terbaagi menjadi 12 pecahan berdasarkan informasi dari orang-orang yang selamat dari gempa tersebutdan juga dengan melihat dan membandingkan tingkat kerusakan akibat gempa bumi tersebut. Oleh itu skala Mercalli adalah sangat subjektif dan kurang tepat dibanding dengan perhitungan magnitudo gempa yang lain. Oleh karena itu, saat ini penggunaan skala Richter lebih luas digunakan untuk untuk mengukur kekuatan gempa bumi. Tetapi skala Mercalli yang dimodifikasi, pada tahun 1931 oleh ahli seismologi Harry Wood dan Frank Neumann masih sering digunakan terutama apabila tidak terdapat peralatan seismometer yang dapat mengukur kekuatan gempa bumi di tempat kejadian.

Skala Modifikasi Intensitas Mercalli mengukur kekuatan gempa bumi melalui tahap kerusakan yang disebabkan oleh gempa bumi itu. Satuan ukuran skala Modifikasi Intensitas Mercalli adalah seperti di bawah :

Skala Modifikasi Keamatan Mercalli

  1. Tidak terasa
  2. Terasa oleh orang yang berada di bangunan tinggi
  3. Getaran dirasakan seperti ada kereta yang berat melintas.
  4. Getaran dirasakan seperti ada benda berat yang menabrak dinding rumah, benda tergantung bergoyang.
  5. Dapat dirasakan di luar rumah, hiasan dinding bergerak, benda kecil di atas rak mampu jatuh.
  6. Terasa oleh hampir semua orang, dinding rumah rusak.
  7. Dinding pagar yang tidak kuat pecah, orang tidak dapat berjalan/berdiri.
  8. Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan.
  9. Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan tekuk.
  10. Jambatan dan tangga rusak, terjadi tanah longsor.
  11. Rel kereta api rusak.
  12. Seluruh bangunan hancur dan hancur lebur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar