Jumat, 26 Juni 2009

Surabaya, Kota Kosmopolitan Awal Abad ke-20

Surabaya, Kota Kosmopolitan Awal Abad ke-20

Kosmopolitan berasal dari istilah bahasa Inggris cosmopolitan. Oxford Advanced Learner’s Dictionary menyebutkan, cosmopolitan (kata sifat) berarti “of or from all, or many parts of the world.” Kata itu juga berarti “free from national prejudices because of wide experience of the world.” Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan, kosmopolitan berarti mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas; atau terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari berbagai penjuru dunia.

Suatu kota kosmopolitan berarti kota yang banyak warganya terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Atau juga suatu kota yang sistem kehidupan banyak warganya dapat hidup dan berkembang di berbagai tempat seluruh dunia. Bila menyangkut pandangan seseorang, maka kosmopolitan berarti orang itu berpandangan internasional, antara lain akibat pengaruh luasnya wawasan dan pengetahuannya.

Banyak kota di dunia ini yang dikatakan sebagai kota kosmopolitan. Tetapi seberapa jauh tingkat kosmopolitanismenya tentunya juga berbeda-beda. Kota-kota seperti London, Paris, New York, Wina, dan Jerusalem adalah beberapa kota yang sangat kosmopolit, yang ditandai dengan amat beragamnya orang-orang yang tinggal di kota-kota tersebut. Mereka datang dari berbagai negara, berbagai bangsa dan suku, dengan beragam bahasa dan pandangan hidup mereka.

Bagaimana Surabaya sendiri? Kali ini hanya dibahas keadaan kota ini pada awal abad ke-20 atau setidaknya pada paruh pertama abad tersebut. Menarik sekali tampaknya, karena pada waktu itu Surabaya pada dasarnya adalah kota kosmopolitan, bukan sekedar metropolitan..

Dari sebuah buku telepon Surabaya yang terbit pada 1927, misalnya, kita dapat menyimak betapa sudah majunya kota ini. Sebagai kota dagang dan industri kentara sekali adanya aneka ragam usaha bisnis warga kota – meskipun harus diakui kebanyakan mereka bukan penduduk Pribumi. Dari daftar nama yang terpampang di buku telepon itu setidaknya kita dapat mengetahui keberagaman latar belakang pemiliknya. Tidak sekedar nama-nama khas Belanda, tetapi juga nama-nama khas dari kelompok-kelompok masyarakat dan bangsa lain.

Jejak dari Makam

Sifat kosmopolit Surabaya juga dapat dijejaki dari makam-makam lama di kota ini. Salah satu di antaranya adalah Makam Belanda di Jl Peneleh, yang sudah lama dibiarkan terlantar. Lainnya lagi adalah makam orang-orang Yahudi di bagian Kompleks Makam Kristen Kembang Kuning.

Dari pengamatan, Makam Peneleh ternyata tidak hanya diperuntukkan orang-orang Belanda saja, tetapi juga sejumlah orang asing lainnya. Seorang penulis asing, Graeme T. Steele menyebutkan bahwa adanya orang-orang dengan berbagai kebangsaan seperti Prancis, Inggris, Jerman dan Australia menunjukkan sifat kosmopolit Surabaya sejak dulu.

Besar kecilnya nisan di Makam Belanda juga menunjukkan beragamnya latar belakang sosial dan ekonomi orang yang dimakamkan di tempat ini. Ada nisan yang besar dengan marmer, lengkap dengan bangunan yang melindunginya, yang menunjukkan kayanya seseorang. Sebagian di antaranya dilengkapi dengan patung-patung indah dan inskripsi sebagai kenangan pada orang yang dikuburkan. Sebagian besar berbahasa Belanda, sebagian lainnya berbahasa Inggris.

Beberapa kuburan yang besar adalah kubur para pejabat Hindia Belanda yang meninggal bahkan pada abad ke-19. Salah satunya adalah kuburan Daniel Franqois Willem Pietermaat, yang disebut sebagai "Resident van Soerabaja" yang meninggal pada tahun 1848.

Ada batu nisan yang menunjukkan bagaimana keluarga Davies dari Sunderland, Inggris, kehilangan anak laki-laki mereka saat menumpang kapal "Aberaman" pada tahun 1879. Jenazah pria berusia 17 tahun itu diturunkan di Surabaya dan dimakamkan di kota ini. Lainnya lagi adalah Sophia Coke, seorang perawat di keluarga konsul Inggris di Surabaya. Ia meninggal pada 26 Desember 1887 setelah sakit beberapa hari.

Adanya makam khusus orang-orang Yahudi di kawasan Kembang Kuning juga menunjukkan keberagaman latar belakang warga Surabaya. Dilihat dari namanya, sebagian orang-orang Yahudi itu adalah mereka yang berasal dari negara-negara Arab, selain mereka yang berasal dari Eropa. Sebuah sinagog di Jl Kayoon adalah saksi lain dari keberagaman warga kota Surabaya.

Salah satu unsur penting dari sifat kosmopolit suatu kota adalah kemampuan multibahasa masyarakatnya. Bukan rahasia lagi bila di masa lalu, banyak warga kota ini yang menguasai sejumlah bahasa. Seorang berpendidikan setingkat SMP di masa kolonial Belanda setidaknya telah menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman selain bahasa Melayu dan bahasa daerah.

Terlepas dari sifat-sifat negatif yang terbentuk akibat sistem politik kekuasaan di masa itu, secara umum toh diakui bahwa orang-orang yang menguasai sejumlah bahasa akan cenderung memiliki sifat toleran dan menghargai orang lain. Hal ini pula yang pernah dikemukakan oleh seorang pemikir dari Universitas Sorbonne, Paris, Prof Dr Mohammed Arkoun. Dalam seminar terkait pemerintahan dan demokrasi di Jakarta beberapa tahun, Arkoun mengatakan pendidikan berdasar humanisme sangat penting sebagai dasar menuju pluralisme pemikiran. Untuk itu ia menyebutkan, di sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa asing, sejarah, dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama. Pengajaran itu akan membuat orang terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua pemikiran.

Arkoun menambahkan, humanisme di Arab muncul pada abad ke-10 di Irak --kemudian di Iran-- pada saat munculnya gerakan yang kuat untuk membuka diri terhadap seluruh kebudayaan di Timur Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap manusia. Para ahli teologi, hukum, ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam Majelis Malam. Sayang, memasuki abad ke-13, masyarakat mulai melupakan filsafat maupun debat teologi.

Kita perlu mencatat kata-kata Drs RMP Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini, seorang lulusan Fakultas Sastra Universitas Leiden yang menguasai paling tidak 24 bahasa asing. Sosrokartono mengatakan, “sinau basa sinau bangsa”. Belajar bahasa berarti belajar (tentang) suatu bangsa.

Sosrokartono sendiri adalah seorang yang kosmopolit. Hidup hampir 30 tahun di berbagai negara Eropa, antara lain pernah menjadi koresponden Suratkabar “New World Herald” pada Perang Dunia II dan Kepala Penerjemah Liga Bangsa-Bangsa (Volkenbond) di Wina, Austria. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar