Jumat, 26 Juni 2009

Etnis Arab

Orang-orang Peranakan Arab Makin Beragam

Orang-orang peranakan Arab masa kini? Tidak mudah mencari buku dan referensi lain tentang topik tentang hal ini. Apa yang ada lebih banyak berbicara tentang asal-usul orang-orang keturunan Arab di Indonesia, perkembangannya sampai masa kemerdekaan dan beberapa tahun setelah itu.

Mengapa jarang ada buku-buku yang mengupas keberadaan orang-orang Arab di negeri ini? Pertanyaan ini menarik dicermati mengingat banyak buku yang membahas masyarakat Tionghoa, misalnya. Selain itu, ada banyak hal yang sejatinya sangat menarik dari kehidupan orang-orang keturunan Arab tersebut.

Seorang teman saya, Hasan Bahanan, seorang peranakan Arab yang bekerja sebagai dosen PTS, mengatakan bahwa ia melihat adanya kecenderungan acuh tak acuh di kalangan orang-orang peranakan Arab terhadap kelompoknya sendiri. “Pengamatan saya begitu. Mudah-mudahan saya keliru,” kata Hasan.

Ia membenarkan, sulit mencari buku-buku yang membahas eksistensi orang-orang peranakan Arab masa kini di toko-toko buku. “Memang ada beberapa skripsi yang saya dengar membahas peranakan Arab, tetapi itu membicarakan masa lalu, khususnya menyangkut peran mereka di kancah politik,” katanya pula.

Tidak hanya sulit seseorang mencari buku tentang peranakan Arab. Mencari data-data tentang jumlah mereka juga sama sulitnya. Berapa jumlah mereka di Indonesia? Sekitar 10 juta orang? “Saya tidak tahu, daripada keliru lebih baik saya tidak mengiyakan atau menolak angka itu,” kata Ali Salim, wartawan senior peranakan Arab.

Ia menjelaskan, tidak mudah memang mengetahui jumlahnya. “Karena mereka praktis tidak ada yang warga negara asing (WNA). Semuanya WNI dan KTP mereka sama dengan penduduk lain serta tak pernah ada masalah seperti pada sebagian warga etnis Tionghoa,” kata Ali.

Etnis Pedagang

Dari sejarahnya, seperti telah banyak ditulis, orang-orang peranakan Arab di Indonesia umumnya berasal dari Hadramaut, bagian selatan Jazirah Arab yang dikenal sebagai Yaman. Ada beberapa argumen tentang kapan mereka mulai datang di Indonesia. Ada yang menyebut, mereka datang bahkan sudah sejak abad ke-10 Masehi atau sebelum itu. Ada yang memperkirakan sekitar abad ke-12, sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit. Tetapi gelombang besar imigran Arab diperkirakan tiba di negeri ini setelah abad ke-17. Mereka tinggal di kantong-kantong pemukiman kota-kota pantai Jawa seperti Batavia (Jakarta), Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya, Bangil, dan sebagainya. Di antara mereka juga tinggal di kota pedalaman seperti Solo dan Yogyakarta. Sebagian kecil dari mereka bahkan sampai ke Maluku Utara seperti Ternate, Tidore, dan juga di NTT dan Timor (dulu Timor Timur). Mereka datang tanpa isteri, kemudian kawin dengan perempuan setempat hingga peranak-pinak.

Salah satu kota yang memiliki penduduk peranakan Arab dalam jumlah besar adalah Surabaya. Jumlahnya diperkirakan mencapai ratusan ribu orang. Sampai sekarang, mereka banyak tinggal di kawasan Surabaya Utara. Sampai sekitar 50 tahun yang lalu, umumnya mereka adalah para pedagang, dan sebagian kecil ulama..

Namun setelah tahun 1960-an, profesi mereka mulai beraneka ragam. Ada yang menjadi guru dan dosen, bahkan meraih gelar doktor dan menjadi profesor. Ada pula yang menjadi pengacara, jadi wartawan, pekerja sosial, bekerja di pabrik atau perusahaan asing, dan sebagainya.

Dalam nukilan kisah dari Surabaya, salah satu yang menarik adalah kemakmuran orang-orang peranakan Arab di masa lalu. Dalam satu cerita dikisahkan, misalnya, bagaimana orang-orang Arab dulunya adalah orang-orang kaya pemilik bangunan dan properti di banyak jalan-jalan protokol Surabaya.

Mohammad Anis, yang kini bekerja di Istana Negara, menuturkan kisah seorang temannya yang bekerja sebagai notaris. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, menurut notaris itu, ia sering didatangi orang-orang keturunan Arab. Mereka datang hanya mengenakan sandal kulit, bersarung atau piyama putih, dengan kepala ditutup kopiah hitam. “Penampilan mereka sangat sederhana. Tetapi mereka datang ke kantor membawa banyak uang untuk membeli gedung-gedung dan tanah di Surabaya,” kata notaris itu seperti ditirukan Anis.

Pada 1970-an dan 1980-an, notaris itu juga didatangi orang-orang Arab. Mereka orang-orang muda dengan pakaian necis dan mobilnya mengkilap. Tetapi mereka datang ke kantor sang notaris dengan maksud berbeda. “Mereka datang untuk menjual gedung-gedung dan tanah mereka,” katanya.

Orang-orang Arab di masa lalu memang dikenal sangat rajin dan ulet bekerja. Mereka dilukiskan sebagai orang-orang yang hemat dalam mengumpulkan uang hasil dagangnya, dan setelah cukup banyak mereka belikan tanah atau rumah. Rumah yang mereka beli kemudian mereka sewakan, uangnya ditabung dan setelah terkumpul mereka belikan rumah lainnya. Begitu seterusnya.

Menurut Anis, bukan sesuatu yang aneh bila seorang keturunan Arab memiliki 10 hingga 20 rumah dan gedung bangunan kantor. “Namun anak cucu mereka tidak mempunyai ketekunan dan keuletan seperti itu. Setelah orangtua dan kakeknya pergi, mereka menjual begitu saja harta warisan yang mereka terima,” kata Anis.

Ia pun menuturkan, hampir seluruh bangunan di Jalan Tunjungan, Jalan Embong Malang, Alun-Alun Contong,dan sejumlah jalan lainnya dulu adalah milik orang-orang keturunan Arab. Sekarang bangunan-bangunan tersebut umumnya menjadi milik orang-orang keturunan Tionghoa.

Daerah sekitar Ampel dan Nyamplungan sudah sejak lama dikenal sebagai Kampung Arab. Bangunan di sepanjang Jalan K.H. Mas Mansyur sebelumnya dihuni oleh orang-orang Belanda. Perkembangan berikutnya, mereka pindah ke arah selatan di kawasan Jalan Darmo dan Jalan Dr Soetomo. Bangunan-bangunan mereka pun jatuh ke tangan orang-orang kaya keturunan Arab. “Orang-orang kaya keturunan Arab yang terkenal antara lain adalah orang-orang dengan marga Bobsaid, Martak, Baagil, dan Baswedan,” kata Anis.

Mereka biasanya berdagang kain batik dan sarung, kemudian berkembang dengan berdagang tegel dan kitab-kitab yang diimpor dari Mesir. Kemakmuran mereka tersebut banyak mengalami kemerosotan dengan datangnya tentara Jepang. Masa penjajahan bangsa ini benar-benar memukul mereka.

Apakah kemerosotan ekonomi tersebut yang mendorong orang-orang peranakan Arab kemudian beralih profesi? Hal ini memang perlu penelitian. Tetapi profesi mereka sekarang sangat beragam. Minatnya pun berkembang ke mana-mana.

Seperti Abdurrahman Bawazier, seorang yang lama dikenal sebagai pengusaha sarung, sekarang menggeluti bisnis koran. Sudah beberapa tahun terakhir ini ia menjadi pemilik dan pemimpin umum Surabaya Post, sebuah koran sore di Surabaya. Setelah beberapa saat, Pak Amang, begitu panggilan akrabnya, sangat menikmati bisnisnya tersebut.

Mereka yang menjadi dosen, seperti Hasan Bahanan, juga tidak sedikit. Sebagian bahkan sudah meraih gelar doktor dan profesor. Seperti di Universitas Negeri Surabaya, ada Prof Abbas Achmad Badib, PhD. Alumnus dari sebuah universitas di Australia ini bahkan dobel gelar masternya.

Prof Badib mengatakan, keinginannya menjadi dosen sudah tertanam sejak muda. Oleh karena itu, setelah lulus dari SMA ia masuk Jurusan Bahasa Inggris di IKIP Malang. Setelah lulus sarjana ia menjadi dosen di IKIP Surabaya (kini Unesa), melanjutkan kuliah lagi di Australia hingga doktor dan meraih jabatan profesor linguistik pada 2002.

Bagi Hasan Bahanan dan Abbas Badib, dunia dagang benar-benar tidak diketahuinya. “Dengan adik saya sendiri saja, pembicaraan sering tidak nyambung. Dunianya memang lain. Ia di dunia dagang, saya di dunia akademis,” tutur Hasan. “Tetapi itulah kehidupan. Kita jalani saja dengan ikhlas,” tambahnya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar