Tanggung Jawab Kebudayaan Umat Islam
Surat At-Tiin ayat 4 dengan tegas menyatakan, bahwa manusia telah diciptakan oleh Tuhan dalam bentuk yang seindah-indahnya. Manusia juga makhluk yang paling tinggi derajatnya. Karena itulah, ketika Tuhan menciptakan manusia dari tanah, Tuhan berfirman kepada para Malaikat untuk merendahkan diri dan bersujud kepada manusia. Tuhan, seperti yang ditugaskan dalam surat Shaad ayat 72 telah menciptakan manusia dengan roh Tuhan sendiri. Sementara itu, sebagaimana yang disebut dalam surat Lukman ayat 20, Tuhan telah menaklukkan segala yang ada di Langit dan di Bumi untuk kepentingan manusia.
Semua ayat-ayat tersebut, dan juga ayat-ayat lain, dengan tegas telah menunjukkan hakikat manusia yang sebenarnya. Sementara itu Al-Quran sendiri sebagai sumber ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang ditegaskan dalam surat Al-Maidah ayat 48, adalah kitab suci yang mengandung kebenaran. Al-Quran, sebagaimana yang tertera dalam surat Al-Ahqaaf ayat 12, adalah peringatan bagi orang-orang yang zhalim, dan berita gembira bagi orang-orang yang berbuat baik.
Kedudukan tinggi yang telah diberikan Tuhan kepada manusia dengan sendirinya menuntut manusia untuk mempertanggungjawabkan anugerah tersebut kepada Tuhan. Tanggungjawab tersebut adalah Tanggungjawab mengembangkan kebudayaan. Secara Alegoris, Tanggungjawab tersebut dapat kita lihat, misalnya, dalam cerpen A.A Navis “Robohnya Surau Kami”. Terceritalah dalam cerpen ini, Haji Saleh akhirnya diceburkan ke neraka, padahal setiap hari ia selalu beribadah dengan khusyuk. Di neraka dia berjumpa dengan orang-orang yang semula diperkirakan tidak akan dilempar di neraka. Sementara halnya Haji Saleh sendiri, setiap hari mereka juga beribadah dengan khusyuk menyembah Tuhan. Mereka kecewa dan bertanya-tanya, mengapa sorga tidak diperuntukkan buat mereka.
Demikianlah, mereka masuk neraka, karena semasa hidup, mereka hanyalah menyembah Tuhan tanpa melakukan apa-apa yang dapat mengangkat harkat dan derajat manusia. Tuhan telah memberi Bangsa Indonesia tanah yang subur, kaya raya, penuh logam, minyak dan berbagai bahan tambang lain. Sementara itu, mereka hanya menyembah Tuhan tanpa memperdulikan nasib Bangsanya. Harta-benda bangsa Indonesia dikeruk oleh orang-orang asing, sementara bengsa Indonesia sendiri suka berkelahi, saling menipu, dan saling memeras. Apa yang akan terjadi dengan anak cucu mereka, Haji Shaleh dan teman-temannya juga tidak perduli. Ganjaran terhadap sikap apatis adalah neraka. Tuhan tidak mengijinkan manusia hanya menyembah Tuhan tanpa melakukan perbuatan-perbuatan lain yang dapat mengangkat harkat dan martabat bangsanya sendiri serta umat manusia pada umumnya.
Agar manusia dapat melaksanakan tanggungjawabnya, Tuhan telah juga memberi kelengkapan berupa ilmu kepada manusia. Bahkan jin-pun, oleh Tuhan telah diberikan kepandaian untuk ikut memuliakan derajat manusia, Jin Ifrit misalnya, sebagaimana dituturkan dalam Surat An Naml ayat 38 dan 39, berhasil memindahkan singgasana Ratu Balkis dari negeri Saba’ Yaman dalam waktu sangat singkat, karena Ifrit menguasai ilmu.
Sejarah umat manusia juga telah menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan memegang peranan penting dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sementara itu, dalam kerja keras manusia sebagai perwujudan tanggung-jawab manusia kepada Tuhan, manusia juga harus melihat kembali apa yang pernah terjadi dalam sejarah. Pentingnya peranan sejarah dalam menentukan harkat manusia juga tampak jelas dalam Al Quran. Karena itulah, lima belas surat dalam Al Quran adalah surat-surat yang berhubungan dengan sejarah. Surat Ali Imron, Surat Yunus, Surat Ibrahim, Surat Al Isra, Surat Al Kahf, Surat Mariam, Surat Al Anbiya, Surat Ar Rum, Surat Luqman, Surat Al Ahzab, Surat Saba’, Surat Al Fath, Surat Nuh, dan Surat Al Fil memancing kesadaran manusia mengenai pentingnya menengok ke belakang, agar manusia sanggup melihat ke depan dengan baik.
Hakikat ilmu pengetahuan adalah kebenaran. Untuk mendekati kebenaran, kita harus terus menerus mengkaji, dan terus menerus menyelidiki. Karena itulah, dalam mengembangkan kebudayaan, umat Islam pantang untuk berhenti berpikir. Sebagaimana yang termaktub dalam Surat Ali Imron ayat 191, kita diminta untuk beribadah, dan sekaligus juga memikirkan mengenai gejala-gejala alam. Memang, gejala-gejala alam adalah hakikat ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu eksakta, ilmu sosial termasuk ilmu kependidikan, dan ilmu-ilmu kemanusiaan atau the humanities tidak dapat melepaskan dari gejala-gejala alam dalam usahanya untuk mendekati kebenaran.
Sementara itu kita mengetahui, bahwa gejala-gejala alam tidak selamanya statis, salju di Denmark lebih cepat meleleh dibanding dengan salju di negeri itu sekitar lima tahun lalu. Jumlah penduduk semakin meledak, dan karena itu nilai-nilai baru juga timbul. Penemuan zat-zat kimia juga telah merombak ketahanan tubuh manusia. Karena keadaan selalu berubah, ilmu pengetahuan pun tidak pernah berhenti.
Sebagaimana dituturkan oleh Sa’id ibn Yusuf Saadia Gaon dalam Kitab Al- Amanat wa-al-Itiqadat, ilmu pengetahuan adalah konkrit dan sekaligus abstrak. Dalam mengajar ilmu, tidak mungkin kita mencapai titik henti. Ilmu adalah bagaikan bayangan, yaitu selalu lari apabila kita kejar. Sementara itu, diam tanpa mengejar ilmu dapat mendatangkan kehancuran, seperti yang pernah kita lihat dalam sejarah perkembangan umat manusia di waktu-waktu lalu. Ilmu adalah proses, dan karena itu mesti kita ikuti terus. Sementara itu, untuk mengembangkan kebudayaan, mau tidak mau kita memerlukan ilmu. Mengembangkan kebudayaan untuk meningkatkan harkat bangsa dan umat manusia pada umumnya, itulah tugas umat islam.
Jalaludin Rumi, penyair sufi kelahiran Afganistan 1207 dan meninggal di Turki 1270, dalam terbitan gabungan Asrar-i-Khudi dan Rumuz – i - Bekhudi menyatakan, bahwa “sesuatu yang tak di temukan itulah yang kucari senanntiasa”. Oleh Muhammad Iqbal, penyair kelahiran Sialkot tahun 1873 dan meninggal tahun 1938, ungkapan Jalaludin Rumi ini diambilnya untuk menjadi salah satu pegangan filsafatnya, yaitu manusia selalu mencari. Dalam mendekati kebenaran, manusia juga selalu mencari, sementara mencari adalah hakikat ilmu, dan hakikat ilmu adalah salah satu hakikat kebudayaan.
Sebagai makhluk yang mempunyai derajat yang paling tinggi, manusia juga telah diberi oleh Tuhan kebijakan untuk menentukan pilihannya sendiri. Apabila manusia tidak Bijak, sebagaimana yang pernah kita lihat dalam sejarah, manusia pasti runtuh. Kezaliman diciptakan oleh manusia itu sendiri, dan karena itu keruntuhan juga merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri. Karena itulah, dalam menentukan pilihan kita, kita juga harus berpaling pada Tuhan melalui kitab suci Al-Quran.sebagaimana yang telah ditegaskan dalam surat Al-Ahqaaf ayat 12, Al-Quran adalah peringatan bagi orang-orang yang zalim.
Sebagai manusia yang bertanggungjawab, tentu saja umat Islam ingin berbuat baik. Sementara itu, seperti yang telah dikemukakan dalam surat Al-Aqaaf ayat 12, Al-Quran adalah berita gembira bagi orang-orang yang baik. Kebebasan yang telah diberikan kepada kita oleh Tuhan juga mengacu pada kebebasan untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik.
Kebebasan yang telah diberikan kepada manusia bukanlah kebebasan untuk diam. Hanya beribadah tanpa berbuat kebaikan untuk kepentingan nusa, bangsa, negara dan umat manusia pada umumnya, seperti yang tersirat dalam cerpen “Rubuhnya Surau Kami“ adalah juga tercela. Di sinilah letak tanggung jawab kita umat Islam dan kebudayaan: tidak membiarkan keadaan berjalan dengan sendirinya, akan tetapi bekerja keras untuk menciptakan keadaan menjadi lebih baik.
Islam memang tidak dapat dipisahkan dari konsep yang modern mengenai kebudayaan. Dahulu, kebudayaan sering disempitkan artinya menjadi sekedar kesenian, atau puncak-puncak hasil pemikiran dan hasil seni. Dalam konsep yang lama mengenai kebudayaan, pemikiran dan seni adalah hal-hal yang tumbuh dengan sendirinya. Sebaliknya, dalam konsep yang modern, mengenai kebudayaan, dengan sengaja dan penuh kesadaran manusia harus menciptakan kebudayaannya sendiri. Dalam kebudayaan, dengan penuh kesadaran, perencanaan yang baik, dan kerja keras, manusia mengembangkan potensi-potensinya yang baik, agar manusia dapat mencapai derajat yang lebih tinggi.
Termasuk tanggung jawab kebudayaan adalah juga kesadaran kita terhadap hakikat hubungan antara manusia. Dalam surat An-Nisa’ ayat 1 dengan jelas kita melihat, bahwa Tuhan telah menciptakan seluruh manusia dari satu sumber yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Melalui Adam dan Hawa, Tuhan telah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan. Maka, demikian perintah Tuhan dalam ayat tersebut, kita harus saling meminta diantara kita dengan mempergunakan nama-Nya, dan memelihara hubungan kasih sayang diantara sesama kita. Dengan demikian pada hakekatnya seluruh umat manusia adalah sebuah keluarga besar, dan karena itu saling menghormati dan saling menolong.
Sementara itu, dalam praktek kehidupan sehari-hari kita sering melihat hal-hal yang justru menyimpang dari perintah Tuhan. Pertentangan di sana-sini terjadi, demikian juga perang untuk mengunggulkan ideologi, kepentingan-kepentingan ekonomi, harga diri sekelompok pemimpin, dan lain-lain. Manusia dapat menjadi oulas, karena seperti yang telah diingatkan di sana-sini dalam Al-Qur’an, manusia sangat lemah dan karena itu terbuka terhadap godaan-godaan syetan.
Tugas kebudayaan adalah melihat manusia sebagai manusia yang baik, dan mempunyai kemampuan untuk dikembangkan menjadi lebih baik. Meskipun demikian, kebudayaan juga bersifat realistis, yaitu menyadari bahwa tidak semua orang itu baik, dan tidak terbuka terhadap godaan-godaan syetan. Kebudayaan juga menyadari, bahwa pada hakekatnya bahwa manusia juga mahluk yang lemah.
Lepas dari segala kelemahan manusia Tuhan telah memberikan manusia kemampuan untuk memimpin. Itulah sebabnya, dalam surat Al Baqarah ayat 30 kita dapat melihat, bahwa Tuhan dengan sengaja mengangkat Nabi Adam menjadi khalifah. Sementara itu dalam perjalanan umat manusia, kita juga melihat banyak orang yang telah berhasil menjadi pamimpin-pemimpin yang baik.
Kalau apa yang telah diberikan Tuhan kepada para pemimpin itu kita terapkan pada diri kita masing-masing sebagai individu, maka diri kita masing-masingpun diberkahi dengan kemampuan untuk memimpin. Masing-masing kita dapat memimpin diri kita masing-masing, bekerja sama dengan baik, dengan lingkungan kita, dan bersama-sama dengan pihak lain menciptakan suasana tentram, makmur dan damai, serta penuh dengan ketaqwaan. Pada dasarnya kemampuan memimpin adalah kemampuan untuk mengembangkan benih-benih yang baik. Tugas kebudayaan adalah juga mengembangkan benih-benih yang baik tersebut. Kebudayaan bukan berarti membiarkan segala sesuatu berjalan dengan sendirinya. Konsep yang modern mengenai kebudayaan dengan tegas menyatakan, bahwa dengan segenap kemampuannya manusia harus menindas nafsu-nafsunya yang buruk.
Lepas dari segala kekurangannya, manusia telah diberi juga oleh Tuhan kelengkapan yang sangat penting, yaitu hati nurani. Dalam surat An-Nahl ayat 78 kita melihat, bahwa pada saat kita keluar dari perut ibu kita, kita belum mengetahui apa-apa. Setelah kita lahir, dengan segera Tuhan memberikan pada kita pendengaran, penglihatan, dan juga hatinurani. Dengan hati nurani itulah, kita akan mampu memerangi kelemahan-kelemahan kita, dan mengembangkan sifat-sifat mulai yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Tugas kita masing-masing adalah memang menjadi manusia berbudaya, yaitu manusia yang sanggup mengembangkan bibit-bibit baik yang sudah terkandung di dalam sanubari manusia.
Dalam sekian banyak ayat yang bertebaran di dalam Al-Qur’an kita mengetahui, bahwa Tuhan selalu memerintahkan kita mensyukuri segala pemberian Tuhan. Kita juga mengetahui, bahwa segala sesuatu yang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita adalah kenikmatan hidup, dan bahkan juga nikmat dunia dan akhirat. Sebaliknya, dalam praktek kita juga mengetahui, bahwa Tuhan tidak hanya memberikan nikmat, akan tetapi juga musibah.
Sejarah umat manusia, baik yang tercantum dalam Al-Qur’an, maupun yang terjadi setelah Al-Qur’an diturunkan melalui Nabi Muhammad S.A.W. menunjukkan, bahwa di sana-sini musibah selalu terjadi. Kalau kita telusuri semua musubah tersebut kita akan mengetahui, bahwa musibah itu tidak lain adalah merupakan hasil petingkah manusia sendiri. Tuhan telah menurunkan musibah untuk mengingatkan manusia agar manusia tidak menyia-nyiakan bekal untuk mengembangkan kebaikan yang telah diberikan oleh Tuhan. Musibah dapat terjadi sebagai peringatan kepada manusia untuk tidak berbuat salah lagi. Selain itu, musibah juga dapat terjadi sebagai hukuman terhadap umat manusia atas kelengahan manusia sendiri.
Tanggung jawab umat Islam adalah mengembangkan kebudayaan dalam arti yang benar. Musibah yang berupa peringatan, apalagi yang merupakan hukuman, harus dihindarkan. Untuk menghindarkan segala macam kekacauan, kita musti mengembangkan sifat-sifat baik yang sudah ada di dalam sanubari kita, yang memang telah diberikan oleh Tuhan kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar