Djaja Laksana, Lumpur, dan Kebodohan Kita
Sudah hampir sekian tahun bencana lumpur Lapindo di Porong meneror banyak orang. Entah berapa kerugian yang diakibatkan oleh semburan lumpur dari perut bumi tersebut. Puluhan pabrik dan ribuan rumah tenggelam. Jalan-jalan, termasuk jalan tol pun tertutup lumpur hingga menutup akses transportasi ke berbagai daerah di Jawa Timur.
Ribuan orang stres dan terpukul karena mendadak jatuh miskin. Industri dan perekonomian di propinsi ini amat terpukul. Itu jelas. Berbagai jalan telah dicoba untuk menghentikan semburan tersebut, tetapi hasilnya nihil. Terakhir Timnas Lumpur Lapindo mencoba membenamkan bola-bola beton ke pusat semburan. Namun hasilnya juga idem ditto.
Tetapi tiba-tiba saja muncul pandangan Djaja Laksana, seorang insinyur mesin lulusan ITS. Dalam presentasi di Graha Pena Jawa Pos pada 23 Maret 2007 yang lalu, ia menunjukkan betapa sebenarnya lumpur tersebut dapat dihentikan. Tidak hanya itu. Lumpur yang sudah keluar pun dapat dimasukkan kembali ke dalam perut bumi. Caranya sangat sederhana. Dan bagi anak teknik yang pernah belajar mekanika fluida, pasti mudah menerima pemikiran Djaja Laksana.
Djaja Laksana menjelaskan, pemikirannya untuk menghentikan semburan lumpur itu terkait dengan Hukum Bernoulli tentang suatu fluida atau cairan yang bergerak dan paling tepat untuk diterapkan pada cairan di tempat terbuka. Dasar hukum ini bergantung pada ketinggian, tekanan, berat jenis, kecepatan dan gravitasi bumi.
Ia pun menerangkan bahwa pada suatu kedalaman tertentu, ketinggian dan kecepatan cairan dianggap nilainya sama dengan nol, sehingga parameter yang tersisa hanya tekanan dan berat jenis. Jadi bila tekanan pada kedalaman tertentu diketahui, maka ketinggian semburan cairan lumpur yang keluar dapat diketahui pula.
Setiap tekanan fluida, kata Djaja Laksana, mempunyai suatu total head, termasuk tekanan pompa air dan tekanan lumpur dari dalam tanah, pasti memiliki total head dan setelah itu tidak akan naik lagi. Demikian pula dengan semburan lumpur di Porong tersebut, pasti memiliki total head dan setelah itu lumpur tersebut akan diam
Kepada penulis, ia mengatakan telah mendapat data tentang kedalaman sumber lumpur, yang disebutnya berkisar antara 0,5 km hingga 1,9 km, sementara tekanan lumpur itu sebesar 2.000 psi (pound per square inches). Dari data itu ia memperkirakan bahwa total head semburan lumpur itu hanya mencapai 27 meter di atas permukaan tanah. “Bila kemudian kita membangun tanggul melingkar dengan ketinggian 30 meter, misalnya, maka lumpur akan mencapai titik keseimbangan (konstan) pada ketinggian 27 meter itu. Tidak mungkin meluap lagi, kecuali tekanan dari dalam tanah meningkat,” kata Djaja Laksana.
Tanggul Melingkar
Pikiran-pikiran tersebut sebenarnya telah saya sampaikan ke sejumlah pihak yang ikut menangani masalah lumpur di Porong tersebut sejak September tahun lalu. Beberapa kali saya bertemu dengan mereka, entah itu di ITS, di depan forum di Shangri-la, dan lain-lain. Beberapa pakar tidak menolak apa yang saya sampaikan. Tetapi, mungkin karena memang kekurangan saya dalam komunikasi, tak ada tanggapan yang berarti.
Namun semangat untuk menyampaikan uneg-uneg tumbuh lagi ketika saya membaca adanya usulan dari Prof James Mori dari Universitas Kyoto, Jepang, yang dikutip oleh Gesit Ariyanto di sebuah media 12 Maret 2007. Menurut tulisan Sdr Gesit, Prof Mori mengusulkan pembangunan tanggul melingkar berdiameter hingga 200 meter berdinding pelat dan pipa besi (confferdam) setinggi 50 meter lebih, untuk mengalirkan lumpur ke sistem buangan dengan memanfaatkan perbedaan dengan ketinggian. Persoalannya, dana pembangunan sangat besar dan perlu waktu bertahun-tahun.
Saya tidak tahu rincian dari usulan Prof Mori. Tetapi apa yang sampaikan sejak tahun lalu ini dapat dilakukan. Mungkin memang terlambat, namun apakah kita akan menyerah? Kita memang berpacu dengan waktu dan beragam kemungkinan buruk, termasuk amblesnya tanah di Porong.
Patent P 00200700135
Rasanya, langkah-langkah penanggulangan tetap harus dilaksanakan. Kita bisa bangun tanggul setinggi 30 meter, tidak perlu memakai pelat dan pipa besi, tetapi dengan bahan dari pasangan batu kali. Posisi tanggul di sebelah luar dari tanggul sirtu yang telah ada. Dalam hal ini diameter tanggul adalah sekitar 500 meter. Ketebalan tanggul di bagian bawah bisa dibuat sekitar 15 meter, sedang di bagian puncak sekitar 10 meter. Setelah tanggul selesai, lumpur akan mengisi tanggul sampai ketinggian sekitar 27 meter. Pada posisi ini lumpur akan diam, tidak naik lagi karena lumpur telah mencapai total head. Sudah barang tentu, ada sistem pintu untuk mengalirkan lumpur keluar dari tanggul tersebut, termasuk sebelum tanggul melingkar itu selesai secara penuh pembangunannya..
Dalam posisi lumpur seimbang, lumpur tidak akan keluar lagi dari perut bumi karena dilawan oleh tekanan ke bawah oleh dirinya sendiri. Selanjutnya, ini yang barangkali tidak terpikirkan sebelumnya, lumpur yang ada di luar tanggul dapat dimasukkan kembali ke dalam tanggul. Lumpur tambahan itu akan membuat tekanan di atas bumi lebih besar dari tekanan di dalam perut bumi, sehingga lumpur dapat masuk kembali ke dalam bumi. Untuk sistem ini saya telah mematenkannya dan mendapat nomor patent P 00200700135.
Sistem ini jelas berbeda dengan usul Prof Mori, yang disebut membangun tanggul untuk mengalirkan lumpur ke sistem pembuangan dengan memanfaatkan perbedaan ketinggian. Dalam sistem ini, lumpur yang telah keluar dari perut bumi dapat dimasukkan kembali. Saya malah membayangkan, lumpur yang telah berjuta-juta ton tersebut secara bertahap bisa dikembalikan ke asalnya dan amblesnya tanah di lokasi pusat semburan bisa dicegah.
Menurut Prof Mori, memang belum ada satu pun contoh penanganan semburan lumpur sebesar di Sidoarjo. Orang pun bertanya, mampukah ilmu pengetahuan memberi jawabannya? Jawabannya jelas bila kita ingat Hukum Bernoulli. Persoalannya, kita mau apa tidak?
* Djaja Laksana adalah pengusaha, alumnus Fakultas Teknik Mesin ITS Surabaya, 1978.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar