Bom Bunuh Diri: Beirut, Kolombo Hingga Bali
Dying is more honorable than killing (Quanto honestius mori discunt quam occidere).
Seneca
Peristiwa-peristiwa kontemporer pengeboman dengan bunuh diri telah berlangsung lebih dari duapuluh tahun terakhir ini. Hampir 20 organisasi disebut telah terlibat dalam aksi-aksi kekerasan di berbagai negara. Tetapi sampai tiga tahun yang lalu, aksi teror seperti itu masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi di negeri ini. Bom bunuh diri di Indonesia? No way, impossible! Mana ada orang di negeri punya nyali meledakkan tubuhnya dengan bom hingga berkeping-keping? Namun kemudian, blaar, sebuah bom berkekuatan sangat besar meledak dahsyat di Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002, menewaskan lebih dari 200 orang, sebagian besar warga negara Australia. Pandangan orang pun langsung berubah.
Memang, masih ada sementara kalangan yang tetap tidak percaya bahwa aksi bom di Kuta tersebut dilakukan oleh orang-orang Indonesia yang kemudian ditangkap. Sebagian orang yang kini masih ditahan meski sudah dijatuhi hukuman mati itu disebut berasal dari sebuah pesantren di Lamongan. Organisasi yang mengaturnya bernama Jamaah Islamiyah (JI). Namun beberapa orang yang tidak percaya berkomentar, “ah, itu rekayasa”, “ah itu ulah agen Amerika atau Israel”, dan “mana mungkin orang yang biasanya jualan soto bikin bom begitu dahsyat?”
Sekarang, pandangan masyarakat secara umum tentu sudah berbeda. Apalagi dengan terjadinya pengeboman di Hotel JW Marriot Jakarta (2002), peledakan bom di depan Kedubes Australia di Kuningan, Jakarta (2004), serta ledakan bom di kawasan Jimbaran, Bali, pada 1 Oktober 2005 lalu yang menewaskan lebih dari 20 orang. Aparat Kepolisian memastikan ledakan bom di Kuta itu adalah bom bunuh diri, dengan menunjuk ditemukannya tiga kepala manusia yang terpisah dari tubuhnya. Foto-foto mereka telah disebarkan pula di berbagai kota dalam upaya mengenali tersangka yang sudah mati itu. Tokoh teroris asal Malaysia Dr Azahari kembali dituduh sebagai otak pengeboman tersebut. Wilayah Moro di Mindano Selatan disebut-sebut sebagai asal bom dan tempat pelatihan para pelakunya. Dan makin kuatlah pandangan masyarakat bahwa memang ada orang di negeri ini, yang notabene puak Melayu seperti orang Malaysia dan Moro, yang juga punya nyali melakukan pengeboman bunuh diri.
Catatan Sejarah
Pengeboman bunuh diri atau terorisme bunuh diri (suicide terorism) secara umum memang dipandang sebagai fenomena kontemporer. Aksi-aksi seperti itu mulai muncul pada awal 1980-an. Namun praktik dari “kesediaan untuk mengorbankan diri untuk menghancurkan suatu sasaran guna memperoleh tujuan politik” sudah ratusan tahun adanya.
Menurut N. Manoharan dari Institute of Peace and Conflict Studies, serangan-serangan bunuh diri untuk tujuan politik di masa kuno tidaklah banyak. Al Baruni menulis sebuah aliran bida’ah berpengaruh di abad ke-3 Masehi yang disebut Manichaisme, mengambil nama tokoh Iran bernama Mani atau Manes. Menurut ridat ini, “alam raya ini dalam kekuasaan kegelapan dan kejahatan tak terkendali yang harus dilawan sehingga fragmen-fragmen cahaya dan kebaikan bisa naik ke surga, dan dunia dapat menjadi tenang.” Dengan justifikasi ini, ia meminta para pengikutnya untuk menghancurkan dunia dan melakukannya dengan serangan-serangan bunuh diri. Ketika Shah Persia menghukum mati tokoh ajaran klenik itu, ia mengatakan, “dia perlu segera dihancurkan sebelum rencana-rencananya dapat direalisasikan.”
Di Abad Pertengahan, musafir Venesia Marco Polo menulis bahwa Al-Hasan ibn-al-Shabbah, seorang Muslim Persia dan keturunan raja-raja Himyarite di Tus, wilayah selatan Semenanjung Arabia, melakukan teror terhadap rakyat Persia dengan “pembunuhan-pembunuhan” (assassinations). Istilah “assassin” berasal dari “hashish”, obat bius yang digunakan Hasan untuk “membius etika moral anak-anak muda (usia 13 hingga 20) sehingga mereka mudah diperintah untuk membunuh” musuh-musuhnya. Para martir tersebut tersebut dijanjikan “surga”. Selain kelompok tersebut, Kelompok Yahudi Sicairis juga sangat terkenal di abad ke-11 Masehi.
Pada Perang Dunia I, pasukan-pasukan Inggris-Prancis pernah memerintahkan anggotanya untuk berani menerjang tembakan meriam musuh. Sedang dalam Perang Dunia II, Jepang menggunakan pasukan bunuh diri – kamikaze—untuk menyerang sasaran musuh dengan kredo membela Kaisar. Dengan pesawat kecil yang dipenuhi bahan peledak, mereka menabrakkan pesawatnya ke kapal-kapal perang Sekutu. Meskipun tindakan itu tidak termasuk tindakan teror bunuh diri, serangan itu perlu dicatat karena hal tersebut juga dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan pada musuh yang punya kekuatan lebih besar.
Babak kontemporer dalam terorisme bunuh diri baru muncul pada April 1983 ketika Kelompok Hizbollah menyerang Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut. Kemudian, dengan membawa sebuah truk curian yang dimuati 12.000 pon dinamit, mereka meluluhlantakkan Markas Marinir AS di Lebanon pada Oktober tahun yang sama, menewaskan sekitar 250 prajurit marinir. Namun sebenarnya, serangan itu diinspirasi oleh pengeboman Kedubes Irak di Beirut pada Desember 1981, dengan sponsor Iran berkaitan dengan Perang Irak-Iran. Kelompok El-Dawa dari Kuwait kemudian meniru taktik-taktik itu pada Desember 1983.
Keterkenalan Hezbollah setelah serangan bunuh diri terhadap markas marinir AS itulah yang kemudian mendorong para pemberontak Tamil di Sri Lanka, Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE) menggunakan taktik itu pertama kali di Kolombo pada 3 Juli 1987. Hingga sekarang, LTTE dipandang paling berhasil dalam menggunakan modus operandi ini, lewat satuan khususnya yang disebut Macan Hitam. Dengan kehormatan dijamu makan bersama pemimpin LTTE Prabhakaran sebelum melaksanakan serangan bunuh diri, kelompok ini tidak kehabisan anggota yang bersedia mati demi perjuangan mewujudkan negara Tamil merdeka. Korban yang berjatuhan ribuan, termasuk para pejabat tinggi Sri Lanka. Presiden Ranasinghe Premadasa terbunuh pada 1 Mei 1991 dan Presiden Chandrika Kumaratungga terluka oleh serangan bom bunuh diri pada 18 Desember 1999. Bahkan, PM India Rajiv Gandhi, yang memberikan bantuan kepada Sri Lanka, juga terbunuh serangan bom saat kunjungannya di wilayah selatan India pada 2 Maret 1991, dengan kemungkinan besar pelakunya anggota LTTE. Tak terhitung kapal-kapal dan markas militer Sri Lanka yang hancur.
Para peniru taktik serangan bunuh diri ternyata panjang jumlahnya. Kelompok Hamas di Palestina juga menggunakannya untuk menyerang sasaran-sasaran Israel. Organisasi lainnya adalah Gama’a al-Islamiya dan Islam Jihad di Mesir, Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki, Lashkar-e-Toiba di Kashmir, dan Al Qaeda di berbagai bagian dunia semuanya telah menunjukkan serangan-serangan bunuh diri dengan dampak besar. Salah satu serangan mereka adalah lewat pembajakan pesawat dan menabrakkannya ke Gedung WTC di New York dan Markas AB Pentagon di Washington pada 11 September 2001. Serangan-serangan bunuh diri oleh kelompok perlawanan terhadap Amerika juga terjadi di Irak setelah pasukan AS menyerbu negeri itu pada 2003 dengan korban yang juga besar.
Para pengamat mencatat sekitar 17 organisasi teroris di seluruh dunia telah menggunakan taktik serangan bunuh diri. Serangan model ini memang besar kehancuran dan korbannya, juga jauh lebih besar efek psikologisnya dibanding serangan-serangan terhadap sasaran tertentu yang diterapkan sebelumnya dalam sejarah. Dalam beberapa kasus, serangan demikian bisa memunculkan kengerian berganda karena pelakunya juga dari kalangan wanita, termasuk wanita hamil, seperti yang terjadi di Sri Lanka. Mereka dengan senang hati meledakkan diri bersama janin yang dikandungnya.
Beragam cara kini digunakan pemerintah-pemerintah di berbagai negara untuk mencegah dan menumpas para pelaku teror bunuh diri. Tetapi para pengamat menyebut, upaya ini tidak mudah bila penanganannya tidak komprehensif dan menyentuh akar masalahnya. Ini karena jenis bunuh diri dalam aksi serangan termasuk kategori altruistik dalam konsep Emile Durkheim (1856-1919), bukan jenis bunuh diri egoistis atau pun anomik.
Menurut pemikir sosial Prancis itu, bunuh diri altruistik adalah bunuh diri yang dilakukan karena perasaan integrasi seseorang dengan nilai-nilai sosial dan sistem kepercayaan. Nah, pembunuhan diri dengan serangan bom dewasa ini kiranya masuk ke dalam kategori altruistik.Seseorang yang melakukannya merasa jadi bagian dari suatu kelompok dan percaya bahwa tidak ada harapan bagi individu bila kelompok masyarakatnya terancam. Individu itu pun siap mengorbankan nyawanya sehingga kelompoknya bisa selamat. Kelompok dari pengebom bunuh diri tersebut juga meyakinkan bahwa kelompoknya terancam oleh kekuatan asing, baik secara budaya, ekonomi maupun politik.
Kelemahan lain dalam menghadapi serangan-serangan bom bunuh diri seperti itu adalah kurang siapnya pihak sasaran dalam menghadapinya. Kelihatannya sederhana, seorang atau seseorang menenteng bom. Tetapi mereka tidak sekedar menenteng-nenteng, tetapi siap meledakkannya sewaktu-waktu dengan tidak mempedulikan nyawanya sendiri. Manusia waras umumnya tidak punya nyali untuk berbuat seperti itu.
Negara-negara dengan kekuatan militer sangat kuat pun belum mampu mengatasinya hingga sekarang. Tentang ini, ada kisah menarik yang dituturkan Thomas L. Friedman, wartawan The New York Times dalam bukunya From Beirut to Jerusalem (1989). Friedman menuturkan, tak lama setelah terjadinya pengeboman terhadap markas Marinir AS di Beirut, Duta Besar Italia untuk Lebanon, Franco Lucioli Ottieri, memberikan komentar kepada Friedman:
“Anda tahu bukan bagaimana kata orang jalannya pertempuran dalam perang penghabisan? Yah, kalian orang Amerika telah mempersiapkan diri menghadapi konfrontasi dengan blok Timur…itu baik. Blok Timur dengan Uni Sovyetnya telah aman sekarang. Tapi kalian benar-benar tidak siap menghadapi perang dengan Dunia Ketiga. Kalian seperti gajah besar. Kalau gajah berkelahi dengan gajah, itu tidak apa-apa. Tapi kalau gajah berkelahi dengan ular, itu baru masalah yang sesungguhnya boat kalian. Seluruh mentalitas dan watak puritan kalian membuat kalian tidak berkutik. Lebanon penuh dengan ular,” kata Dubes Ottieri.
Apakah ular cocok untuk menggambarkan para teroris bunuh diri di luar Lebanon, termasuk di Bali? Siapa pun boleh setuju atau tidak setuju. Namun fenomena ini masih baru di negeri ini dan aparat tentu masih harus belajar pula. Selain itu, dari berbagai kelompok teroris bunuh diri, motivasi mereka umumnya jelas. Para pengebom bunuh diri Tamil memimpikan suatu negara merdeka, demikian juga Hamas di Palestina dan PKK di Turki. Tetapi apa sebenarnya motivasi pengebom bunuh diri di Bali? Silakan para ahli untuk menjawab dan mencari solusi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar