HOWARD Palfrey Jones adalah figur yang "serba bisa". Waktu hidupnya dihabiskannya sebagai tentara, wartawan, profesor, pegawai negeri, diplomat karir, dan peneliti.
Mungkin ada pihak-pihak tertentu di Indonesia yang tidak simpati pada dia, utamanya bila dikaitkan dengan politik Amerika Serikat terhadap RI pada 1950-an dan 1960-an. Maklum ia adalah duta besar AS untuk Indonesia dari 1958 hingga 1965. Sebelum itu, dari 1954 hingga 1955, ia adalah Kepala Misi Bantuan AS untuk Indonesia di Jakarta.
Tetapi terlepas masalah politik, Howard Jones sebenarnya juga banyak memberikan jasanya pada Indonesia. Lewat karya-karyanya, Dubes Jones menyebarkan informasi tentang bangsa kita dengan cerita-cerita menarik dan tulisan yang enak dibaca.
Dari tulisan-tulisannya itu diketahui, Howard Jones ternyata telah lama mengenal negeri ini jauh sebelum ia menjadi diplomat di Indonesia. Menurut Jones dalam bukunya "Indonesia: The Possible Dream", perkenalan pertamanya dengan Indonesia terjadi secara kebetulan saat ia masih di sekolah menengah di Milwauke, negara bagian Wisconsin. Saat itu kelasnya sedang belajar tentang Perang Salib dan gurunya menyarankan bila para siswa ingin melihat pakaian berlapis baja yang digunakan para tentara Salib, maka disarankan berkunjung ke Museum Milwauke. Di tempat itulah ia melihat berbagai macam senjata tajam, di antaranya adalah apa yang kemudian diketahuinya bernama keris. Keris itu dikatakannya sangat indah, dengan sarung berlapis emas dan gagang berukir. Di bawahnya tertulis, "Javanese Kris, 14th century".
Dari sini Jones kemudian banyak mengungkapkan kekaguman dan pujiannya kepada masyarakat Jawa berikut lingkungan kehidupannya ia nilai begitu indah. Buku yang juga merupakan catatan pengalamannya selama di Indonesia tersebut memang penuh dengan masalah-masalah sejarah dan politik. Buku itu diawali dengan pengantar untuk memahami Indonesia, tentang legenda-legenda mengenai Jawa, tentang Jawa di zaman batu dan ramalan-ramalan Joyoboyo, serta awal tugas Jones sebagai pejabat bidang bantuan di Indonesia dan sedikit tentang Bung Karno.
Dari Bab II hingga Bab IV penuh dengan masalah-masalah sejarah dan politik, sejak awal tugasnya sebagai Dubes AS, saat dilantik Menlu John Foster Dulles pada 21 Februari 1958 hingga ia ditarik ke Washington pada 1965, dan berbagai peristiwa naiknya Jenderal Soeharto memimpin Indonesia.
Tetapi Jones pandai mengemasnya sedemikian rupa dengan masalah-masalah ringan dalam kehidupan orang-orang Jawa dan dari suku Indonesia lainnya, serta informasi latar belakangnya (background information).
"Asal Mula Manusia"
Tentang Pulau Jawa, manusia dan budaya Jawa, misalnya. Jones menulis, nenek moyang orang-orang Jawa sudah ada pada masa pra-sejarah. Ditemukannya vosil manusia Jawa, Phithecanthropus erectus, di Lembah Bengawan Solo (Trinil maksudnya, pen) pada 1890, menimbulkan kesimpulan bahwa Jawa adalah tempat asal mula manusia sekarang ini, itu berarti tempat Taman Surga (Garden of Eden). Kalau pun tidak benar, tulis Jones, seharusnya demikian karena sulit mencari tempat lain di dunia ini yang melebihi indahnya negeri ini. Meskipun para sarjana modern cenderung berpendapat asal mula manusia berada jauh di utara dan barat, keindahan kepulauan Indonesia sangat mirip seperti yang digambarkan dalam (Injil) Genesis.
"Even if that is not true, it should be; for it would be difficult to find anywhere in the world a paradise surpassing this land of lush beauty, literally a garden. Although modern scholars tend to place the origin of farther north and west, the idyllic quality of the Indonesian archipelago lends itself appropriately to the legend of Genesis."
Jones juga menulis, masyarakat Indonesia telah mengembangkan budaya khasnya sendiri jauh sebelum ada pengaruh dari India dan Cina. Saat pengaruh itu mulai datang, mereka telah mengembangkan cara bercocok tanam dengan sistem irigasi yang canggih, trampil dalam mengolah perungu dan besi dan pelaut yang baik. Mereka juga memiliki teater sendiri (wayang), mengembangkan musik dalam bentuk gamelan, dan membuat kain batik dengan desain-desain dan bentuk-bentuk rumit lewat proses yang rumit. Mereka adalah orang-orang mencintai seni, yang rumahnya dihiasi dengan ukir-ukiran yang rumit.
Ia pun mengingatkan, di saat nenek moyang manusia Jawa menaklukkan fauna dan belantara di Pulau Jawa, mereka juga pelaut hebat. Mereka berlayar hingga ke perairan Jepang dan beremigrasi menyeberang Lautan Hindia hingga ke Madagaskar.
Saat itu, tulis Jones, seluruh daratan Eropa masih dalam budaya neolitic. Mengutip penggambaran Kapten Cook, "Britain was still inhabited by painted savages."
Clifford Geertz: Etnografi Adalah Puisi
Diakui atau tidak, untuk memahami masyarakat Jawa, banyak orang terpelajar harus menengok para ilmuwan dan pakar asing. Meskipun kini juga semakin banyak ilmuwan Indonesia yang melakukan penelitian-penelitian tentang masyarakat Jawa, tak bisa dipungkiri peran besar para pakar asing dalam hal tersebut. Dalam berbagai tulisan di buku-buku dan jurnal-jurnal ilmiah internasional, pandangan-pandangan merekalah yang justru sering dikutip sebagai acuan.
Apa penyebabnya? Mungkin apa yang dikemukakan Budi Darma, sastrawan beken yang juga guru besar, benar adanya. Dalam salah satu tulisannya, Budi Darma mengemukakan bahwa umumnya orang Indonesia sulit menulis. Kalau mendongeng, orang Indonesia pintar. Namun mereka kesulitan untuk mengemukakan gagasan-gagasan mereka secara analitis, jernih dan efektif.
Terlepas kita setuju atau tidak atas pandangan Budi Darma, tetapi jelas bahwa pengertian-pengertian tentang banyak hal masyarakat Jawa datang dari luar negeri. Bagaimana pun kita juga harus bersyukur karena sejak lama kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Jawa, menarik perhatian para pakar asing. Dengan semangat keilmuan yang besar, mereka terjun dan hidup bersama masyarakat kita. Mereka tulis pengertian tentang masyarakat Indonesia dan menyebarkannya ke seluruh dunia, banyak di antaranya adalah desertasi untuk meraih gelar doktor.
Salah satu pakar manusia Jawa yang terkemuka adalah Clifford Geertz. Siapa yang tak kenal Geertz? Nama ini adalah nama yang lekat dengan sesuatu yang menyangkut masyarakat Jawa sejak 1950-an.
Clifford (James) Geertz dilahirkan di San Francisco, California pada 1923. Ia belajar di Antioch College dan Universitas Harvard, kemudian mengajar di Universitas California (1958-1960) dan Universitas Chicago (1960-1970), lalu menjadi profesor ilmu sosial di Institut Studi Lanjut Universitas Princeton pada 1970.
Penelitian lapangannya menghasilkan sejumlah publikasi terkenal antara lain "The Religion of Java" (1960) dan "Islam Observed Religious Development in Morocco" (1968). Kemudian juga "Agricultural Involution : The Processes of Ecological Change in Indonesia", "The Social History of an Indonesian Town" (1975) dan
"Negara : The Theatre State in Nineteenth-Century Bali" (1980)
Kumpulan esainya yang paling penting adalah "The Interpretation of Cultures" (1973) dan "Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology" (1983).
Karya lainnya adalah "After the Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist" (1996). Ini adalah kumpulan tulisan kuliah Jerusalem Harvard.
Sebagai seorang anthropolog, Clifford Geertz adalah orang yang benar-benar menghayati profesinya. Sebagai dosen muda, Geertz bersama istrinya, Hildred, mengadakan penelitian lapangan selama 15 bulan pada 1953 dan 1954 di kota Pare, dekat Kediri, Jawa Timur. Hasil penelitiannya itu kemudian dituangkan dalam bukunya yang kemudian terkenal, "The Religion of Java" dan "Peddlers and Princes". Isterinya, yang juga anthropolog, menghasilkan karya terpisah antara lain "The Javanese Family". (Sayang, Geertz kemudian bercerai dengan istrinya ini, pen)
Gambaran Indonesia
Buku hasil penelitian Geertz di Pare (yang disamarkan dengan nama Mojokuto) itu adalah karya buku modern yang memberikan gambaran dan analisa tentang masyarakat Jawa. Karya itulah yang kemudian banyak membuka mata dunia tentang Indonesia. Banyak peneliti yang kemudian berdatangan di negeri ini untuk mengadakan penelitian serupa.
Geertz dalam kaitan itu adalah anthropolog yang menjadi pionir dalam memperkenalkan suatu masyarakat Indonesia di dunia keilmuan internasional. Banyak ilmuwan Indonesia yang juga seolah bangun dari tidur saat membaca karya-karya Geertz, dengan beragam penulis mengutip pandangan-pandangannya.
Tentu saja kota Pare (Mojokuto) kini telah banyak berubah dibanding dengan keadaan pada 1950-an. Pare sekarang adalah sebuah kota kecil kecamatan yang maju, tempat para pedagang hasil bumi dari berbagai kota sekitar membawa dagangannya. Harga hasil bumi di Pare adalah barometer yang dikutip resmi di Jakarta.
Tetapi deskripsi Geertz tentang masyarakat kota tersebut -- waktu itu -- cukup memberikan gambaran yang mewakili kota-kota Jawa pada umumnya.
Dalam "Peddlers and Princes", yang disalin ke bahasa Indonesia pada 1973 dengan judul "Penjaja dan Raja", Geertz menulis:
"Mojokuto kelihatannya serupa saja dengan setiap kota kecil di Jawa yang: pohon beringin, dengan patung Hindu di bawah naungannya, tumbuh di tengah alun-alun; sekelompok kantor pemerintahan di sekitar rumah wedana dengan pendapa dan halamannya yang luas; sederetan gudang-gudang dan toko-toko Cina yang terbuka bagian depannya dan berkain tenda; pasar terbuka yang luas dengan bangsal-bangsal seng yang karatan dan kedai-kedai kayu..."
Geertz dengan telaten memperhatikan kehidupan masyarakat Jawa sejak kedatangannya di Indonesia. Sejumlah tulisannya segera muncul tak lama setelah penelitiannya, yang kelak diperbaikinya berkali-kali.
Pada 1956, Geertz telah membuat tulisan berjudul "The Development of the Javanese Economy: A Socio-Cultural Approach. Tulisan ini diterbitkan Center for International Studies, Massachusetts Institute of Technology, Cambridge (Mass.).
Ia juga mengamati sikap ekonomi dan kepercayaan agama masyarakat Jawa. Pandangannya dalam soal ini dituangkan dalam "Religious Belief and Economic Behavior di a Central Javanese Town: Some Preliminary Considerations".
Adalah Geertz yang pembagiannya atas penduduk di Jawa kemudian terkenal di kalangan ilmuwan. Ia membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok, yakni kelompok 'Abangan', 'Priyayi' dan 'Santri'.
Seperti Puisi
Perhatian Geertz pada Indonesia masih terlihat hingga sekarang. Belum lama berselang ia bernostalgia di Yogyakarta, menjadi tamu di Universitas Gadjah Mada.
Sebagai seorang anthropolog, Geertz memang sudah menunjam jauh seperti akar tunjang sebuah pohon di dalam tanah. Ia sangat mencintai masalah-masalah etnografi. Ia memperlakukan etnografi seperti puisi. Dan pandangannya tentang hal tersebut tertuang dengan jelas dalam bukunya "Works and Lives : The Anthropologist As Author" (1988).
Dalam tulisannya, Geertz membayangkan masa depan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan etnografi. Di sini ia menjawab pertanyaan menyangkut peran anthropologi di masa pasca-kolonialis
di mana proyek besar dari pemikiran abad ke-19 telah diadili dan dinilai kurang. Ia bertanya apa yang hendaknya dilakukan para anthropolog sekarang di saat "proconsuls" sudah hilang dan sosiomekanis tidak masuk akal.
Geertz mengatakan, tidak ada jawaban atas pertanyaan itu. Juga tidak bisa pertanyaan itu dijawab sebelum ada fakta. Seperti puisi dan hipotesis, kata Geertz, etnografi hanya dapat dinilai 'ex post', setelah seseorang menyampaikannya. Yang paling penting, katanya, teks-teks etnografi akan memungkinkan adanya percakapan (hubungan) antarbudaya. Di halaman 147 bukunya itu tertulis:
"There is, of course, no single answer to this question, nor can answers be given before the fact . . . Like poems and hypotheses, ethnographies can only be judged 'ex post', after someone has brought them into being. But, for all that, it seems likely that whatever use ethnographic texts will have in the future, if in fact they actually have any, it will involve enabling conversations across societal lines--of ethnicity, religion, class, gender, language, race--that have grown progressively more nuanced, more immediate, and more irregular."
Geertz juga mengatakan, hal penting di masa depan bukanlah penciptaan suatu budaya universal seperti (bahasa) Esperanto, budaya bandara dan hotel motor, atau penciptaan sejumlah teknologi cepat mengenai manajemen manusia. Namun perluasan saling pengertian antara bangsa-bangsa dari berbagai kepentingan, cara pandang, kekayaan dan kekuatan.
"The next necessary thing (so at least it seems to me) is neither the construction of a universal Esperanto-like culture, the culture of airports and motor hotels, nor the invention of some vast technology of human management. It is to enlarge the possibility of intelligible discourse between people quite different from one another in interest, outlook, wealth, and power, and yet contained in a world where tumbled as they are into endless connection, it is increasingly difficult to get out of each other's way."
Jelas sekali Geertz di sini. Makin sulit suatu bangsa untuk hidup sendiri-sendiri.
George Kahin
Gunakan Gamelan dan Wayang Tarik Perhatian
NAMA lengkapnya George McTurnan Kahin. Tapi sebut saja Kahin dan banyak orang telah mengenalnya. Para pakar politik, baik di Indonesia maupun di luar negeri, tentunya tak bisa melupakan karya-karya Kahin sebagai rujukan khususnya bila membuat tulisan menyangkut peristiwa-peristiwa politik di Indonesia antara 1950-an dan 1960-an.
Kahin adalah seorang dedengkot masalah politik Indonesia (dan Asia Tenggara) di Universitas Cornell. Pada 1951 ia telah menjadi profesor di universitas elite Amerika itu dan karya-karya masih bermunculan hingga 1990-an.
Soal pemahaman dan empatinya terhadap masyarakat dan budaya Jawa dan Indonesia umumnya tidak diragukan lagi. Ia kenal sejarah masyarakat Jawa sebagai bagian Indonesia juga sudah lama, berikut berbagai pergolakan politik yang melingkupinya.
Ia paham benar misalnya liku-liku dunia mistik Jawa dan bagaimana Bung Karno dulu dengan hebatnya mengemas elemen-elemen itu dengan elemen Islam dan pemikiran politik Barat dalam pidato-pidatonya yang menawan. Ia tahu bagaimana orang Jawa senang menjadi pegawai negeri ("...As had traditionally been the case, the Javanese in particular still regarded government service as a profession of great prestige...," tulisnya). Dan kalau kelompok gamelan Universitas Cornell dalam beberapa tahun ini bisa tampil di depan guru berbagai sekolah menengah di kawasan sekitarnya, itulah antara lain berkat jasa Kahin.
Kahin bisa dikatakan ilmuwan pioner yang membuka mata warga Amerika tentang Indonesia. Bagaimana tidak? Kahin adalah satu-satunya orang Amerika yang berada di Yogyakarta, ibukota revolusi kemerdekaan Indonesia dari 1948-1949. Ia tahu benar para pejabat pemerintah Indonesia dan tokoh-tokoh pemberontak pada 1950-an.
Saat berlangsungnya KTT Asia-Afrika di Bandung pada 1955, Kahin hadir. Pulang ke Cornell, ia antara lain menulis "The Asian-African Conference, Bandung, Indonesia, April 1955". Tulisan berdasar wawancara dan rekaman lisan dalam sidang-sidang tertutup KTT itu diterbitkan Cornell University Press pada 1956.
Kepeduliannya terhadap Indonesia dan Asia Tenggara umumnya juga bisa dilihat dari bukunya "Governments and Politics of Southeast Asia" (1959), di mana ia menjadi editor. Salah satu bab dalam buku itu, tentang Indonesia, ditulis oleh Herbert Feith.
Tidak terhitung karya-karyanya yang lain. Tetapi sebuah buku baru yang menarik terbit pada 1995, dengan judul "Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhover and Dulles Debacle in Indonesia". Buku setebal 318 halaman dan diterbitkan The New Press ini ditulis bersama istrinya, Audrey Richey Kahin.
Isinya menyangkut sejarah Indonesia dari akhir penjajahan hingga awal 1960-an, saat Amerika Serikat dengan CIA-nya campur tangan secara mendalam dalam politik di Indonesia. Saat itu AS dipimpin Presiden Dwight D. Eisenhower, dengan menlu John Foster Dulles dan direktur CIA Allen W. Dulles.
Kahin seolah menertawakan CIA dalam bukunya itu, karena tanpa dokumen-dokumen yang terus ditutupi lembaga intelijen itu secara rapat, ia tetap bisa mengungkapkan berbagai kejadian dari sumber-sumber lain yang luas. Ini dilukiskan secara tepat dalam sebuah sumber di Internet.
"But George Kahin was personally acquainted with most of the key players in Indonesian politics during the 1950s, and he managed even without the CIA's documents. The importance of this work is that it exposes the covert policy of Eisenhower and the Dulles brothers in Indonesia during the 1950s..."
(Tapi George Kahin kenal secara pribadi dengan sebagian besar pemain kunci dalam politik Indonesia selama 1950-an, dan ia berhasil --menulis buku itu, pen -- tanpa dokumen-dokumen CIA. Pentingnya karya ini adalah buku ini mengungkap kebijakan terselubung Eisenhower dan Dulles bersaudara di Indonesia selama 1950-an...)
Buku tersebut memang karya yang istimewa, sebuah buku yang menggugah dan selayaknya dibaca para mahasiswa jurusan ilmu sejarah atau ilmu politik. Entah kapan bisa diterbitkan di Indonesia.
Kahin Center
Kesetiaan Kahin kepada almamater dan studi Indone
George Kahin
Gunakan Gamelan dan Wayang Tarik Perhatian
NAMA lengkapnya George McTurnan Kahin. Tapi sebut saja Kahin dan banyak orang telah mengenalnya. Para pakar politik, baik di Indonesia maupun di luar negeri, tentunya tak bisa melupakan karya-karya Kahin sebagai rujukan khususnya bila membuat tulisan menyangkut peristiwa-peristiwa politik di Indonesia antara 1950-an dan 1960-an.
Kahin adalah seorang dedengkot masalah politik Indonesia (dan Asia Tenggara) di Universitas Cornell. Pada 1951 ia telah menjadi profesor di universitas elite Amerika itu dan karya-karya masih bermunculan hingga 1990-an.
Soal pemahaman dan empatinya terhadap masyarakat dan budaya Jawa dan Indonesia umumnya tidak diragukan lagi. Ia kenal sejarah masyarakat Jawa sebagai bagian Indonesia juga sudah lama, berikut berbagai pergolakan politik yang melingkupinya.
Ia paham benar misalnya liku-liku dunia mistik Jawa dan bagaimana Bung Karno dulu dengan hebatnya mengemas elemen-elemen itu dengan elemen Islam dan pemikiran politik Barat dalam pidato-pidatonya yang menawan. Ia tahu bagaimana orang Jawa senang menjadi pegawai negeri ("...As had traditionally been the case, the Javanese in particular still regarded government service as a profession of great prestige...," tulisnya). Dan kalau kelompok gamelan Universitas Cornell dalam beberapa tahun ini bisa tampil di depan guru berbagai sekolah menengah di kawasan sekitarnya, itulah antara lain berkat jasa Kahin.
Kahin bisa dikatakan ilmuwan pioner yang membuka mata warga Amerika tentang Indonesia. Bagaimana tidak? Kahin adalah satu-satunya orang Amerika yang berada di Yogyakarta, ibukota revolusi kemerdekaan Indonesia dari 1948-1949. Ia tahu benar para pejabat pemerintah Indonesia dan tokoh-tokoh pemberontak pada 1950-an.
Saat berlangsungnya KTT Asia-Afrika di Bandung pada 1955, Kahin hadir. Pulang ke Cornell, ia antara lain menulis "The Asian-African Conference, Bandung, Indonesia, April 1955". Tulisan berdasar wawancara dan rekaman lisan dalam sidang-sidang tertutup KTT itu diterbitkan Cornell University Press pada 1956.
Kepeduliannya terhadap Indonesia dan Asia Tenggara umumnya juga bisa dilihat dari bukunya "Governments and Politics of Southeast Asia" (1959), di mana ia menjadi editor. Salah satu bab dalam buku itu, tentang Indonesia, ditulis oleh Herbert Feith.
Tidak terhitung karya-karyanya yang lain. Tetapi sebuah buku baru yang menarik terbit pada 1995, dengan judul "Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhover and Dulles Debacle in Indonesia". Buku setebal 318 halaman dan diterbitkan The New Press ini ditulis bersama istrinya, Audrey Richey Kahin.
Isinya menyangkut sejarah Indonesia dari akhir penjajahan hingga awal 1960-an, saat Amerika Serikat dengan CIA-nya campur tangan secara mendalam dalam politik di Indonesia. Saat itu AS dipimpin Presiden Dwight D. Eisenhower, dengan menlu John Foster Dulles dan direktur CIA Allen W. Dulles.
Kahin seolah menertawakan CIA dalam bukunya itu, karena tanpa dokumen-dokumen yang terus ditutupi lembaga intelijen itu secara rapat, ia tetap bisa mengungkapkan berbagai kejadian dari sumber-sumber lain yang luas. Ini dilukiskan secara tepat dalam sebuah sumber di Internet.
"But George Kahin was personally acquainted with most of the key players in Indonesian politics during the 1950s, and he managed even without the CIA's documents. The importance of this work is that it exposes the covert policy of Eisenhower and the Dulles brothers in Indonesia during the 1950s..."
(Tapi George Kahin kenal secara pribadi dengan sebagian besar pemain kunci dalam politik Indonesia selama 1950-an, dan ia berhasil --menulis buku itu, pen -- tanpa dokumen-dokumen CIA. Pentingnya karya ini adalah buku ini mengungkap kebijakan terselubung Eisenhower dan Dulles bersaudara di Indonesia selama 1950-an...)
Buku tersebut memang karya yang istimewa, sebuah buku yang menggugah dan selayaknya dibaca para mahasiswa jurusan ilmu sejarah atau ilmu politik. Entah kapan bisa diterbitkan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar