Jumat, 26 Juni 2009

Kafe Dalang dan Wayang Tahun 2100

Kafe Dalang dan Wayang Tahun 2100

Mengapa wayang kulit sebagai warisan budaya perlu perhatian ekstra? Karena ada risiko-risiko kemungkinan lenyapnya karya budaya tradisional itu. -- UNESCO..

Bagaimana kira-kira nasib kesenian wayang kulit pada sekitar tahun 2100? Atau bahkan tahun 2500, yang berarti sekitar 500 tahun mendatang?

Sebuah pertanyaan yang mungkin mengada-ada? Tidak. Ini pertanyaan biasa saja, terutama bagi orang-orang yang masih peduli pada kesenian tradisional tersebut. Karya seni budaya ini jelas sebuah karya budaya yang istimewa. Tidak berlebihan bila UNESCO memberikan penghargaan sebagai “Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” tahun lalu, yang diserahkan Dirjen UNESCO Koichiro Matsuura di Paris.

Sebagai sebuah karya seni, wayang kulit memang luar biasa. Sebagai wartawan, saya telah mendapat kesempatan yang lumayan berkeliling ke berbagai negara. Dalam kunjungan-kunjungan jurnalistik seperti itu, saya selalu berusaha untuk memperhatikan dunia seni dan budaya negara bersangkutan. Museum-museum, teater-teater, pusat-pusat musik selalu menjadi kegemaran saya untuk saya kunjungi.

Dari berbagai kunjungan itu, saya kemudian menengok wayang kulit dan membandingkannya dengan karya-karya budaya lainnya. Harus saya katakan, wayang punya keunggulan luar biasa dibanding dengan lainnya, termasuk misalnya kesenian Kabuki di Jepang. Bedanya, Jepang begitu sangat peduli pada karya budayanya itu. Negeri itu bisa mengemas kesenian tersebut, menjualnya ke para turis asing dan menghasilkan devisa yang besar. Banyak turis asing di Jepang yang selalu menyempatkan diri menyaksikan pentas Kabuki. Bagaimana dengan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali?

Jawabannya tentu kita sudah mafhum. Ironis memang. Menurut Ir Imam Robandi, M.T. Dr Eng, dosen ITS yang juga dalang wayang kulit, wayang kulit Jawa Purwa jauh lebih istimewa dibanding Kabuki. Dosen elektro itu tidak sekedar omong karena ia memperoleh doktornya di Jepang dan sering diundang di sekolah-sekolah Jepang untuk memainkan wayang kulit.

Banyak orang Jepang yang tertarik belajar mendalang wayang kulit, sebagian lainnya mencoba menciptakan wayang sendiri dalam bahasa Jepang. Seperti R. Matsumoto, yang mementaskan wayangnya dalam Kongres Pewayangan di Yogyakarta pada September 2005 yang lalu. Orang-orang yang hadir menyaksikan pentas itu tentu bersimpati pada Matsumoto yang mementaskan “wayang Jepang” meniru wayang kulit.Namun sejumlah pengamat secara bisik-bisik mengungkapkan, penampilan Matsumoto itu seperti “anak kecil” bermain wayang. Sangat sederhana bila dibandingkan para dalang di negeri ini, apabila dibandingkan dalang-dalang terkemuka..

Saya pun tidak heran bila tidak sedikit orang Barat yang terkagum-kagum pada wayang kulit, pementasannya, asal-usul, dan nilai-nilai filsafatnya. Belum lagi tentang musik gamelannya. Seperti ilmuwan terkemuka Amerika George Kahin, selama puluhan tahun menggunakan gamelan dan wayang untuk menarik perhatian masyarakat Amerika agar mempelajari berbagai hal tentang Indonesia. Selama puluhan tahun, dedengkot ilmu politik di Universitas Cornell itu identik namanya dengan gamelan dan wayang kulit Jawa Purwa. Ia punya seperangkat gamelan dan wayangnya sekaligus. Ia pun punya kelompok karawitan yang berlatih secara rutin. Dan Anda pernah dengar “American Gamelan Institute” dan “Gamelan Son of Lion” di Amerika? Sayang kolom ini hanya pendek. Tetapi ringkasnya, perhatian orang asing pada wayang cukup besar.

Oleh karena itu, di saat masyarakat di sini mengeluhkan kurangnya minat terhadap wayang, simpati harus kita berikan kepada orang-orang yang tetap peduli dan bahkan mengupayakan promosi kesenian tradisional itu. Mereka tidak sekedar mengeluh, tetapi terus berkreasi dan berinovasi guna mendorong minat masyarakat untuk melestarikan wayang. Memang mengeluh saja tidak ada gunanya. Yang penting adalah ikut membantu, bagaimana pun caranya. Seperti Wakil Gubernur Jatim Dr Soenarjo, meskipun sangat sibuk dalam tugas-tugas pemerintahan, ia masih sangat peduli memikirkan wayang. Tidak hanya itu. Ia yang memang seorang dalang selalu berusaha melakukan inovasi.

Ada saja memang yang dilakukan Ki Dalang Soenarjo. Inovasi terbaru dari “Doktor Wayang” itu adalah “Kafe Dalang Ki Soenarjo”, sebuah tontonan yang dikemas dengan campuran acara tayang-wicara alias talkshow.. Suatu pertunjukan yang terkait wayang digelar dan ditayangkan televisi, kemudian disusul dengan wawancara interaktif dengan penonton. Ki Dalang Soenarjo dan narasumber lain akan menjawab komentar dan pertanyaan dari masyarakat.

“Kafe Dalang Ki Soenarjo” ditayangkan oleh JTV, kadang dari Restoran “Agis” di kawasan sekitar Masjid Al-Akbar Surabaya, lain kali di Graha Pena. Pada 30 November 2005 yang lalu, Ki Dalang mengundang narasumber Drs KH Ali Maschan Moesa, Msi, Ketua PWNU Jawa Timur . Pada 21 November yang lalu, ganti Ny Harbiyah, anggota DPRD Jatim, jadi narasumber.

Pengamat wayang mana pun kiranya akan mengakui, tontonan yang disiarkan langsung oleh televisi itu orisinal dalam jenisnya. Belum pernah ada tontonan yang terkait wayang dikemas dengan wawancara interaktif seperti itu. Festival Wayang Nasional yang dibuka di Surabaya pekan depan pantas untuk mempelajarinya. “Kafe Dalang Ki Soenarjo” adalah sebuah cara untuk mengajak masyarakat agar lebih apresiatif dan peduli terhadap masa depan kesenian tradisional wayang kulit.

Lewat inovasi seperti itulah tampaknya masa depan kesenian tersebut akan tetap lestari, tidak mati. Dalam kaitan ini, Jawa Timur kiranya beruntung karena Gubernur Imam Utomo terlihat kepeduliannya terhadap eksistensi seni dan budaya masyarakatnya. Ini terlihat antara lain dari perhatiannya lewat bantuan-bantuan dana pada kegiatan seperti kongres dan festival pewayangan. Dalam Kongres Pewayangan di Yogyakarta September yang lalu, Gubernur Imam Utomo ikut mengirimkan pimikirannya. Dan wakilnya, Dr Soenarjo, juga aktif membinanya secara langsung.

Dalam langkah lainnya yang cukup mengejutkan, Ki Dalang Soenarjo juga melakukan suatu “terobosan” dengan menggelar pertunjukan di pondok pesantren. Pada 1 Oktober 2005, misalnya, Ki Soenarjo tampil mendalang di Pondok Pesantren Sabilil Muttaqien di Takeran, Magetan.. Pergelaran wayang kulit dengan lakon “Ontoseno Krido” itu dihadiri oleh ribuan santri pondok tersebut dan juga penduduk berbagai desa sekitar Takeran. Dua bulan sebelumnya, tepatnya 30 Juli 2005, Ki Dalang Soenarjo juga tampil di Stadion Warujayeng, Tanjung Anom, Nganjuk, dengan lakon “Semar Mbangun Jiwo” atas undangan sebuah pondok pesantren besar di desa tersebut.

Orang-orang yang gemar wayang kiranya juga akan mengakui ada sesuatu yang baru dalam langkah Soenarjo tersebut. Wayang masuk Pondok Pesantren jelas sesuatu yang tidak biasa. Peristiwa ini mungkin tidak banyak diperhatikan walaupun merupakan suatu perkembangan yang sangat penting. Tetapi sebenarnya, peristiwa tersebut juga dapat dipandang sebagai “kembalinya” wayang kulit di komunitas lamanya, tempat kesenian itu dikembangkan pula oleh para wali ternama di Pulau Jawa. Wali Songo memang berperan besar dalam mengembangkan kesenian wayang kulit.

Pemikiran Serius

Soenarjo memang sangat peduli pada wayang kulit. Ia sering mengatakan bahwa pertunjukan kesenian wayang kulit mengandung nilai-nilai tuntunan bagi masyarakat. Namun seiring dengan perkembangan di masyarakat, seni wayang harus dikembangkan sehingga bisa tetap menjadi tontonan yang menarik. Untuk itu, pengembangan segi tuntunan dan segi tontonan harus dibuat seimbang. Dalang harus selalu kreatif dan inovatif sehingga pertunjukan wayang kulit tetap diminati masyarakat. “Tanpa inovasi-inonvasi dan kreativitas para dalang, seni wayang kulit akan dijauhi, terutama oleh generasi muda,” kata Soenarjo.

Ia menjelaskan, pengembangan seni wayang kulit memang membutuhkan pemikiran yang serius karena sifat seni budaya ini yang khas. Pesan-pesan dari pertunjukan wayang adalah pesan-pesan simbolik dan tidak vulgar. Pesan-pesan dalam wayang juga penuh dengan pasemon, simbol-simbol dan filosofis sifatnya, dengan menggunakan bahasa Jawa pula.

Soenarjo mengatakan, hal itu tidak mudah karena pelajaran bahasa Jawa makin berkurang di sekolah, juga tidak ada pelajaran budi pekerti. Mobilitas penduduk juga makin tinggi dan banyak orang Jawa yang tidak lagi menggunakan bahasa Jawa, antara lain akibat perkawinan antaretnis.

Meskipun demikian, Soenarjo tetap optimistis bahwa kesenian wayang kulit akan tetap bisa berkembang di masa depan. Ia pun menghimbau agar para kepala daerah memiliki komitmen yang besar untuk membina dan mengembangkan warisan bangsa yang adiluhung ini. “Saya berharap para kepala daerah memiliki kepedulian yang tinggi pada seni budaya,” katanya. “Tentu saja juga para pemerhati dan pecinta seni.”

Pesan itu disokong oleh pakar budaya Dr Ayu Sutarto dari Fakultas Sastra Universitas Jember. Ayu mengatakan, saat ini merupakan kesempatan emas bagi para dalang untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Wayang kini makin mendapat tempat terhormat, tidak saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Seperti UNESCO telah menetapkan wayang kulit sebagai warisan budaya dunia yang harus dilestarikan.

“Oleh karena itu seni wayang kulit harus dirumat dan diruwat sebaik-baiknya. Dan posisi dalang dalam kaitan ini sangat strategis,” kata Ayu dalam sebuah forum diskusi belum lama ini..

Ayu mendesak adanya agenda kultural untuk membangun watak bangsa melalui pembangunan seni budaya, termasuk seni wayang. Adalah hal yang tragis bila kita kurang menghargai seni budaya ini di saat dunia internasional malah memberikan penghargaan tinggi. (***)

2 komentar:

  1. GO!!!! GOOO!!!!

    Wayang Indonesia!!!!

    Kh.Soenarjo!!!!

    GO!!! GO!!!!

    BalasHapus
  2. setuju teman....mari qta lestarikan wayang qta

    BalasHapus