Sejarah Akan Menulis Dirinya Sendiri
Gerakan moral dan gerakan politik adalah dua istilah yang banyak disebut-sebut baik di dalam maupun di luar tahanan, baik oleh para mahasiswa maupun oleh para pemeriksa mereka. Ketika saya dipindahkan ke Mess Perwira Yonif 516 Surabaya, kedua istilah itu tiba-tiba menarik perhatian saya, karena beberapa pidato pejabat-pejabat pemerintah yang dimuat lewat surat kabar Bhirawa (satu-satunya surat kabar yang ada di Mess tersebut), berkali-kali membicarakan istilah tersebut. Apakah gerakan mahasiswa akhir-akhir ini adalah gerakan politik atau gerakan moral?
Pertanyaan itu pernah dilontarkan kepada saya oleh seorang perwira beberapa hari yang lalu ketika kami terbawa oleh sebuah diskusi di luar acara pemeriksaan. Jawaban saya jelas. Gerakan mahasiswa Indonesia sejak kapanpun adalah gerakan politik. Sebagai gerakan politik ia mempunyai nilai moral yang berbeda dengan gerakan politik lainnya seperti gerakan politik yang dilakukan oleh Partai Politik dan Golongan Karya. Perbedaannya sangat prinsipil sehingga kelainan itu secara jelas dapat diindentifisir satu gerakan politik yang dilancarkan oleh mahasiswa.
Perbedaan itu justeru terletak pada nilai moralnya. Setiap gerakan yang telah membicarakan masalah kenegaraan, melakukan penilaian atas Garis-Garis Besar Haluan Negara, ataupun memberikan konsepsi-bandingan atas konsepsi Garis-Garis Besar Haluan Negara, apalagi jika dalam usaha ini media massa sudah digunakan, konferensi pers sudah dimanfaatkan sebagai tempat mengkomunikasikan idea-idea, dan apalagi kalau massa mahasiswa sudah dibawa serta meneriakkan tuntutan-tuntutan itu ke jalan raya, ke parlemen, atau ke lembaga-lembaga negara lainnya, dan membawa poster serta spanduk-spanduk, tidak ada lagi nama lain kecuali menetapkan bahwa gerakan itu adalah satu gerakan politik.
Kumpulan manusia, dari pelbagai profesi dan status yang melakukan tuntutan kenegaraan juga adalah gerakan politik. Partai politik dan Golkar yang berkerumun di rapat-rapat raksasa atau melakukan debat di parlemen adalah gerakan politik. Mengapa kita selalu takut dengan istilah tersebut. Mahasiswa memang insan politik seperti halnya generasi muda lainnya yang bukan mahasiswa, yang berkumpul dalam “Poesoera” atau “Angkatan Muda Brawijaya” (yang pernyataan politik mereka kubaca beberapa hari yang lalu), mereka boleh menggunakan setiap kelompoknya untuk membicarakan nasib bangsa dan negaranya, atau boleh juga secara perorangan seperti Eksponen Mahasiswa Jawa Timur atau Eksponen Mahasiswa Sumatera Utara yang beberapa hari lalu kubaca pernyataan politik mereka mendukung pencalonan Jenderal Soeharto dan Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Karena perbedaan prinsipil dalam nilai moral antara gerakan politik Parpol dan Golkar dan gerakan politik mahasiswa, maka gerakan Mahasiswa bukanlah merupakan satu gerakan yang telah dipersiapkan oleh sebuah musyawarah atau kongres seperti program aksi para Partai Politik dan Golongan Karya. Gerakan-gerakan mereka juga tidak konstan, tidak kontinyu, seperti yang terus menerus dilaksanakan oleh Parpol dan Golkar untuk merealisir program yang telah mereka sepakati dalam musyawarah atau kongres tahunan mereka. Gerakan mahasiswa tiba-tiba menjadi gerakan politik pada saat-saat tertentu ketika mereka melihat gejala politik negatif dalam hidup bernegara. Mereka melakukan tuntutan politik bukan untuk kepentingan kelompok mereka, dan ini merupakan satu ciri yang membedakan gerakan politik mahasiswa dengan gerakan politik Parpol dan Golkar. Pada gerakan politik Parpol dan Golkar, mereka hanya menempatkan dalam instansi pertama kepentingan diri mereka sendiri. Karena itulah maka kehidupan politik tidak selalu tenang tetapi penuh dengan kompetisi. Tetapi gerakan politik mahasiswa sama sekali tidak membicarakan kepentingan mereka sendiri tetapi membicarakan kepentingan bangsanya, seluruh manusia, bahkan kadang-kadang kepentingan yang sangat universal. Tuntutan politik dari gerakan politik mahasiswa bukanlah sama sekali tertuju pada kekuasaan, tentang berapa banyak kursi yang dapat direbut dalam parlemen atau berapa banyak “orang kita” yang dapat diorbitkan menjadi pemimpin politik. Tuntutan yang seperti itu adalah tuntutan klasik dari gerakan politik Parpol dan Golkar. Mereka mencari kekuasaan, sementara gerakan politik mahasiswa mencari dan terus menuntut kualitas kehidupan secara umum agar menjadi lebih baik, untuk seluruh orang, termasuk yang menjadi anggota Parpol dan Golkar ataupun yang tidak. Perbedaan-perbedaan itu yang membuat gerakan politik mahasiswa sering disebut dengan julukan “gerakan moral.” Moral dalam pengertian yang tidak harfiah, tetapi moral dalam pengertian dekatnya jarak mereka dengan kepentingan seluruh rakyat. Gerakan politik mahasiswa hanya terjadi pada saat-saat tertentu dan biasanya tidak memakan waktu panjang. Gerakan itu terjadi biasanya dan selalu bukan karena adanya kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan politik, tetapi justeru ketika terjadi keprihatinan sosial ekonomi dalam masyarakat. Gerakan politik Parpol dan Golkar biasanya meningkat ke suhu yang panas dan tinggi jika terbuka kesempatan mengenai perebutan porsi-porsi kekuasaan dalam masyarakat. Gerakan politik mahasiswa berhenti dengan tiba-tiba jika sebagian dari tuntutan mereka telah terpenuhi atau jika mereka menghadapi kenyataan bahwa mereka tak cukup mampu memaksakan tuntutan mereka selanjutnya karena karena mereka terpaksa dihadapkan kepada kekuasaan. Ini tidak berarti bahwa gerakan politik mereka sudah selesai. Sama sekali tidak. Gerakan politik mahasiswa akan terus terjadi sepanjang sejarah, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Ia bukan satu kesalahan dan inipun bukan satu takdir, tapi ini tuntutan perkembangan, tuntutan pembaharuan dus tuntutan pembangunan. Ya, gerakan politik mahasiswa akan terus walaupun hari ini mereka berhenti, tetapi di satu saat gerakan seperti ini akan muncul lagi, didalangi atau tidak didalangi. Medan politik mereka tidak terbatas di kampus-kampus atau di dalam forum-forum diskusi dan seminar. Medan politik mereka selalu dalam segala tempat dan dalam sejuta wajah. Mungkin di ruang sidang parlemen, mungkin hanya terbentuk sebuah petisi kemanusiaan lewat surat kabar, atau puisi-puisi protes dalam satu renungan suci, mungkin juga corat-coret di tembok-tembok kota. Medan mereka memang tak terbatas, terlalu luas, seluas angan-angan dan cita-cita mereka. Karena itu bermimpilah kita jika kita akan melokalisir gerakan-gerakan mahasiswa walaupun dengan cara yang sangat brilian.
Medan yang paling efektif buat mereka agar mendapatkan perhatian segera adalah jalan raya dengan membawa massa mahasiswa. Dan inilah sesungguhnya cara yang paling efektif buat mereka agar mendapatkan perhatian segera adalah jalan-jalan raya dengan membawa massa mahasiswa. Dan inilah sesungguhnya cara yang paling kotor dan berbahaya bagi kita semua. Inilah yang saya tentang mati-matian sejak tahun 1967 sampai pada tanggal 9 Desember 1977 malam, ketika saya menyampaikan ceramah saya di hadapan tokoh-tokoh mahasiswa Surabaya. Gerakan massa adalah satu gerakan yang jaraknya cuma satu millimeter dari satu tindakan anarkhis terutama sekali di masyarakat yang jurang kemiskinannya sangat jomplang seperti keadaan kita sekarang ini. Gerakan seperti itu tidak banyak menghasilkan tetapi bahkan mengancam kehancuran. Hasilnya bukanlah yang terbaik, karena ia hanya menampilkan para “gangster” yang pandai berbicara naik ke panggung dan berteriak liwat pengeras suara. Kepribadian gerakan massa adalah kepribadian yang lemah karena gerakan tersebut hanya akan mencapai tujuan yang lemah dan emosionil. Bisa jadi dari gerakan seperti itu jaket akan berganti dasi dan para agitator mendapatkan fasilitas bisnis.
Cuma itu. Kemudian yang akan terjadi selanjutnya adalah kekecewaan yang kelak akan menimbulkan satu gerakan perlawanan baru. Tetapi mengapa gerakan massa selalu terjadi dalam setiap kebangkitan mahasiswa Indonesia? Ada semacam kepribadian dalam diri gerakan mahasiswa Indonesia. Mereka suka memboroskan kebebasan yang mereka peroleh. Gerakan massa yang dilancarkan mahasiswa biasanya hanyalah merupakan buntut atau aktivitas terakhir dari satu gerakan kecil yang dimulai jauh sebelumnya. Mungkin di awal gerakan, mereka hanya menggunakan forum diskusi tetapi kemudian forum itu berkembang dari hari ke hari semakin membesar dan merentet dari satu Perguruan Tinggi ke Perguruan Tinggi yang lain, dari satu kota ke kota yang lain. Tuntutan mereka pun berkembang dari hari ke hari. Dan pada akhirnya akan tercapai satu kebersamaan membawa massa mahasiswa ke jalan raya. Ada faktor-faktor di luar diri mahasiswa yang membuat dengan mudahnya mereka turun ke jalan-jalan raya. Pertama, adalah keragu-raguan pemerintah dalam menyimpulkan arah gerakan mahasiswa sehingga sukar menemukan satu satu cara untuk menghentikan mereka dengan baik. Di satu pihak ada kekhawatiran pemerintah akan arah gerakan itu, sedang di pihak lain ada kalangan yang lebih sabar yang melihat wajarnya gerakan tersebut.
Kedua, kurang pekanya infrastruktur politik yang lain di luar mahasiswa, baik itu Parpol dan Golkar yang justeru memiliki wakil-wakil mereka di parlemen. Kekurangpekaan infrastruktur politik tersebut bisa membuat lembaga legislatif kurang cepat menyahut isu yang dilancarakan dari forum-forum diskusi mahasiswa atau penyataan-pernyataan dan petisi yang mereka kirimkan. Keadaan ini telah membantu mempercepat turunnya mereka ke jalan-jalan raya karena mereka ingin segera bergegas. Gerakan massa adalah satu-satunya cara yang mereka anggap lebih mempercepat datangnya jawaban.
Saya menentang gerakan massa karena ini sikap hidup dan ini naluri seorang penulis, dan karena saya menakutkan trauma social yang keras, yang mengambil risiko besar tetapi menghasilkan sesuatu yang sangat tak berarti. Lebih dari itu karena saya telah pernah berada di tengah gerakan massa di tahun 1966. Tetapi jika benar bahwa kita menghadapi gerakan mahasiswa secara serius dalam pengertian memberikan kesempatan kepada mereka untuk menawarkan gagasan politik tanpa demonstrasi, sesungguhnya hal ini adalah sangat mudah untuk dilaksanakan. Tetapi ternyata saya menyaksikan sendiri betapa sejak tanggal 28 Oktober 1977 ketika gerakan mahasiswa dimulai dari Ikrar Bandung semua orang memandangnya dengan dingin. Sejak tanggal 28 Oktober 1977 gerakan mahasiswa tetap dinilai wajar dan masih dalam batas-batas yang dapat dimengerti. Gerakan itu hanya menjadi tidak wajar dengan tiba-tiba pada tanggal 21 Januari 1978 dan merekapun mulai ditangkap untuk diperiksa. Tuduhannya subversi. Oo, alangkah ajaibnya politik. Walaupun demikian saya selalu berkeyakinan bahwa sejarah yang paling jujur adalah sejarah yang ditulis oleh dirinya sendiri, bukan oleh siapa-siapa.
Ya, sejarah akan menulis dirinya sendiri dan itulah yang terbaik.
Mess Perwira 516
Surabaya Akhir Maret 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar