Jumat, 26 Juni 2009

Bahaya Totaliterisme

1984 : Bahaya Totaliterisme

Marilah kita lihat terlebih dahulu beberapa kemungkinan mengapa George Orwell menulis novel 1984. Dia lahir di India dan pernah belajar di sana di sekolah dasar khusus disediakan untuk anak-anak Inggris. Melihat keadaan di sekolahnya, dia menjadi tidak kerasan. Baginya sekolah hanyalah untuk orang-orang yang sok. Sebagai anak kecil dia merasakan bahwa dunia yang sesungguhnya terletak dalam kehidupan yang nyata, bukan di sekolah. Meskipun demikian dia terus sekolah, dan akhirnya memenangkan besiswa untuk melanjutkan ke Eton, sekolah di Inggris yang terkemuka pada waktu itu.

Setelah selesai pendidikannya di Eton, dia kehabisan niat untuk melanjutkan pelajarannya ke perguruan tinggi. Dia masih tetap bersitegang bahwa pendidikan sekolah hanyalah kepura-puraan. Karena itu dia mengembara ke beberapa tempat, terutama di luar Inggris. Dan di tempat-tempat asing itu dia banyak menyelesaikan novelnya.

Dari sebagian riwayat hidupnya kita dapat menduga bahwa dia tidak menyukai masyarakat yang mapan. Dia lebih suka tinggal di daerah yang masih menimbulkan tanda tanya, seperti misalnya Birma. Di tempat-tempat yang bergejolak pun dia suka tinggal, seperti misalnya Spanyol. Di negeri itu dia bahkan menggabungkan diri ke dalam perang saudara.

Dari sebagian riwayat hidupnya kita juga dapat menduga bahwa dia tidak menyukai ideologi yang sudah mapan. Kehidupan politik di Inggris sudah mencapai bentuk yang kuat. Memang betul kemudian Inggris harus melepaskan koloninya. Dan menjelang lepasnya koloni-koloni tersebut, pasti Inggris juga di goncang oleh kegawatan politik. Tapi bagai manapun juga, kehidupan politik di Inggris sudah matang. Untuk hancur pun, kalau perlu kehidupan politik di Inggris sudah matang, demikian juga untuk korup.

Karena dia tidak suka ideologi yang baginya sudah mapan, akhirnya dia banyak main mata dengan gerakan-gerakan sayap kiri. Tapi kemudian dia menyadari bahwa yang serba kiri ternyata selalu menginjak-injak harkat kemanusiaan. Otoriterisme dan totaliterisme juga merupakan praktek orang-orang kiri. Karena itulah dia menganggap bahwa yang serba kiri harus dikecam habis. Dari anggapannya ini timbullah gagasan untuk menulis novel 1984.

Pada dasarnya, George Orwell selalu gelisah, dan karena itu selalu mencari yang masih serba goyah. Dalam suasana yang serba goyah dia merasa akan mampu mencari jawab sebab-sebab kegelisahannya. Dan ternyata kegelisahannya mencari bentuk yang lebih banyak bersifat politik. Dia berkesimpulan bahwa politik adalah kunci kesejahteraan dan juga terhadap kehancuran. Dan kesimpulannya ini dia melancarkan pendrian yang bersifat politik melalui novel.

Kebetulan sekali, suasana politik menjelang Orwel menulis novel 1984 dalam keadaan galau. Melalui novel, dia berusaha meyakinkan pembaca untuk bersiap-siap menghadapi suasana politik yang lebih buruk. Pada waktu itu perang saudara berkecamuk di Spanyol. Kemudian di Rusia tekanan terhadap kebebasan rakyatnya makin bersimaharajalela. Dan beberapa diktator muncul di Eropa. Setelah para diktator muncul, pecahlah Perang Dunia II lengkap dengan segala macam keruwetannya. Begitu Perang Dunia II selesai, datang pulalah perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Maka siaplah Orwell menulis novel 1984. Pada tahun 1949 novel tersebut terbit.

Tahun 1984, yaitu tahun terjadinya apa yang diceritakan dalam novel 1984, bukanlah tahun yang nyata. Dia tidak menyatakan, dan juga tidak meramalkan, bahwa dalam tahun 1984 keadaan yang dilukiskan dalam novel tersebut akan benar-benar terjadi. Angka 1984 sangat nisbi sifatnya. Dan dia lebih banyak merasa prihatin, bahwa mengganasnya totaliterisme pada suatu saat kelak akan makin memuncak dan makin banyak meminta korban.

Obsesi Politik

Novel 1984 pernah menjadi sangat terkenal. Tapi setelah melampaui pertengahan tahun enam puluhan, keterkenalan novel ini mendadak memudar. Dan sebagai novel sastra, 1984 sudah banyak diabadikan. Sekarang orang sudah cenderung berpendapat bahwa 1984 bukan novel yang baik, dan juga bukan novel sastra.

Tentu saja banyak sebabnya mengapa oleh sementara kalangan sastra novel ini tidak lagi dianggap sebagai karya sastra, salah satu sebabnya adalah obsesi Orwell yang mendorongnya untuk menulis novel ini. Obsesi Orwell adalah obsesi politik. Kalaupun ia memperhatikan manusia, baginya manusia hanyalah obyek politik.

Sikap dan obsesi Orwell ada miripnya dengan sikap dan obsesi Arthur Koestler, Koestler juga pernah terlihat dalam perang, yaitu Perang Dunia II. Keterlibatan Koestler juga bermula dari kesadaran politiknya. Kemudian Koestler juga pernah main mata dengan orang-orang komunis. Dan seperti Orwell, akhirnya Koestler juga menyadari praktek buruk gerakan komunisme. Lahirnya novel Arthur Koestler Gerhana Tengah Hari juga didorong oleh kesadaran politiknya (Lihat Resensi Budi Darma, “ Kompedium Kebobrokan Kaum Komunis “, Optimis, 40, Mei 1983).

Koestler juga lebih banyak memperlakukan manusia sebagai obyek politik. Dan seperti halnya novel 1984, novel Gerhana Tengah Hari, tidak dianggap atau tidak dianggap lagi sebagai novel sastra.

Hemingway berbeda dengan Orwell dan Koestler, meskipun Hemingway juga pernah terlibat dalam perang saudara di Spanyol, yang mendorongnya untuk menulis novel For Whom the Bell Tolls. Dan Hemingway juga pernah terlibat dalam Perang Dunia I, seperti yang tercermin dalam novel A Farewell to Arms. Antara lain karena perhatian Hemingway yang berbeda, novel-novelnya juga berbeda dengan novel-novel Orwell dan Koestler. Sementara Orwell dan Koestler adalah pengarang-pengarang politik dan menulis dengan kesadaran politiknya, Hemingway bukan pengarang politik dan memperlakukan manusia dalam novel-novelnya sebagai unsur politik.

Karena titik tolak Orwell adalah politik, dari sudut pandangan sastra penggambaran Orwell tidak bisa diukur dengan logika sastra. Imajinasi Orwell bukanlah imajinasi sastra. Dengan tidak mempergunakan imajinasi sastra. Aldous Huxley dalam novel The Brave World dan H.G. Wells dalam novel The Time Machine telah melahirkan rekaan yang juga tidak dapat dikaji dengan logika sastra. Dan dalam sastra nama mereka memang sudah gugur. Kembali mengenai Orwell, novelnya 1984 kurang dapat menciptakan daya renung pembaca sastra.

Hancurnya Nilai-Nilai Kemanusiaan

Tapi bagaimanapun juga, hancurnya nilai-nilai kemanusiaan yang dimaksudkan oleh Orwell membuat prihatin semua orang yang sehat nurani dan pikirannya. Isyarat mengenai kehancuran tersebut sangat mengerikan. Bayangkan : Winston Smith harus mengubah fakta-fakta sejarah di dalam arsip pemerintah agar semuanya sejalan dengan kepentingan partai, orang-orang dikumpulkan untuk menerima indoktrinasi mengenai kehebatan partai, mereka yang tidak bersemangat dalam mendukung partai pasti kena ciduk untuk kemudian “diuapkan”, kemanapun seseorang pergi pasti akan berhadapan dengan telescreen yang memuat gambar ketua partai siapapun tidak diperkenankan memegang bacaan yang tidak secara resmi dikeluarkan oleh partai, dan lain-lain. Dalam novel ini digambarkan betapa tidak berharganya keselamatan setiap orang. Kemanapun seseorang pergi, dia diincar oleh polisi pemerintah. Dan setiap orang dicurigai sebagai musuh terselubung. Bahasa mereka pun harus diubah sesuai dengan keinginan partai. Setiap orang yang sehat nurani, dan pikirannya pasti akan menolak gagasan untuk menjadikan manusia kehilangan martabat.

Sebatulnya, bagi orang yang biasa hidup di alam yang bebas seperti di Indonesia antara lain, tidak ada apa-apa yang istimewa dalam diri Winston Smith. Setiap orang pasti menginginkan kebebasan, kesendirian, bacaan, makan dan minum yang lezat, hubungan kelamin dan lain-lain. Dengan hanya memiliki keinginan-keinginan tersebut, orang tidak perlu menjadi istimewa. Dan Winston Smith juga tidak istimewa, tapi dia tampak lebih besar dari pada semestinya, karena orang-orang lain lebih sederhana daripada dia. Mereka yang lebih istimewa sedikit daripada Winston Smith pasti sudah musnah “diuapkan”, seperti yang telah dialami oleh ibu Winston sendiri. Dan setelah dijebak, ditangkap, disiksa, dan diindoktrinasi, Winston Smith berubah menjadi sesederhana yang lain-lain. Dia mencintai orang partai yang menjebaknya, dan mengagumi serta mempercayai semua kata-kata pemimpin partai tanpa reserve.

Saling Mengkhianati

Seperti yang digambarkan dalam novel ini dan juga dalam novel Koestler Gerhana Tengah Hari, khianat-mengkhianati amat jamak terjadi di negara-negara totaliter. Dalam novel 1984, kita melihat betapa inginnya Winston untuk dapat menyendiri dan terlepas dari pandangan pemimpin partai yang selalu mengamat-amati semua warga-warga melalui telescreen. Dan kita juga melihat betapa inginnya dia untuk mendapatkan bacaan yang diterbitkan bukan oleh partai. Dia ingin muntah membaca segala sesuatu yang diterbitkan oleh partai, sebab dia sendiri terlibat dalam penyediaan sebagian kecil bacaan-bacaan tersebut. Dalam Departemen Kebenaran, pekerjaannya sehari-hari adalah mengubah fakta-fakta sejarah untuk kemudian diterbitkan. Dalam keadaan ingin menyendiri dan haus bacaan, dia berkenalan dengan Charrington, pemilik toko buku gelap. Akhirnya Winston dan Charrington bersahabat.

Sementara itu Winston mengenal Julia, gadis yang mengaku terus terang telah jatuh cinta padanya. Di samping itu Julia juga mengaku bahwa dia sebenarnya membenci partai, tapi berbuat seolah-olah tidak membencinya hanya untuk kepentingan keselamatannya. Winston kemudian juga memutuskan untuk menyewa kamar Charrington, sebab kamar ini bebas dari telescreen pemimpin partai. Ternyata Charrington adalah agen partai, dan terjebaklah Winston dan Julia.

Winston dan Julia ditahan terpisah. Masing-masing mereka disiksa, sampai akhirnya Winston terpaksa mengkhianati Julia, dan Julia juga mengkhianatinya. Bagi Winston lebih baik Julia yang dibunuh oleh partai, dan Julia lebih baik Winston yang dibunuh oleh partai. Mungkin dalam keadaan tersiksa semacam ini, dapat diterima akal bahwa mereka saling mengkhianati. Mencari keselamatan kalau perlu dengan jalan mengkhianati, dan tentu saja juga dengan jalan berpura-pura seperti yang dilakukan oleh Julia, mungkin merupakan gejala biasa yang sering dilihat oleh Orwell dan Koestler dalam negara-negara totaliter. Dan kedua pengarang tersebut mungkin juga telah banyak menyaksikan betapa mudahnya orang menjadi robot dalam negara-negara tersebut.

Bahaya Totaliterisme

Salah satu jalan untuk mengubah orang menjadi robot adalah melalui pencurian otak, seperti yang akhirnya dialami sendiri oleh Winston. Dan untuk keperluan mencuci otak, partai juga menciptakan bahasa baru. Apabila kebutuhan tertentu ditekan sampai orang tidak lagi merasakan kebutuhan tersebut, dengan sendirinya idiom untuk mengungkapkan keperluan tersebut akan terkikis. Melalui pengotoran pemikiran, partai memang dapat memanipulasi rakyat. Dan seperti juga yang terlibat dalam novel 1984 dan novel Gerhana Tengah Hari, untuk mengontrol pemikiran rakyat, partai perlu menciptakan slogan-slogan.

Tapi apapun yang terjadi, manusia selalu mempunyai instink untuk mempertahankan harkatnya. Beberapa kali percobaan pembunuhan terhadap Hitler, larinya orang-orang dari Blok Timur ke Blok Barat, revolusi kebudayaan di RRC, dan sebagainya, merupakan pertanda bahwa segala macam bentuk penindasan tidak akan seratus persen berhasil. Orwell lebih banyak menekankan bahaya totaliterisme, dan karena itu dalam novelnya orang-orang yang masih mempunyai instrink untuk mempertahankan harkatnya pasti terkalahkan oleh pertai. Sikap Julia melepaskan pakaiannya dihadapan Winston Smith, yang menurut Orwell seakan-akan merupakan penghancuran terhadap “a whole culture, a whole system of thought, as thought big Brother an the Party and Thought : Police could all be swept into nothingness by a single splendid movement of the arm”, juga akhirnya terkalahkan oleh kekuasaan partai.

Dalam dunia di luar novel, orang-orang yang gigih dan selamat pasti ada. Karena itulah, totaliterisme pasti hanya bersifat sementara, betapapun panjangnya kesementaraan itu. Mungkin untuk kepentingan moral novelnya, yaitu mengajak pembaca untuk merasa ngeri terhadap totaliterisme. Orwell tidak menunjukkan kesementaraan itu.

Totaliterisme dapat juga muncul dalam teknologi dan industri, meskipun pengertian “totaliterisme” sebetulnya terbatas pada politik. Berkuasanya iklan di negara-negara kapitalis atau yang bebas sistem ekonominya juga merupakan pengejawantahan totaliterisme yang bukan politik. Orang dicuci pikirannya untuk menjadi tergantung pada produk tertentu. Tapi totaliterisme semacam ini tidak dirasakan sebagai tekanan, sebab para korban dapat menikmati tekanan terselubung tersebut. Sebagian besar orang, misalnya, malahan merasa beruntung dengan adanya kendaraan Jepang.

Tapi apapun yang terjadi, dalam segala bentuk totaliterisme pasti ada orang-orang yang muncul untuk membela kebenaran. Bangkitnya Ralph Nader untuk membela kepentingan para konsumen merupakan salah satu contoh.

Sekali lagi, tahun 1984 dalam novel 1984 bersifat nisbi, bukannya harafiah tahun 1984. Praktek totaliterisme dalam novel ini juga nisbi, tidak harus terjadi seperti yang terdapat didalam novel. Akan tetapi bahaya totaliterisme selalu mengancam, dan setiap totaliterisme selalu makan korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar