Jumat, 26 Juni 2009

siswa tak bodoh

Gagal UN: Tak Ada Anak Bodoh

When one door of happiness closes, another opens, but often we look so long at the closed door that we do not see the one which has been opened for us.

-- Helen Keller

Kelulusan ujian nasional (UN) 2006 siswa SMA sudah diumumkan. Angka kelulusan UN tahun ini dikatakan luar biasa dalam arti pencapaiannya, naik dibandingkan dengan UN tahun 2005. Padahal angka standar kelulusan tahun ini juga lebih tinggi. Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Suhendro mengungkapkan, untuk SMA angka kelulusan naik dari 80,76 persen menjadi 92,50 persen. Untuk madrasah aliyah (MA) dari 80,73 persen menjadi 90,82 persen. Adapun untuk sekolah kejuruan (SMK) dari 78,29 persen menjadi 91,00 persen. (Kompas, Selasa, 20 Juni 2006)

Dalam suasana seperti sekarang, perhatian biasanya lebih tertuju pada sekolah-sekolah paling berprestasi, juga kepada para siswa yang meraih nilai ujian nasional (NUN) tertinggi. Para guru dan orangtua murid pun membicarakan prospek anak-anaknya yang pandai dalam menempuh studi berikutnya. Bayangan mereka pun tertuju ke universitas-universitas terbaik di negeri ini, sebagian kecil lainnya ke luar negeri. Manusiawi memang hal yang demikian itu.

Tetapi siapakah yang memikirkan para siswa yang tak lulus sekolah? Kalau pun memikirkan, seberapa jauh? Apa yang terdengar sejauh ini adalah dibukanya kesempatan bagi siswa yang tak lulus UN untuk mengikuti Kejar Paket C dengan biaya tiga bulan sekitar Rp 450.000. Persoalannya, banyak di antara mereka yang tak lulus itu adalah anak-anak yang orangtuanya tak mampu secara finansial. Namun yang paling penting tentunya bagaimana membangunkan semangat anak-anak yang tak lulus itu untuk bangkit dan merancang sukses di masa depan.

Senyatanya, tugas untuk merancang sukses masa depan bagi siswa yang tak lulus itu adalah tugas besar yang menantang bagi para guru dan orangtua. Sama beratnya adalah mendidik anak-anak yang belajar di sekolah-sekolah non-favorit (SD hingga SMA), para siswa yang sudah dicap anak bodoh, kurang mampu, atau pas-pasan kemampuan intelektualnya. Siapa punya perhatian? Media massa juga tidak.

Padahal, kalau kita jujur, mengajar anak-anak pintar yang berkumpul di sekolah-sekolah favorit jelas jauh lebih mudah dibanding mengajar siswa dengan kemampuan rendah atau pas-pasan. Sebagian “anak bodoh” itu adalah anak-anak yang rendah diri, kurang percaya diri, seringkali juga akibat kemiskinan keluarganya. Betapa tidak mudahnya membangkitkan motivasi mereka begitu mereka tidak lulus ujian, misalnya.

Apa yang juga penting diingat, anak-anak dengan kategori demikian bukan berarti masa depannya suram (madesu). Selain itu, sebenarnya tidak ada anak yang salah bila kurang berprestasi di sekolah. Tidak salah pula bunda mengandung. Kalau ada pemeo ‘tak ada prajurit yang bodoh, hanya perwiranya yang tak becus’, maka saya berani mengatakan bahwa tak ada siswa yang bodoh kecuali guru atau orangtuanya yang salah. Tragisnya, tidak sedikit guru dan orangtua yang begitu mudah menuding seorang anak bodoh. Mereka tidak bertanya, apa mereka sudah membantu secara maksimal anak-anak mereka itu.

Potensi Setiap Anak

Setiap anak menyimpan potensi yang besar dalam dirinya. Prinsip ini rasanya sangat penting bagi orangtua dalam mendidik anak. Jangankan anak-anak yang nilai rapornya average atau biasa-biasa saja. Banyak sekali anak yang di masa sekolah dikenal “bodoh” dengan rapor buruk, ternyata kemudian menjadi tokoh-tokoh terkenal kelas dunia, termasuk menjadi penemu-penemu yang sangat cemerlang.

Terlalu banyak mungkin contohnya, tetapi kita bisa melihat tokoh-tokoh dunia seperti Sir Winston Churchill, Charles Darwin, Thomas S. Edison, Albert Einstein, Henry Ford, Gamal Abdul Nasser, Sir Isaac Newton, Pablo Picasso, James Watt dan Emile Zola. Siapa sangka tokoh-tokoh top itu dianggap bodoh di masa sekolahnya?

Negarawan Inggris yang cemerlang, Sir Winston Churchill (1874-1965), misalnya, meskipun berasal dari keluarga ningrat terpandang, di masa kecil dianggap terlalu bodoh oleh sang ayah. Begitu bodohnya, seperti ditulis dalam The Book of List 2 karya Irving Wallace dkk, sehingga Churcill diperkirakan tak akan dapat mencari nafkah sendiri. Sebagai anak hiperaktif, Churchill menyukai sejarah dan sastra tetapi menolak belajar bahasa Latin, Yunani atau matematika, dan masuk Sekolah Menengah Harrow sebagai siswa paling rendah nilainya (the rock-bottom student).

Hal yang sama terjadi pada Thomas A. Edison (1847-1931), seorang penemu Amerika yang mematenkan ribuan penemuannya. Di masa sekolahnya, tak ada yang tertarik pada Edison kecuali ibunya. Guru pertamanya melukiskannya sebagai anak yang “lambat”, ayahnya menyebut anaknya itu “dungu”, sementara kepala sekolahnya berkomentar Edison “tidak akan pernah berhasil dalam bidang apa pun.” Namun dengan bimbingan ibunya, Edison menjadi kutu buku sebelum akhirnya mengejutkan banyak orang dengan temuan-temuannya.

Dunia mengenal Albert Einstein sebagai ahli fisika penemu teori relativitas yang kesohor. Tetapi mungkin ada yang belum tahu bahwa saat Einstein kecil, ayah dan ibunya khawatir anaknya itu idiot karena bicaranya terpatah-patah sampai usia sembilan tahun dan tak bisa menjawab pertanyaan meskipun telah dijelaskan berulang-ulang. Semua nilai pelajarannya di Sekolah Menengah buruk kecuali matematika, hingga gurunya menyuruhnya berhenti sekolah saja dan berkata, “kamu tak akan berhasil dalam hal apapun, Einstein.”

Penilaian gegabah juga tertuju kepada tokoh-tokoh seperti Sir Isaac Newton (1642-1727), yang kini disebut the greatest intellect of all time, Pablo Picasso (1881-1916), maestro lukis dari Spanyol, dan Emile Zola (1840-1902), novelis Prancis di masa kecil mereka. Tokoh terakhir ini, Zola, memang lulus ujian sains dan matematika saat masuk Sorbonne, tetapi gagal dalam bahasa dan sastra. Nilainya dalam bahasa memang selalu buruk. Tetapi toh ia akhirnya menjadi piawai dalam menulis.

Contoh lain masih berderet-deret, termasuk anak-anak yang lahir dengan cacat mental dan fisik. Kuncinya adalah kasih sayang dan komitmen orangtua atau guru untuk menumbuhkan rasa optimisme dan kepercayaan diri anak. Dengan sikap demikian itu, Jim dan Nancy Dornan, pendiri Network 21, bisa mengantar anaknya yang cacat menjadi anak yang mandiri dan berprestasi. Demikian juga Kenzaburo Oei, pengarang Jepang. Oei tidak hanya sukses mendidik anaknya yang cacat, bahkan memenangkan Hadiah Nobel Sastra berkat tulisan-tulisan hasil inspirasi dari keadaan anaknya itu. Penulis dan pendidik terkenal Amerika Hellen Keller (1880-1968), mungkin contoh lain yang istimewa. Saat usianya baru dua tahun, Keller terserang penyakit aneh hingga membuatnya buta dan tuli. Tetapi berkat bimbingan gurunya, Anne Sullivan, Keller menjadi anak yang selalu optimistis dan percaya diri.

Keller mengatakan, optimisme adalah kunci sangat penting untuk sukses. Ia pun bertutur, ketika satu pintu kebahagiaan tertutup, maka pintu kebahagiaan yang lainnya terbuka. Sayangnya, kita sering meratapi terlalu lama pintu yang sudah tertutup sehingga membuat kita tidak melihat adanya pintu lain yang sudah terbuka untuk kita.

When one door of happiness closes, another opens, but often we look so long at the closed door that we do not see the one which has been opened for us,” kata Keller.

Bagaimana seorang tunanetra seperti Hellen Keller tidak memandang cacat fisiknya sebagai penghalang untuk meraih sukses? Ia mengatakan, modalnya adalah optimisme. Optimism is the faith that leads to achievements. Nothing can be done whithout hope and confidence. (Optimisme adalah keyakinan yang akan membawa pada pencapaian hasil. Tidak ada sesuatu pun yang bisa diperbuat tanpa adanya harapan dan rasa percaya diri).

You’re what you think you are, kata orang Inggris. Kata-kata itu benar sekali. Bagaimana kita memandang anak-anak kita, juga akan menentukan bagaimana anak-anak kita belajar memandang dirinya sendiri karena mereka meniru lingkungannya. Apakah anak-anak akan berkembang menjadi anak-anak yang penuh optimisme dan percaya diri? Ataukah akan menjadi anak yang rendah diri dan penuh pesimisme dalam menatap masa depan? Sekali lagi tidak ada anak yang salah. Kita sebagai orangtua yang akan menentukan akan menjadi seperti apa anak-anak kita nantinya.

Anak kita gagal ujian nasional? Atau tidak bisa masuk sekolah favorit? Itu hanyalah sebuah pintu kebahagiaan yang tertutup. Seperti dikatakan Hellen Keller, pintu kebahagiaan lain pasti terbuka. Terlalu naif bila kita meratapi terlalu lama atas pintu yang telah tertutup itu. Rugi besar bila kita membiarkan pikiran-pikiran kita untuk melawan diri kita sendiri. Lebih baik kita mengembangkan input-input positif ke dalam diri kita karena input-input negatif selalu mengelilingi kita setiap hari.

Sekali lagi, tidak lulusnya atau tidak masuknya anak kita di sekolah favorit bukan berarti anak kita bodoh, bukan pula tanpa masa depan atau madesu. Kita tidak boleh menghancurkan motivasi belajar anak-anak kita dengan menunjukkan kepanikan dan kekecewaan yang mendalam atas hal tersebut. Terlalu berbahaya pula menilai dan membuat ranking kemampuan anak hanya lewat beberapa puluh pertanyaan pilihan ganda.

Memang, tidak ada anak bodoh di sekolah kita! (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar