Membangun Jaringan Sahabat RI di Amerika
“While I am reluctant to believe in the total depravity of the Senate, I place but little dependence on the honesty and truthfulness of a large portion of the Senators. A majority of them are small lights, mentally weak, and wholly unfit to be Senators. Some are vulgar demagogues…some are men of wealth who have purchaced their position…[some are] men of narrow intellect, limited comprehension, and low partisan prejudice…”
Kata-kata di atas adalah kata-kata seorang mantan anggota Kabinet Amerika Serikat yang dikutip John F. Kennedy dalam bukunya yang memperoleh Hadiah Pulitzer untuk kategori biografi, Profiles in Courage (1957). Sebuah kritik yang sangat keras. Bayangkan, mayoritas Senator Amerika dinilai tidak jujur. Mayoritas mereka adalah orang-orang berkualitas rendah, lemah mental dan sama sekali tidak pantas jadi Senator. Sebagian mereka adalah kaum demagog yang vulgar, sebagian adalah orang-orang kaya yang membeli jabatan mereka, sebagian lainnya lagi adalah orang-orang dengan kemampuan intelektual yang dangkal, kurang pemahaman, dan kaum partisan brengsek yang penuh prasangka.
Menurut Kennedy, Senat tahu bahwa banyak rakyat Amerika (saat itu) menyetujui pandangan tersebut. Tetapi para Senator, begitu kata orang, adalah politisi – dan para politisi hanyalah memikirkan bagaimana memenangkan suara, bukan kenegarawanan atau keberanian. “Kaum ibu masih menginginkan anak-anak favoritnya untuk bisa menjadi Presiden, tetapi menurut sebuah jajak pendapat Gallup terkenal beberapa tahun lalu, kaum ibu itu tidak ingin anak-anaknya menjalani proses menjadi politisi,” tulis Kennedy.
Hampir 50 tahun kemudian, dunia memang sudah jauh berubah. Amerika Serikat sendiri kini malang melintang, menjadi sebuah negara adidaya tanpa tanding. Tetapi bagaimana kaum politisinya? Barangkali tidak ada bedanya. Dari laporan-laporan media, termasuk sumber-sumber di internet, diketahui bahwa ketidakpercayaan rakyat Amerika terhadap para politisi tetap tinggi. The power is still the big money. Banyak di antara mereka boleh jadi tertawa sinis ketika para anggota Kongres – para Senator dan anggota House of Representatives (DPR) – memberikan standing ovation kepada PM Inggris Tony Blair saat berpidato di depan mereka mengenai Perang Irak dua tahun lalu. Tidak peduli Tony Blair dan Presiden George W. Bush dilaporkan telah menyebarkan kebohongan mengenai informasi senjata pemusnah massal di Irak.
Hari-hari ini, kebetulan pula bersamaan menjelang Hari Kemerdekaan RI, sebagian di antara kita mungkin geram terhadap dua anggota DPR Amerika yang berhasil menggaet lebih dari 30 wakil rakyat lainnya di Kongres untuk meneken surat desakan kepada Presiden Bush agar AS mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi Papua. Meskipun Menhan Juwono Sudarsono dan Menlu Hassan Wirayuda meremehkan aksi dua politisi itu sebagai “hanya permainan LSM, pers dan beberapa anggota DPR AS untuk mengungkit perjanjian di masa lampau”, banyak pihak khawatir perkembangannya akan sangat memukul Indonesia. Sejumlah anggota DPR RI pun mengusulkan agar pemerintah menyewa para pelobi mahal di Amerika untuk membela Indonesia.
Masalah Papua sejujurnya adalah masalah yang sangat kompleks. Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno berjuang keras merebut wilayah tersebut dari kekuasaan Pemerintah Kerajaan Belanda melalui diplomasi yang panjang dan diwarnai pula dengan tekanan militer. Indonesia, yang didukung banyak negara termasuk Amerika Serikat sebagai kuncinya, akhirnya mengenyahkan Belanda dari Papua (waktu itu Irian Barat) pada awal 1960-an meskipun secara resmi wilayah itu baru masuk di bawah kedaulatan RI setelah penentuan pendapat umum di Papua pada 1969. Namun selama puluhan tahun setelah itu, pembangunan oleh Orde Baru di wilayah tersebut dirasakan sejumlah pihak kurang memadai dibanding besarnya hasil sumber daya alam yang dieksploitasi.
Sebenarnya, Indonesia bisa mengharapkan setidaknya simpati dari para Indonesianis (pakar-pakar tentang Indonesia) di negeri tersebut. Tetapi tanpa mengecilkan arti para Indonesianis yang ada sekarang ini, Indonesia telah banyak kehilangan sahabat erat di Amerika yang banyak membangun citra positif negeri ini.
Kita masih ingat misalnya Howard Jones, mantan Dutabesar Amerika untuk Indonesia dari 1958 hingga 1965. Lewat karya-karyanya, Dubes Jones menyebarkan informasi tentang Indonesia, khususnya lewat bukunya "Indonesia: The Possible Dream". Dalam bukunya itu Jones banyak mengungkapkan kekaguman dan pujiannya kepada masyarakat Indonesia berikut lingkungan kehidupannya ia nilai begitu indah.
Pakar Indonesia lainnya adalah Clifford Geertz. Siapa yang tak kenal Geertz? Nama ini adalah nama yang lekat dengan sesuatu yang menyangkut masyarakat Jawa sejak 1950-an. Clifford (James) Geertz dilahirkan di San Francisco, California pada 1923. Ia belajar di Antioch College dan Universitas Harvard, kemudian mengajar di Universitas California (1958-1960) dan Universitas Chicago (1960-1970), lalu menjadi profesor ilmu sosial di Institut Studi Lanjut Universitas Princeton pada 1970.
Penelitian lapangannya menghasilkan sejumlah publikasi terkenal antara lain "The Religion of Java" (1960) dan "Islam Observed Religious Development in Morocco" (1968). Kemudian juga "Agricultural Involution : The Processes of Ecological Change in Indonesia", "The Social History of an Indonesian Town" (1975) dan "Negara : The Theatre State in Nineteenth-Century Bali" (1980). Kumpulan esainya yang paling penting adalah "The Interpretation of Cultures" (1973) dan "Local Knowledge: Further Essays in Interpretive Anthropology" (1983).
Sebagai seorang anthropolog, Clifford Geertz adalah orang yang benar-benar menghayati profesinya. Sebagai dosen muda, Geertz bersama istrinya, Hildred, mengadakan penelitian lapangan selama 15 bulan pada 1953 dan 1954 di kota Pare, dekat Kediri, Jawa Timur. Hasil penelitiannya itu kemudian dituangkan dalam bukunya yang kemudian terkenal, "The Religion of Java" dan "Peddlers and Princes". Isterinya, yang juga anthropolog, menghasilkan karya terpisah antara lain "The Javanese Family". (Sayang, Geertz kemudian bercerai dengan istrinya ini).
Lalu George McTurnan Kahin. Siapa pula yang tak kenal nama ini? Para pakar politik, baik di Indonesia maupun di luar negeri, tentunya tak bisa melupakan karya-karya Kahin sebagai rujukan khususnya bila membuat tulisan menyangkut peristiwa-peristiwa politik di Indonesia antara 1950-an dan 1960-an. Kahin adalah seorang dedengkot masalah politik Indonesia (dan Asia Tenggara) di Universitas Cornell. Pada 1951 ia telah menjadi profesor di universitas elite Amerika itu dan karya-karya masih bermunculan hingga 1990-an.
Soal pemahaman dan empatinya terhadap masyarakat dan budaya Jawa dan Indonesia umumnya tidak diragukan lagi. Ia kenal sejarah masyarakat Jawa sebagai bagian Indonesia juga sudah lama, berikut berbagai pergolakan politik yang melingkupinya. Ia paham benar misalnya liku-liku dunia mistik Jawa dan bagaimana Bung Karno dulu dengan hebatnya mengemas elemen-elemen itu dengan elemen Islam dan pemikiran politik Barat dalam pidato-pidatonya yang menawan.
Kahin bisa dikatakan ilmuwan pioner yang membuka mata warga Amerika tentang Indonesia. Bagaimana tidak? Kahin adalah satu-satunya orang Amerika yang berada di Yogyakarta, ibukota revolusi kemerdekaan Indonesia dari 1948-1949. Ia tahu benar para pejabat pemerintah Indonesia dan tokoh-tokoh pemberontak pada 1950-an.
Saat berlangsungnya KTT Asia-Afrika di Bandung pada 1955, Kahin hadir. Pulang ke Cornell, ia antara lain menulis "The Asian-African Conference, Bandung, Indonesia, April 1955". Tulisan berdasar wawancara dan rekaman lisan dalam sidang-sidang tertutup KTT itu diterbitkan Cornell University Press pada 1956.
Tidak terhitung karya-karyanya yang lain. Tetapi sebuah buku baru yang menarik terbit pada 1995, dengan judul "Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhover and Dulles Debacle in Indonesia". Buku setebal 318 halaman dan diterbitkan The New Press ini ditulis bersama istrinya, Audrey Richey Kahin. Isinya menyangkut sejarah Indonesia dari akhir penjajahan hingga awal 1960-an, saat Amerika Serikat dengan CIA-nya campur tangan secara mendalam dalam politik di Indonesia. Saat itu AS dipimpin Presiden Dwight D. Eisenhower, dengan menlu John Foster Dulles dan direktur CIA Allen W. Dulles.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar