Teror kekerasan terus terjadi di mana-mana. Bertahun-tahun teror perang gerilyawan Tamil menghantui Srilanka. Puluhan tahun pula teror menyelimuti bumi Timur Tengah, mulai Mesir, Lebanon, Turki, Arab Saudi, Israel, Palestina dan sebagainya. Di Eropa, teror melanda Irlandia Utara hingga Spanyol, yang direpoti oleh kekerasan gerilyawan Basque. Teror juga mengguncangkan Amerika Serikat, dengan kasus WTC yang paling spektakuler pada 11 September 2001, kemudian disusul bom di Bali dan penyanderaan oleh gerilyawan Chechnya di Rusia beberapa waktu yang lalu.
Ribuan orang telah menjadi korban teror. Kepala dan hati kita tundukkan sebagai cerminan simpati yang mendalam kepada mereka. Dalam belasungkawa, kita lalu bertanya-tanya tentang penyebab utama teror dan perang-perang pemberontakan tersebut. Jawaban yang diperoleh pun bermacam-macam. Teror itu adalah akibat kepicikan pikiran orang-orang yang melakukannya. Lainnya bilang, teror itu terjadi karena rasa takut yang berkembang menyangkut hilangnya kepentingan ekonomi dan politik dari kelompok tertentu akibat tekanan kelompok lain. Seperti kelompok Tamil di Srilanka yang cemas akibat dominasi kelompok Sinhala.
Dalam batas-batas tertentu, jawaban-jawaban tersebut benar adanya. Tetapi sebenarnya, terdapat teror-teror terselubung yang lebih dahsyat dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat dunia, yakni teror yang dilakukan oleh para rentenir raksasa dunia. Teroris-teroris seperti itu memang tidak kentara karena sering berbaju dan bertopeng hak-hak asasi manusia dan didukung oleh kekuatan media massa yang luar biasa besarnya. Adalah mereka juga yang punya kepentingan untuk mendorong munculnya tokoh-tokoh seperti Saddam Hussein, Osama bin Laden, atau pun Abu Bakar Baa’syir. Bagi para teroris yang tak terlihat tangannya itu, musuh-musuh harus selalu diciptakan sehingga mereka dapat membius pemerintah seperti Amerika Serikat untuk melancarkan perang. Perang memang selalu mendatangkan penderitaan bagi umumnya rakyat jelata. Tetapi bagi para rentenir-rentenir raksasa, perang berarti uang yang bertambah besar di bank-bank mereka karena keperluan logistiknya disiapkan oleh mereka. Pemerintah-pemerintah pun harus bersiap mengajukan kredit alias utang dengan rentenya.
Sejarah rente alias riba sudah berusia ribuan tahun. Wayne A.M. Visser dan Alastair McIntosh dalam tulisannya, A Short Review of the Historical Critiquie of Usury, (1998) mengatakan, selama ribuan tahun itu pula praktik-praktik rente dikecam dan dicerca. Dokumen-dokumen kuno keagamaan Hindu dan Buddha menunjukkan cercaan terhadap praktik rente, demikian juga dalam Judaisme, Kristen, Islam, dan juga pemikiran filsafat Barat kuno.
Di dalam teks-teks Hindu, kecaman terhadap rente (kusidin) terdapat dalam teks India kuno Vedic (2.000 – 1.400 tahun Sebelum Masehi), demikian juga di dalam teks Buddhisme, Jatakas (600-400 tahun Sebelum Masehi). Di kalangan para filsuf Barat kuno, tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, Cicero, Seneca dan Plutarch semua mengecam praktik rente.
Dalam kepercayaan Judaisme, orang-orang Yahudi juga dilarang keras melakukan praktik rente alias neshek (harfiahnya ‘gigitan’). Sejumlah ayat dalam Perjanjian Lama menunjukkan hal itu, antara lain Nehemiah 5:11, Exodus 22:25, dan Levitius 25:36. Ayat Deuteronomy 23:19 melarang peminjaman uang “dengan riba terhadap saudaramu” dan ayat berikutnya (23:20) mengizinkan penarikan riba dari orang-orang non-Yahudi. Penulis artikel tentang Finance di Universal Jewish Encyclopedia menjelaskan perbedaan itu dengan menunjuk bahwa ayat dalam Exodus – yang melarang riba – dikeluarkan sebelum orang-orang Yahudi terusir dari negerinya, sementara ayat dalam Deuteronomy setelah mereka hidup dalam pengasingan. Sebelum terusir, orang-orang Yahudi umumnya dikatakan hidup dari bertani, sedang saat dalam pengasingan mereka berdagang dan menjadi rentenir.
Sejarah agama Kristen juga dipenuhi dengan pandangan-pandangan negatif terhadap praktik rentenir. Sebagai pelaksanaan apa yang tersurat dalam Kitab Perjanjian Baru, pada abad ke-4 Gereja Katolik Roma melarang para biarawan memakan riba. Larangan ini diperluas pada abad ke-5 pada masyarakat awam. Pada abad ke-8 di bawah Charlemagne, tekanan diperkeras dengan menetapkan praktik rente adalah tindak kejahatan publik. Gerakan anti rente ini terus meningkat hingga awal Abad Pertengahan dan mungkin menjadi puncaknya pada tahun 1311 saat Paus Clement V melarang mutlak praktik rente. Ia juga menyatakan, segala UU sekuler yang mengizinkan rente tidak sah.
Pandangan seperti itu, menurut Visser dan McIntosh, masih dipegang secara luas oleh kalangan gereja, seperti dinyatakan oleh Gereja Skotlandia pada 1988 dalam laporan studi tentang etika investasi dan perbankan. “Kami menerima bahwa praktik penarikan bunga untuk bisnis dan pinjaman pribadi bukanlah dengan sendirinya sesuai dengan etika Kristen. Yang lebih sulit untuk menentukan adalah apakah tingkat bunga itu wajar atau berlebihan.” Pernyataan Paus Johannes Paulus II dalam Sollicitude Rei Socialis pada 1989 tidak menyebut secara eksplisit soal rente, namun mengungkapkan implikasi dari krisis utang negara-negara Dunia Ketiga.
Dalam masyarakat Islam, praktik rente juga jelas dilarang keras. Dalam perkembangannya, sejumlah negara Islam menerapkan perbankan syariah, yang menerapkan praktik-praktik perbankan tanpa melanggar ajaran-ajaran Islam.
Semua Bangsa
Dalam praktik rente, semua bangsa tampaknya melakukannya. Dari Barat hingga ke Timur, dari Utara ke Selatan, dari Eropa, Asia hingga Amerika, banyak orang melakukannya. Di Indonesia, tidak sedikit orang Jawa, Sunda, Tionghoa, atau Batak yang hidup dari rente. Tetapi rentenir-rentenir “paling jago atau paling top” adalah orang-orang Yahudi.
Sejarah orang-orang Yahudi sering dilukiskan sebagai sejarah bangsa tertindas. Selama berabad-abad, bangsa tersebut dikejar-kejar, diintimidasi dan diusir oleh para penguasa Kristen di Eropa karena ada anggapan umum di masa lalu bahwa orang-orang Yahudi-lah yang membunuh Jesus. Ada semacam sentimen antisemit berdasar agama. Tetapi di pihak lain, orang-orang Kristen boleh jadi jengkel karena praktik-praktik rente yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Universal Jewish Encyclopedia menyebutkan bahwa menjelang abad ke-10, meminjamkan uang (dengan rente tentunya) menjadi pekerjaan utama orang-orang Yahudi di Eropa. Seluruh penjuru Eropa dilukiskan telah berhutang pada orang-orang Yahudi. Kehebatan itu antara lain terlukis pula dalam sebuah drama karya William Shakespeare, The Merchant of Venice, yang muncul pada abad ke-16.
Kehebatan orang-orang Yahudi terus berlanjut. Adalah mereka pula yang mengembangkan sistem perbankan modern, termasuk sistem uang kertas, sistem pembayaran dengan cek, hingga sistem bank sentral. Sejarah mencatat bagaimana peran orang-orang Yahudi dalam pendirian Bank of England (Bank Sentral Inggris) dan Federal Reserve (Bank Sentral) Amerika Serikat. Orang pun mengenal bagaimana Mayer Amschel Rothschild malang melintang di seluruh Eropa dengan uangnya yang sangat besar. Dengan uangnya itu, Rothschild memperoleh pengaruh besar di kalangan para penguasa Eropa hingga mendapat gelar ningrat di Inggris. Adalah keluarga itu pula antara lain yang membiayai orang-orang Yahudi di Eropa dan Rusia untuk pergi dan menetap di Palestina.
Entah ada sentimen antisemit atau tidak, yang jelas perkembangan dunia perbankan di Barat, terutama di Amerika Serikat, diwarnai oleh penentangan-penentangan yang keras meskipun pada akhirnya pemilik uang yang besarlah yang jadi pemenang. Banyak tokoh Amerika pada abad ke-18 menentang penerapan sistem bank sentral, termasuk Samuel Adams. Alasan yang sering disebut para penentang adalah karena “central banking” bukan suatu industri.
Sementara kaum pendatang Amerika menggelar revolusi untuk menentang penerapan sistem bank sentral, begitu ditulis dalam situs “People For Mathematically Perfected Economy” (http://www.perfecteconomy.com), Rothschild dengan angkuhnya menegaskan, “Let me issue and control a nation’s money, and I care not who writes its laws.” (beri kesempatan saya mengeluarkan dan mengontrol uang sebuah negara, dan saya tidak akan peduli siapa ysng membuat undang-undang). “Era modern pertikaian politik, sosial, komersial dan militer serta subsversi telah dimulai….,” tulis artikel di situs tersebut.
Artikel itu pun melukiskan bagaimana akhirnya Federal Reserve terbentuk pada awal 1900-an, setelah Woodrow Wilson dari Partai Demokrat terpilih sebagai presiden AS pada tahun 1912. Padahal, kaum Demokrat sebelumnya telah berjanji tidak akan menerapkan sistem tersebut. “Delapan belas tahun kemudian, berlipatgandanya utang (Amerika) menyulut terjadinya Depresi Besar,” tulis artikel itu pula.
Adalah kaum financier di AS pula yang dikatakan banyak kalangan di negeri itu – meskipun jarang ada media yang berani menulisnya – telah membius para politikus untuk mengobarkan perang di luar AS. Penyair terkemuka Ezra Pound, yang meninggal pada 1972, mengatakan bahwa kaum “mucikari perang” telah menimbulkan kesengsaraan rakyat AS lewat perang-perang yang dikobarkannya, termasuk Perang Saudara Amerika, Perang Dunia I dan Perang Dunia II. “Adalah bankir-bankir internasional, terutama bankir-bankir Yahudi, yang mengeduk keuntungan paling besar dari perang,” kata Pound, yang dipenjara belasan tahun dengan tuduhan pengkhianatan tapi dibebaskan oleh hakim pada 1958.
Meskipun Perang Dunia II menjadi keprihatinan Ezra Pound, penyair tersebut menyebut menuding biang utamanya adalah rente dan kekuasaan kelompok tertentu atas modal dan ekonomi. Dia menyebut, rakyat Amerika sebenarnya tidak merdeka karena mereka terbelit oleh utang dan riba. “Tidak ada kemerdekaan tanpa kemerdekaan ekonomi,” kata Pound.
Pernyataan-pernyataan Pound mungkin sudah ketinggalan zaman. Namun referensi baru tak kurang jumlahnya yang menunjukkan bahwa rakyat Amerika umumnya kini terbelit oleh utang yang sangat besar. Buku The Parable of the Pipeline (2001-2002) karya Burke Hedges, misalnya, menyebutkan bahwa utang rumah tangga di AS meningkat empat kali lipat dalam tujuh belas tahun terakhir ini. Rata-rata rumah tangga mempunyai utang 95 sen dari setiap satu dolar penghasilannya. Jumlah orang yang mengalami kebangkrutan semakin meningkat tiap tahun, hingga mencapai 1,4 juta orang pada tahun 2000. (hlm 38-39).
Dan demokrasi di Amerika? Tidak perlu heran bila kini makin lantang suara-suara yang menyebutkan bahwa demokratisnya negeri itu “hanya mitos”. Nyatanya, mereka yang punya kuasa di koridor-koridor Gedung Kongres bukanlah para senator dan anggota DPR AS. Penguasa Gedung Putih juga bukan Presiden AS. Mereka yang punya kuasa adalah “tangan-tangan tak terlihat” yang memiliki uang sangat besar. Pandangan ini jelas tidak populer. Media-media terkemuka pun tak bakal berbicara seperti itu karena pemegang kendalinya juga punya kepentingan yang sama dengan para pemilik modal raksasa itu.
Mereka memang tidak melakukan teror dengan kekuatan fisik yang terlihat secara nyata, tetapi merekalah sebenarnya yang menentukan hitam putihnya Amerika. Mereka pula yang menentukan bagaimana langkah AS di Timur Tengah dan tempat-tempat lain. Mereka pula yang menentukan bahwa AS harus mendukung klaim Israel atas Jerusalem. Teori konspirasi yang usang? Ada yang memang selalu bilang begitu. Tetapi marilah kita tonton drama berikutnya. Toh tontonan ini sama sekali gratis.
Selamat menonton!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar