Bayang-bayang Teramat Panjang
kita adalah secawan anggur dari dua mimpi
yang tertumpa dalam dua janji
kita adalah isi air kelapa kembar
yang tertumpa ketika jatuh terlempar
(Kumpulan sajak “Air” Husen Mulahele)
Pagi itu pagi yang laknat. Dia merampok seluruh ketenangan diriku, merayapkan resah yang aneh dan liat ke sekujur tubuhku.
Apa gerangan perasaan ajaib yang “bangsat” ini? Dalam kesendirianku sebuah kursi kayu di ruang belakang markas Denpom 084 kucoba berkelahi dengan kegelisahan. Kupaksakan pikiranku bekerja memecahkan misteri yang menggoda itu. Di belakang sana beberapa tahanan mahasiswa sedang berolahraga senam dan main badminton. Di sekitar ruangan ini kesibukan mulai berjalan berbarengan dengan meningginya matahari Surabaya. Orang-orang berpakaian seragam, berpakaian biasa, datang dan pergi dengan wajah kusut, letih dan nampak kurang tidur. Beberapa orang tahanan mahasiswa yang akan diperiksa dan baru datang dari rumah tahanan mereka, bertemu di ruang tengah. Gembira dan saling bercerita mengenai pengalaman masing-masing terutama suasana rumah tahanan mereka masing-masing. Maklum mereka ditahan di tempat yang terpisah-pisah. Dalam gemuruh pagi di ruangan itu kucoba lagi mengingat-ingat peristiwa apa yang kualami selama pagi ini, yang mungkin menyebabkan gelisahku yang congkak sekarang ini. Beberapa menit lebih lama tiba-tiba aku teringat sesuatu kebiasaan yang tidak kulakukan pagi ini. Dan hal itu menyentak perasaan. Aku tiba-tiba menjadi gairah. Ya, aku tidak lagi punya buku untuk dibaca pagi ini.
Inilah sebab dari rasa celaka ini. Tapi dari mana harus mendapatkan buku? Enam buah buku yang sempat kubawa dari rumah dan yang dapat lolos ke dalam tahanan semuanya selesai kubaca. Tigabelas orang tahanan mahasiswa yang bermukim di markas Denpom tak seorangpun yang membawa buku.
Kemarin aku ingat Ali Maschan mahasiswa IAIN yang juga ditahan mendapatkan selembar surat kabar tua di bawah tikar mushollah dan koran itu menjadi rebutan para tahanan. Rasa haru biru dalam diriku tiba-tiba hilang. Seminggu yang lalu aku pernah memasuki kamar penerimaan tahanan, dan aku ingat sesuatu. Di ruang itu ada banyak sekali buku-buku dan di sebuah pojok di atas lemari ada sesusun buku yang bertuliskan “hasil penggeledahan di rumah Agil H. Ali.” Kegembiraan tiba-tiba membakar semangat diriku. Ya beberapa buku yang baru saja kuterima dari USIS ikut serta disita dan ini tentu bisa kupinjam pagi ini sekedar untuk menghilangkan kehausan batinku. Dua minggu yang lalu aku menerima tiga buah buku “Problem of Communism” dan sebuah di antaranya memuat tentang masalah Kuba. Artikel itu belum selesai kubaca dan itu yang merangsang aku untuk pergi ke arah ruangan tersebut. Di dalam sibuknya bukan main. Tahanan-tahanan mahasiswa sedang berkumpul menunggu gilirannya untuk diperiksa. Mereka berdiskusi dan sangat bersemangat. Seorang sipil yang bertugas di ruangan itu tersenyum ketika melihat aku masuk.
- Ada apa Mas, tanyanya.
- Nganggur, jawabku. Ingin segera aku meminjam buku yang ada di atas lemari di belakang kursinya tetapi tiba-tiba saja aku ingat – ini barang bukti. Dengan sedikit basa basi setelah sedikit cerita tak berujung pangkal kulontarkan keinginanku.
- Mas, buku-buku ini bisa dipinjam ya.
- Nggak bisa dong, jawabnya tersenyum.
Seorang tahanan mahasiswa yang juga berada di ruangan itu tiba-tiba saja menyela:
- Wah aku sumpek nggak ada buku bacaan.
Aku jadi lesu. Mataku menyapu seluruh ruangan itu. Tak ada selembarpun surat kabar. Dengan gelisah yang mulai menebal lagi kutinggalkan ruangan itu menuju ke belakang.
Baru saja aku menarik kursi tiba-tiba sebuah jip Toyota berhenti di halaman markas. Enam orang tahanan mahasiswa berlompatan sambil tertawa riang. Seorang diantara mereka tiba-tiba berseru keras:
- Hallo Mas Agil!
Ia mengangkat tangannya dan melambai lalu berlari ke arahku.
- Hai Im, darimana kau, begitu ucapku sambil kami berjabat tangan.
- Tempatku paling sip, jawabnya sambil duduk di kursi samping kiriku.
- Tempatku paling tenang dan banyak melahirkan inspirasi, ujar Iim Santosa mahasiswa IAIN Sunan Ampel.
- Di mana? tanyaku.
- Biasa, di kelas kambing, jawabnya.
Aku mengerti apa maksudnya dengan kelas kambing. Semua tahanan punya istilah sendiri atas rumah tahanan mereka. Ada yang disebut “Garden Hotel,” “Hotel Centrum” dan bahkan tempatku yang terakhir di Mess Perwira 516 disebut sebagai “Hotel Mirama.”
- Berapa orang disana? tanyaku.
- Kira-kira duapuluh.
- Katanya nggak enak tempatnya Im.
- Teman-teman sih bilang begitu, tapi aku senang sekali disana pokoknya asal ada ini, tutur Iim sambil membungkuk mengambil sesuatu dari balik kaos kakinya.
Aku memperhatikan dan dia menarik dari balik kaos kaki itu sebuah harmonika. Tanpa peduli dibersihkannya barang itu dengan tangannya, kemudian memasukkannya ke mulut dan tiba-tiba mengalun sebuah lagu dengan lembutnya “Blowin’ in the Wind.” Aku tersentuh dan sejenak terhenyak ke dalam satu kerinduan yang syahdu. Beberapa tahanan mahasiswa memperhatikan Iim dengan tenang. Hampir berbarengan dengan tiupan Iim, dari balik pintu menuju ke lapangan badminton terdengar suara seorang berdeklamasi membacakan lirik lagu itu dalam bahasa Indonesia. Aku tahu suara Solichin mahasiswa IAIN yang sejak kemarin terus menerus membacakan sajak-sajak perjuangan di depan teman-temannya.
- Im, kamu nggak boleh meniup lagu itu, ujarnya bergurau.
- Lho, ini lagu kebersamaan, ujarnya. Berhenti sebentar kemudian meniup lagi sampai selesai.
- Sungguh mati aku sudah lama tahu lagu Bob Dylan ini, tapi aku baru dengar terjemahan liriknya ketika Mas Agil membacakannya di diskusi Unair. Wah merinding aku Mas.
Dia kemudian membacakan seolah bersajak sebuah bait: “Berapa banyak telinga yang harus dimiliki seseorang sebelum ia mampu mendengar jerit tangis manusia papa lainnya?”
- Wah lagu ini merangsang bener lho Mas, ujar Iim.
- Karena itu lalu kau bikin poster dan pamflet, dan kau dibawa ke sini ya, ujarku berkelakar.
- Pokoknya sip, bahkan aku mengedarkan “Integritas” terbitan yang terakhir. Mas Agil sudah baca?
- Belum, jawabku. Kau punya?
- Mana bisa saya bawa ke sini, katanya.
- Iim Santoso! Seorang petugas memanggil.
- Sip, teriak si Iim.
Dia akan diperiksa di sebuah ruangan. Sebelum pergi ia merogoh tas kuliahnya mengambil sebungkus roti dan meletakkannya di kursi.
- Pacarku mengirimi aku roti dan siapa yang mau makan silahkan ambil. Aku mau berdiskusi dulu, teriak Iim sambil menghilang ke balik pintu.
Seorang mahasiswa yang sedang menunggu di ruangan itu menanyakan judul lagu yang baru saja dibawakan Iim Santoso tadi.
- Blowin’ in the Wind, jawabku.
- Mas tahu, Hisbul Wathon waktu diperiksa ditanyakan juga tentang diskusi di Unair itu.
Dia mengatakan kepada pemeriksa bahwa yang dia tahu Mas Agil memutar kaset yang judulnya “Sex in the wind.”
Aku tertawa dan mahasiswa yang ada di sekitar ruangan itu tertawa. Sejenak aku melupakan keresahanku setelah pertemuan dengan Iim Santoso. Anak muda itu sering kulihat menyanyikan lagu-lagu rakyat di setiap pesta kampusnya. Suaranya cukup lembut. Beberapa kali aku melihatnya membaca puisi di Bengkel Muda Surabaya. Tak ada tanda-tanda bahaya dalam dirinya, bahkan dia keliwat santai. Beberapa hari berselang dalam kesendirianku selalu mengingat Iim Santoso. Tubuhnya yang kecil, berambut kribo, berkaca mata putih seperti John Lennon, menjinjing tas kuliah, sebuah harmonica yang terselip di balik kaos kakinya, wajah yang polos kekanak-kanakan, selalu tertawa dan selalu mengucapkan “sip” atas kelakar teman-temannya.
Bayang-bayang apa pula yang ada di belakang anak Jombang ini sehingga ia harus berhadapan dengan kasus politik seperti yang lainnya? Ah, paling tidak Iim Santoso telah datang pada saat yang tepat dan dia membunuh seluruh gelisahku.
Satu malam dengan menumpang snuah jip aku diambil dari kamar tahanan oleh petugas kesehatan untuk mengalami pemeriksaan dokter di markas Denpom 084. suhu badanku agak naik. Sebelu, sampai ke markas Denpom mobil itu mampir ke Koblen dimana bermukim tahanan-tahanan mahasiswa lainnya. Petugas kesehatan akan memeriksa kesehatan mereka yanga ada di dalamnya. Aku menunggu di dalam mobil bersama seorang bintara. Kira-kira setengah jam petugas kesehatan itu kembali membawa serta seorang tahanan lainnya.
Aku sama sekali tidak mengenal anak muda ini. Dia ganteng, berpakaian kemeja warna jingga dan celana coklat tua. Rambutnya gondrong bergelombang dan tersisir rapi menandakan bahwa si ganteng pandai merawat dirinya. Ia duduk tanpa menyapa. Kami saling diam, cuma sesekali kulihat dia mengelus perutnya, dan terbatuk-batuk. Ah, rupanya sakitnya agak parah. Aku mencoba membuka cerita.
- Sakit apa kamu, tanyaku.
Dia mengangkat kepala dengan malas.
- Dulunya aku ada lever dan sekarang kok sepertinya mau kambuh lagi, jawabnya.
- Kamu tahanan, tanyaku
- Ya, saya dari Ubaya, dari “kelompok 14,” jawabnya sambil merintih mengurut perutnya.
- Aku tidak mengerti apa yang ia maksudkan dengan “kelompok 14,”…….
- Banyak yang di dalam, tanyaku singkat.
- Barangkali ada 26 orang disini, kelompok 14 semuanya ditempatkan di sini.
Mobil berjalan meliwati jalan Bubutan menuju utara. Kami diam. Badan yang kurang sehat membuat orang malas berbicara.Tiba-tiba anak muda itu mulai bertanya:
- Mas tahanan juga?
- Ya, jawabku tanpa memandangnya.
- Sudah banyak yang masuk ya, tanyanya lagi.
- Nggak tahu, aku sudah empat hari ditahan, ujarku.
- Mas tahu, tiba-tiba dia mulai bersemangat.
- Apa? tanyaku.
- Aku dengar dari teman-teman di dalam bahwa Agil pimpinan MM juga telah diambil, dan kantornya disegel, cerita anak muda itu.
- Siapa yang bilang, tanyaku agak geli.
- Didalam ada yang baru masuk dan bawa info. Kenal nggak sama Agil, tanyanya kepadaku.
- Nggak, jawabku menahan geli.
- Dia dulu dari Unibraw, jawab si ganteng sambil mengeluarkan saputangan dari saku celananya kemudian mengusap mukanya, kemudian mengambil sisir besar dari kantong belakang dan menyisir rambutnya.
Dia pun bercerita tentang si Agil dan koran MM yang tidak begitu sering dibacanya. Aku diam tetapi hatiku geli.
- Kenal sama Agil, tanyaku.
- Ya, pernah lihat karena dia pernah ceramah di Ubaya.
Aku terkejut. Hatiku bertanya. Apakah selama empat hari ditahan aku telah berubah begitu rupa sehingga orang yang telah pernah melihat saya, sekarang sudah tidak mengenal diriku lagi?!
Aku bertanya lagi untuk meyakinkan diriku.
- Jadi kau kenal dia ya?
- Nggak begitu, cuma pernah melihatnya, jawab si ganteng tak acuh.
Hatiku tambah ciut. Apa yang telah berubah dengan diriku. Kamipun terdiam. Di markas Denpom seorang dokter wanita memeriksa kesehatan kami.
- Joni Kunto! Begitu nama si ganteng dipanggil petugas. Dia mahasiswa fakultas hukum Ubaya dan salah seorang diantara keempat belas mahasiswa Surabaya yang menandatangani pernyataan mendukung pernyataan mahasiswa ITB yang tak lagi menghendaki Soeharto dicalonkan sebagai presiden. Dia ditahan dua hari lebih dahulu dari aku. Ketika nama saya dipanggil untuk diperiksa, Joni Kunto yang terbaring di velbed memandangku dengan aneh:
- Jiangkrik, ini Mas Agil ya!
Malam itu kami tidur dalam satu ruangan dan kulihat dia tak lepas menyisir rambutnya yang gondrong dan saputangannya selalu mengusap wajahnya. Besok paginya aku pergi ke Rumah Sakit Angkatan Laut dan Joni pergi ke Rumah Sakit Angkatan Darat di Jalan Kartini. Kami berpisah. Sebelas hari kemudian aku bertemu lagi dengan Joni. Dia bermukim di markas Denpom sejak malam pertemuan kami.
- Sudah sembuh kamu John? tanyaku.
- Sip, jawabnya.
Tangannya memegang sapu tangan dan di kantong belakangnya tersembul sebuah sisir besar.
- Enak mana di sini dengan Koblen, tanyaku.
- Sama aja Mas. Cuma di sini aku bisa cuci rambut terus, jadi rambutnya bisa tetap bersih dan terawat, katanya.
- Kesehatanmu bagaimana, tanyaku.
- Sip, pokoknya ibuku masih terus kirim sambel Palembang, aku akan tetap sehat. Dia mengusap mukanya dengan saputangan.
- Susahnya apa ya. Di sini nggak ada cermin yang gede lho, jadi kalau nyisir rambut agak repot, ujar Joni yang selalu berpakaian rapi.
- Pacarmu banyak ya Jon.
- Nggak ada, cuma iseng.
- Kata Sugeng kau banyak dapat kiriman dari cewek.
- Biasa. Dia mengusap mukanya lagi dengan saputangan.
Selama tiga hari aku berada bersamanya di markas Denpom, aku selalu melihat dia sibuk menulis surat dan kiriman buah-buahan hampir setiap hari mengalir ke alamat Joni. Suatu pagi dia memanggil teman-temannya.
- Ada apa, tanya seorang.
- Sip, sebelum sidang MPR pasti bebas, kata Joni berbisik-bisik.
- Info siapa ini John, tanya seorang mahasiswa ITS.
- Siplah, percaya saja. Joni mengusap mukanya lagi dengan saputangan kemudian menyisir rambutnya.
Sebentar lagi kulihat seorang membawa dua botol bir ke dalam. Tapi tak lama kemudian kulihat dua botol bir itu yang satunya tinggal setengahnya, dibawa keluar seorang petugas. Aku menemui mereka di dalam mushollah. Wajah mereka agak muram penuh khawatir.
- Siapa yang menyuruh membeli bir, tanyaku kepada Abdurachman ………….
- Ridwan, jawabnya.
- Darimana dia dapat uang, tanyaku.
- Dari Joni, jawab Solichin.
- Panggil si John, dia masuk ke ruang mushollah dengan tangannya memegang saputangan.
- Kamu beli bir ya Jon, tegurku.
- Ya. Ridwan kepingin minum, aku kasihan, jadi kuberi dia uang, ujarnya sambil mengusap mukanya.
- Lain kali nggal boleh ya Jon.
- Ya, Mas. O ya aku punya sambel Palembang. Mas Agil boleh ambil sendiri deh kalau nanti makan siang, ujarnya sambil berdiri kemudian mengambil sisir dan menyisir rambutnya.
Joni Kunto, anak Palembang selalu penuh dengan info, banyak buah tangan dan selalu membagi-bagikannya kepada kami semua.
- Siapa anak Ubaya yang masuk John, tanyaku kepadanya di suatu hari.
- Tidak jelas, jawabnya. Aku sendiri nggak nyangka kalau mau masuk sini. Pokoknya ada pernyataan dan teman-teman tanda tangan, aku ya tanda tangan. Sip tokh.
- Kamu nggak susah di dalam sini Jon.
- Sebentar lagi ‘kan keluar lalu makan empek-empek.
- Sip deh, ujarnya sambil mengusap mukanya dengan saputangan yang wangi kemudian menyisir rambutnya.
Kunto, si Ganteng dari Ubaya, bayang-bayang apa nian yang telah ada pada dirimu sampai kau berada di sini? Itulah bisik hatiku ketika auk akan meninggalkan tempat itu untuk pindah ke rumah tahanan lainnya.
Mess Perwira 516
Surabaya Medio Maret 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar