Pangeran Diponegoro Memimpin Perang Jawa 1825-1830
Pangeran Diponegoro dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1785 sebagai bagian dari kerabat Kraton Yogyakarta. Sejak kecil sang pangeran telah menunjukkan sifat-sifat kepemimpinannya yang hebat. Ia seorang yang pintar dan kritis. Ketika menginjak remaja, Pangeran Diponegoro semakin kritis melihat ketidakadilan yang dilihatnya di masyarakat. Ia sangat sedih melihat banyaknya rakyat yang miskin. Orang-orang yang miskin itu semakin hari semakin menyedihkan hidupnya akibat tarikan berbagai pajak yang dikenakan oleh penjajah Belanda.
Beban pajak yang ditanggung rakyat itu bermacam-macam jenisnya. Selain ada pajak tanah, ada pajak-pajak lain yang namanya aneh-aneh. Ada pacumpleng (pajak rumah), kerigaji, pangawang-awang (pajak halaman), pacigar, wilah-welit (pajak sawah), panjongket, dan pajak welit. Meskipun Belanda yang meminta pajak tersebut, para penguasa kraton-lah yang menarik pajak tersebut.
Keadaan tersebut membuat banyak rakyat dan pemangku jabatan seperti lurah serta bupati tidak senang pada Belanda. Pangeran Diponegoro yang mengetahui keadaan rakyat juga tidak senang kepada penjajah Belanda. Maka pada tahun 1825 pecahlah Perang Jawa atau juga disebut Perang Diponegoro. Dalam perang tersebut Pangeran Diponegoro banyak memperoleh bantuan dari rakyat, para pejabat, juga para pangeran, serta para ulama. Di antara ulama yang terkenal adalah Kiai Modjo.
Selama sekitar lima tahun perang berlangsung. Banyak tentara penjajah Belanda yang mati, tetapi tidak sedikit pula prajurit Pangeran Diponegoro yang gugur di medan perang. Para prajurit bersatupadu berperang terus melawan tentara penjajah Belanda. Sedang pihak Belanda, yang banyak menderita korban tewas tentaranya, terus berupaya untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Panglima Tentara Belanda Jenderal De Kock terus-menerus berusaha menghubungi Pangeran Diponegoro untuk berunding pada akhir bulan Maret 1830.
Pada mulanya Diponegoro sudah mengatakan bahwa dalam bulan Puasa yang akan berakhir pada 27 Maret 1830, ia tidak mau mengadakan pertemuan dengan De Kock. Karena itu pihak Belanda bersedia menunggu sampai berakhirnya bulan Puasa. Akan tetapi pada 27 Maret itu Pangeran Diponegoro memberitahu Jenderal De Kock bahwa ia tidak bisa datang karena badan panas. Menanggapi alasan ini, De Kock segera menugasi Residen Magelang Valck untuk menemui Diponegoro pada 28 Maret dan mengajaknya menemui De Kock. Akan tetapi sebelum Valck melakukan tugasnya, pada 29 Maret pagi Diponegoro sudah memberitahu De Kock bahwa ia akan menemuinya hari itu juga Diponegoro menepati janji dan menemui De Kock di kediaman Residen Magelang. Di tempat itu, De Kock dengan liciknya menangkap Pangeran Diponegoro. Diponegoro sebenarnya punya kesempatan untuk membunuh De Kock saat duduk berdua di sofa, tetapi Diponegoro sadar hal itu akan dinilai tidak terhormat.
Setelah ditangkap, Pangeran Diponegoro dan sejumlah pengiringnya dibuang ke Sulawesi. Semula ditempatkan di Manado bersama Kiai Modjo yang sudah tertangkap terlebih dulu, tetapi kemudian Diponegoro dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makassar. Di tempat itu Pangeran Diponegoro yang gagah berani itu wafat pada tahun 1855. Nama pangeran itu harum karena keberaniannya melawan penjajah Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar