Jumat, 26 Juni 2009

Optimisme dan Berpikir Positif

Optimisme dan Berpikir Positif

An optimist is a proponent of the doctrine that black is white.

-- Ambrose Bierce

“Jadilah diri sendiri dengan cara yang positif. Semua pekerjaan seharusnya berhasil, yang penting harus dikerjakan secara profesional. Dan itu dapat dicapai melalui pengembangan pribadi dan komunikasi yang baik,” demikian dikatakan Indayati Oetomo kepada Majalah Female Business dalam sebuah wawancara.

Kata-kata dengan nada seperti itu entah berapa diucapkan oleh Indayati Oetomo. Sebagai seorang ahli pengembangan pribadi dan komunikasi, ia tentu saja tidak bosan-bosannya mendorong agar orang lain selalu optimistis dan berpikir positif untuk mencapai tujuan tertentu dalam hidupnya. Tetapi sebenarnya ada yang lebih dari itu: Indayati adalah perempuan yang sudah terbentuk sejak kecil untuk selalu optimistis dan berpikir positif. Ia lebih memilih optimisme daripada pesimisme dalam menghadapi kehidupan. Lebih memilih berpikir positif daripada negatif.

Sebagai seorang eksekutif yang sukses merangkak dari bawah, Indayati sadar bahwa pesimisme dan optimisme sering menjebak banyak orang. Kalau kita memperkirakan sesuatu yang buruk bakal terjadi, mungkin akan benar-benar terjadi. Pesimisme jarang sekali mengewakan, kata psikolog. Tetapi apa yang jarang diperhatikan adalah bahwa prinsip yang sama juga berlaku bagi kebalikannya. Kalau kita perkirakan hal-hal yang baik terjadi, maka biasanya demikian juga kenyataannya. Ada hubungan sebab akibat secara alami antara optimisme dengan keberhasilan..

Tidak terbayangkan seandainya Indayati, yang berasal dari keluarga yang sederhana, lebih memilih pesimisme dan berpikir negatif dalam menghadapi masa depannya. Ia mungkin akan terperosok ke dalam jurang ketidakpastian yang tidak berujung. Mengapa demikian? Karena optimisme dan pesimisme sama-sama memiliki daya yang kuat dalam membentuk cara pandang seseorang dan harapannya. Dalam kehidupan sekeliling kita, sering kita melihat banyaknya penderitaan dan kemiskinan, tetapi juga orang-orang yang sejahtera dan bahagia. Ada begitu banyak orang-orang jahat, koruptor dan sejenisnya. Tetapi juga orang-orang yang jujur, idealis, dan baik hati. Semua itu bisa menjadi dasar yang rasional bagi seseorang untuk bersikap optimistis atau pesimistis. Seseorang bisa memilih tertawa atau menangis, memuji atau menyalahkan orang lain.

Kita bisa bertanya memang, dari perspektif mana kita akan memandang kehidupan ini? Apakah kita akan memandang ke atas dengan penuh harapan ataukah menunduk dan mengumpat-umpat menyalahkan orang lain, terutama kalau kita gagal meraih sesuatu. Sama tipikal dengan tokoh-tokoh sukses lainnya, Indayati memilih memandang ke depan. Ia memilih untuk menekankan hal-hal positif dan menyingkirkan hal-hal negatif. Seperti ditunjukkannya ketika ia terpuruk di awal mula memimpin JRP Surabaya, saat muridnya merosot tinggal lima orang. Ia tidak menyalahkan orang lain, tetapi justru melakukan instrospeksi dan terus belajar memperbaiki diri.

Melukiskan keadaan dirinya ketika itu, Indayati mengatakan bahwa strategi yang tepat memang belum dimilikinya. “Namun dengan tekad untuk maju dan pikiran yang positif, saya mempelajari kelemahan-kelemahan saya,” kata Indayati.

Bertahun-tahun membangun kariernya, Indayati menyadari betapa berpikir positif amat penting dalam mengembangkan kepribadian seseorang. Berpikir positif adalah kemampuan seseorang yang merupakan pembawaan dari lahir untuk mendapatkan hasil-hasil yang diinginkan dengan berpikiran positif. Dengan berpikir positif, seseorang akan terdorong mengambil pilihan-pilihan yang kreatif, dan selalu siap menghadapi masalah yang muncul.

Pengalaman Indayati menunjukkan bahwa optimisme dan berpikir positif telah menuntunnya untuk melangkah maju. Bayangkan jika tidak ada optimisme ketika ia terpukul oleh merosotnya jumlah muridnya ketika mulai membuka JRP Surabaya. Apa yang tinggal barangkali hanya alasan-alasan yang dicari untuk membela diri dan menyalahkan pihak lain.

Kalau itu yang terjadi, maka mungkin saja akan muncul semacam pembenaran-pembenaran, misalnya, masyarakat kita tidak butuh hal-hal terkait dengan pengembangan pribadi dan komunikasi. Masyarakat kita tidak butuh etiket dan tata krama dalam pergaulan sosial dan bisnis. Buktinya, sekolah kepribadian tidak laku! Buktinya orang-orang tidak tertarik untuk belajar di sekolah kepribadian! Pernyataan-pernyataan seperti ini bisa muncul dari pikiran-pikiran yang negatif.

Mencari kesalahan, dengan demikian, akan menguras banyak energi sehingga tidak ada lagi tindakan yang positif. Dalam keadaan demikian, dibutuhkan keberanian dan kekuatan untuk memecahkan masalah yang sesungguhnya. Indayati pun bertindak cepat dan tidak ingin kehilangan waktu. Ketika ia mencari-cari cara untuk meningkatkan kembali jumlah muridnya, ia ditawari untuk mengikuti “Corporate Training” JRP di Boston, Amerika Serikat. Jelas bukan sesuatu yang gratis, tetapi ini dinilainya sangat penting. Ia pun berangkat dan akhirnya memperoleh :”resep” untuk memajukan JRP dari tangan pertama..

“Saya pulang membawa sekoper buku. Semangat saya terpompa dan ide-ide saya pun terbuka setelah mengikuti pelatihan di Boston,” kata Indayati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar