Jumat, 26 Juni 2009

Bahasa : Proses Alamiah dan Rekayasa

Bahasa : Proses Alamiah dan Rekayasa

Kita Lakukan Tawar-menawar

Kebudayaan yang dianggap maju tidak akan melakukan kompromi. Melalui kompromi, sebuah kebudayaan melepas sebagian nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru. Atau melalui kompromi, sebuah kebudayaan meramu berbagai nilai. Dinamika terjadi, manakala sebuah kebudayaan terbuka untuk menyadap darah segar dari luar.

Kompromi memiliki prasyarat, yaitu kekuatan untuk mengadakan tawar­menawar. Kunci kekuatan tersebut tidak lain adalah jatidiri. Tanpa jatidiri yang kokoh, sebuah kebudayaan akan dibinasakan kebudayaan lain.

Jatidiri yang kokoh dapat kita lihat pada bangsa Jepang. Dalam sekian banyak perubahan zaman, kebudayaan Jepang menolak untuk roboh. Restorasi Meiji justru membawa Jepang ke jajaran negara-negara maju. Kesengsaraan akibat kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II juga hanya membawa akibat sekejap.

Karena jatidiri ada di otak dan hati, jatidiri sulit dijabarkan. Lebih mudah bagi kita untuk menjabarkan pengejawantahan jatidiri, yaitu perilaku. Contoh, lihat apa yang dilakukan oleh KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) baru-baru ini dalam menghadapi Kongres Wanita Sedunia (International Council of Woman Congress) Ke-27 di salah satu negara Eropa pada bulan Mei 1994 yang akan datang. KOWANI akan mengajukan dua pokok bahasan, yaitu penayangan film- film keras di televisi dan pelecehan seksual.

Dampak penayangan film-film keras dan tindak pelecehan seksual nampak pada perilaku. Karena perilaku adalah pengejawantahan jatidiri, penayangan film-film keras dan pelecehan seksual dianggap sebagai ancaman terhadap jatidiri kita.

Bahasa juga merupakan salah satu simpul perilaku. Mengapa? Karena perilaku kita dipengaruhi oleh bahasa kita, demikian pula sebaliknya.

Sementara itu, bahasa Indonesia mempunyai potensi yang sangat kuat. Mula-mula, sebelum resmi menjadi bahasa Indonesia, bahasa Melayu sudah mampu menjadi lingua franca Nusantara. Maka, bahasa Melayu merupakan suatu perwujudan kesadaran kolektif. Karena itu, bahasa Melayu mempunyai kekuatan politik untuk mempersatukan Indonesia.

Perkembangan bahasa Indonesia juga sangat bagus. Bahasa Indonesia bukan hanya sekadar lingua franca. Berbagai fungsi telah disedot oleh bahasa Indonesia. Keputusan-keputusan politik, percaturan sosial, lalu lintas ekonomi, perundang-undangan, pemikiran-pemikiran dalam dunia ilmu, semua diserap dengan baik.

Kita Masih Menjadi Makhluk Lokal

Tapi, dalam percaturan internasional, bahasa Indonesia paling-paling menjadi bahasa regional, yaitu bahasa sebagian kawasan ASEAN. Untuk menembus percaturan internasional, bahasa Indonesia ngos-ngosan. Maka, terjemahan ke dalam bahasa asing pun, khususnya bahasa Inggris, menjadi tidak terhindarkan.

Bukan hanya itu. Indonesia juga belum mempunyai tradisi kekuatan sosial, politik, ekonomi, budaya, dan ilmu dalam percaturan internasional. Prestasi apa pun yang dimiliki oleh kebudayaan Indonesia, paling-paling dianggap sebagai prestasi dunia kelas tiga. Karena dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, misal­nya beberapa penyanyi Indonesia yang mempunyai mutu bagus hanya nampak bagaikan loyang.

Dalam bulu tangkis memang kita lain. Kita punya kemampuan, kita punya nama. Namun, sampai sekarang bulu tangkis belum dianggap benar-benar terhormat.

Apa akibat belum adanya tradisi yang kuat itu? Antara lain, kita selalu berpikir operasional. Secara karikatur lihatlah apa yang terjadi di sekian banyak instansi pemerintah. Sekian banyak peraturan yang sebenarnya sudah cukup operasional, ternyata masih harus disertai juklak (petunjuk pelaksanaan). Bukan hanya itu. Juknis (petunjuk teknis) pun sering perlu disertakan.

Seseorang yang selalu berpikir operasional dengan sendirinya cenderung untuk sulit berpikir abstrak, apalagi filosafis. Maka sekian banyak penelitian di Indonesia tidak lain adalah juga penelitian operasional. Bagaikan memper­silakan sampai mendorong gerobak dari belakang, kita selalu terburu-buru untuk melakukan penerapan. Kita cenderung lupa, bahwa yang lebih penting daripada penerapan itu sendiri adalah menghayati pemikiran di balik penerapan itu. Sebaliknya, lihatlah penelitian-penelitian kelas nobel, paling tidak, sebagaimana yang ditengarai oleh harian "Kompas" dalam tajuk rencana "Terus Mencari Inspirasi dari Budaya Riset Pemenang Nobel", 16 Oktober 1993. Penelitian mereka mula-mula adalah demi kepentingan ilmu itu sendiri. Sampai ditaruh di depan kereta, untuk menarik kereta. Kepentingan penerapan, dalam bentuk teknologi, baru dipikirkan kemudian. Inilah keberuntungan yang dimiliki oleh mereka yang sudah lama mempunyai tradisi kekuatan ilmu.

Menguasai teknologi, dengan sendirinya sangat bagus. Namun menguasai teknologi tanpa menguasai ilmu mirip-mirip dengan mendapatkan ikan. Semen­tara itu, kail beserta kemampuan untuk mempergunakannya terselip entah di mana.

Apa yang terjadi? Kita mempunyai banyak tukang. Komputer kita bongkar, lalu komponen-komponennya kita tiru. Jadilah komputer jangkrik. Namun, perangkat lunaknya tetap bukan milik kita.

Acuan teknologi selalu operasional dengan prinsip efisiensi dan prinsip ekonomi. Lepas dari kecanggihan teknologi dan keberuntungan-keberuntungan yang telah kita petik dari teknologi, sebenarnya hakikat teknologi adalah perkakas. Antara lain, perkakas itu dapat berupa faksimil, laser solder, selaput jala, dan peluru kendali.

Maka, jangan heran manakala teknologi makin menggiming kita untuk berpikir operasional. Manusia sebagai homo simbolikum telah diajak untuk berpikir sederhana. Simbol-simbol komputer, misalnya, tidak lain adalah sim­bol-simbol operasional.

Kita Masih Menjadi Tukang

Belum sempat kita berpikir abstrak, kita sudah digenjot untuk berpikir wadak. Mau tidak mau kita menurut. Di satu pihak, memang kita belum mem­punyai tradisi ilmu yang baik. Kita lebih banyak berpikir mengenai apa yang ada di depan hidung. Di lain pihak, kalau kita tidak mau menerima teknologi, dan tidak mau mengikuti bahasa teknologi, kita akan diinjak-injak oleh negara­negara lain.

Memang, dalam hubungannya dengan teknologi, kita lebih banyak bertin­dak sebagai objek. Hakikat objek adalah menurut. Ingat, misalnya, sekian banyak peraturan dagang yang merugikan kita.

Bukan hanya itu. Teknologi yang dikucurkan kepada kita hanyalah teknologi rendah. Kalau kita percaya, simak apa yang dikatakan oleh Dr. Chang Young Chui dari Universitas Nasional Singapura dalam "Korean Economy and Business Relationship with ASEAN" di Universitas Indonesia, 14 Oktober 1993 (Berita "Kompas", "Padat Karya dan Teknologi Rendah", 16 Oktober 1993 hal. 2).

Begitulah, sebelum sempat kita berpikir abstrak, kita dipacu untuk serba operasional. Maka, jarak antara ilmu dengan keterampilan bertambah lebar. Padahal, ilmu dan teknologi tidak mungkin berkembang dengan baik apabila ditanggapi oleh orang-orang yang hanya mempunyai kemampuan operasional. Dalam ilmu, dengan demikian, kita cenderung makin ketinggalan.

Sementara itu, apakah sebenarnya hakikat bahasa? Kita tahu, bahasa itu arbitrer. Dan bahasa menjadi arbitrer karena bahasa merupakan kesadaran kolektif. Konotasi "kursi" dapat menjadi "kedudukan", tapi tidak mungkin menjadi "garpu". Mengapa? Karena memang demikianlah kesadaran kolektif kita mengenai makna "kursi".

Apabila kesadaran kolektif sudah menjadi arkitipa, maka kesadaran kolek­tif akan mengalir dengan sendirinya seolah dibuat oleh alam tanpa campur tangan manusia. Ambillah, misalnya, cinta, kebahagiaan, kesengsaraan, dan lain-lain. Tanpa bergerak pun kita akan menjadi objek sudah dari simpul-simpul arkitipa tersebut.

Namun, begitu simpul-simpul arkitipa masuk ke filsafat ilmu, dan seni, simpul-simpul tersebut memerlukan penjabaran. Dalam filsafat dan ilmu ada eksplorasi dan argumentasi, dan dalam seni ada gerak, cerita, atau imaji. Semua penjabaran itu memerlukan kata atau simbol yang juga arbitrer.

Dalam praktek pun, pengejawantahan arkitipa musti diatur. Apalagi cinta sudah menyusup pada sebuah pasangan, misalnya, maka pasangan tersebut segera terikat oleh norma-norma moral, agama, undang-undang perkawinan, keluarga berencana, dan lain-lain. Itulah rekayasa manusia. Dan rekayasa memerlukan bahasa.

Demikianlah, sebenarnya tanpa rekayasa bahasa akan lahir dengan sendirinya. Simpul-simpul arkitipa akan dengan sendirinya menciptakan bahasa atau simbol-simbol sendiri. Maka, manusia menjadi objek-bahasa.

Napsu untuk menciptakan bahasa dapat juga menemui jalan buntu. Lihat­lah, misalnya, bahasa Eksperanto. Manusia gagal menjadi subjek.

Lepas dari apakah manusia menjadi objek atau subjek, sebab dalam praktek manusia menjadi kedua-duanya, kita tidak perlu salah sangka terhadap bahasa. Bahasa memerlukan operasionalisasi, namun sebenarnya bahasa bukan semata operasional. Pada hakikatnya, bahasa adalah saudara kembar matematika. Bahasa dan matematika adalah logika. Barang siapa logikanya bobrok, kemampuan matematik dan bahasanya juga bobrok.

Karena itu, sebenarnya objek matematika dan bahasa hanya ada di kepala. Logika adalah gagasan, bukan tindakan. Angka sebagai kepanjangan matematika dan kata sebagai kepanjangan bahasa juga arbitrer. Dua kali dua tidak mungkin sepuluh, sebagaimana halnya hitam tidak mungkin putih.

Arbitrase tidak lain merupakan penafsiran terhadap realita. Dan penaf­siran tidak lain adalah logika. Pada hakikatnya logikalah yang mengontrol kita, bukan realita itu sendiri.

Dalam matematika, Pitagoras dapat melahirkan dalil-dalil sambil duduk, seolah-olah dalil-dalil itu datang dari langit. Jangan dikira bahwa teori-teori bahasa lahir tanpa dedukasi, sekalipun dalam praktik, teori-teori itu lahir dari proses induksi. Proses deduksi yang dilalui oleh Pitagoras juga dilalui oleh jago-jago bahasa.

Memang, mula-mula Noam Chomsky dan Benjamin Lee Whomf adalah praktisi. Chomsky adalah seorang speech therapist, dan Whorf adalah ponggawa asuransi kebakaran. Mereka menggali realita. Tapi, tanpa kemampuan deduksi, mereka tidak akan melahirkan konsep cemerlang. Andaikata Roma adalah abstraksi, maka deduksi dan induksi adalah dua jalan kembar menuju ke Roma. Deduksi tanpa induksi menjadi tumpul, demikian pula sebaliknya.

Justru karena objek matematika dan objek bahasa sebenarnya hanya ada di kepala, matematika dan bahasa dapat menyusup ke mana-mana. Karung kosong tidak mungkin tegak berdiri, demikian juga konsep tanpa logika. Maka, matematika menjadi tulang punggung ilmu, dan bahasa menjadi tulang punggung seribu satu segi kehidupan.

Tapi, sekali lagi, kita belum sempat berpikir abstrak. Alangkah besarnya nikmat yang akan kita peroleh, manakala bahasa dapat mengalir dengan sen­dirinya, bagaikan diciptakan oleh alam. Dengan sendirinya, kita tidak mungkin hidup di awang-awang. Betapa pun tajamnya kecerdasan kita, kita tidak bisa menciptakan bahasa yang menggelinding dengan sendirinya. Karena kita tidak mungkin mempunyai bahasa yang lahir kemudian akan menjadi dewasa dengan sendirinya, mau tidak mau bahasa pun kita rekayasa.

Karena kita belum sempat berpikir abstrak, rekayasa kita benar-benar operasional. Kita hanya mampu menawarkan landasan-landasan teknis, tanpa kemampuan untuk menjelajah dunia filosofi. Sementara itu jumlah cendekiawan tidak seimbang dengan anggota masyarakat. Para pakar bahasa selalu dituntut untuk merekayasa bahasa yang sangat praktis dan elementer. Mereka tidak sempat berpikir abstrak.

Maka, para pakar bahasa sering bertindak sebagai polisi dan tidak bertin­dak sebagai pemuka mata wawasan. Betapa seringnya para pakar bahasa me­ngatalcan "mentrapkan" itu keliru, yang benar adalah "menerapkan". Betul-betul sumier.

Tapi memang, dalam matematika ada ungkapan menarik, yaitu "a whole is always one and fractions make up a whole". Kita benahi yang kecil-kecil, sebab yang besar itu sebenarnya merupakan kesatuan yang kecil-kecil. Untuk berpikir abstrak, kita berpikir wadak. Dan untuk meluruskan logika, kita meluruskan bahasa.

Demikianlah, kita merekayasa bahasa untuk mencapai tertib logika. Dengan tertib logika, tangga untuk berpikir abstrak dan filosofis lebih mudah terjangkau.

Kita Lari Cepat

Kehidupan umat manusia pada hakikatnya adalah suatu sistem. Kita ambil satu contoh klasik. Pada tahun 1906, Jepang, yaitu bangsa Asia, berhasil menggebug Rusia, yaitu bangsa Eropa, di Jazirah Tsusima. Maka, bangkitlah gelombang nasionalisme Asia. Dan gelombang tersebut tidak bisa dibendung. Sekarang kita juga melihat contoh lain. Uni Sovyet bangkrut, Yugoslavia ikut­ikut.

Ukuran bola dunia tetap sama, namun makin terasa sempit. Suatu peristiwa penting yang terjadi di suatu tempat akan segera terlihat dan terasa oleh seluruh bagian dunia. Maka, kehidupan umat manusia sebagai suatu sistem makin terasa. Gelombang pengaruh-mempengaruhi makin tidak bisa dihindarkan.

Lalu lintas barang, uang, dan tenaga kerja juga makin dinamis, melintasi sekian banyak negara dan sekian aneka ragam kebudayaan.

Kita tidak mungkin menghindar, dan tidak mungkin mengucilkan diri. Begitu kita menghindar dan mengucilkan diri, begitu pula kita diinjak-injak oleh bangsa lain. Kebudayaan kita juga akan ditumbangkan oleh kebudayaan lain, justru karena kita tidak bergaul dengan masyarakat internasional.

Sikap terbaik, tidak lain, adalah terbuka terhadap perubahan. Begitu pula berhadapan dengan perubahan, kemampuan kita tawar-menawar diuji. Dan kita tidak mugkin menyandarkan kemampuan tawar-menawar semata kepada alam.

Dulu, misalnya, kita tidak pernah membayangkan bahwa kita akan mampu mempunyai pilot. Paling-paling, demikianlah pikiran kita dulu, kita hanya sanggup menjadi,kusir dokar atau sopir mobil milik Belanda. Melalui rekayasa berupa pendidikan, kita dapat menciptakan sekian banyak pilot dan pesawat terbang.

Bahasa juga tidak mungkin dibiarkan menggelinding dengan sendirinya. Ingat, bahasa tidak lepas dari tradisi kekuatan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, dan ilmu. Meskipun kita makin kuat, kita belum mempunyai akar tradisi itu. Dalam perkembangan teknologi, sekali lagi, kita lebih banyak bertindak sebagai objek. Dan dalam jajaran pasaran ekonomi dunia, kita juga masih sering buat kalah-kalahan.

Kita tidak usah malu mengakui, bahwa bahasa sebenarnya mempunyai ciri-ciri yang sama dengan air. Bahasa negara-negara yang lebih kuat bergerak ke bawah, termasuk bahasa Indonesia. Maka, bahasa Inggris menyerbu masuk ke jaringan tubuh bahasa Indonesia, dan bahasa Jakarta menjangkit ke otak para remaja.

Apakah mungkin lalu lintas air diatur? Mungkin. Pipanisasi, irigasi, pom­panisasi, pembuatan waduk, penyediaan tandon-tandon, adalah rekayasa. Demikianlah, sekian banyak jurus diciptakan untuk mempertahaukan hidup, harkat, dan martabat. Karena kehidupan umat manusia sebagai suatu sistem makin terasa, rekayasa dalam sekian banyak segi kehidupan makin ditata.

Rakayasa bahasa, sekali lagi, adalah untuk mencapai tertib logika. Dengan tertib logika, dimensi-dimensi lain dengan scndirinya akan berangkat. Rasa percaya diri pada bahasa kita, misalnya, akan makin mantap.

Dimensi lain adalah percepatan proses perkembangan bahasa itu sendiri. Sementara zaman makin laju berkembang, tidak mungkin bahasa Indonesia dibiarkan berjalan berlamban-lamban.

Inspirasi, Seni, dan Otak Cemerlang

Ingat, pada dasarnya bahasa adalah alamiah. Rekayasa yang mengabaikan hukum alam, dan juga tidak memanfaatkan hukum alam, pasti kandas. Sesuatu yang alamiah adalah sesuatu yang tidak dipaksa-paksakan. Apabila rekayasa justru membuat bahasa kaku, terlalu arkaik, terlalu sulit diucapkan, dan terlalu aneh-aneh (meskipun lidah dan kuping bisa dilatih), kita tahu apa yang akan terjadi. Pemakai bahasa mempunyai hak untuk menolak.

Sebagai lingua franca, bahasa juga menuntut dirinya untuk menjadi praktis. Karena itu, tanpa komando dan tanpa rekayasa pun, akronim akan dengan sendirinya bertumbuhan. Kita tidak mungkin membendung "asrama polisi" untuk tidak menjadi "aspol", dan "kebun binatang" untuk tidak menjadi "bonbin".

Kepraktisan sering pula bergandeng tangan dengan keindahan. "Aspol" dan "bonbin", misalnya, tidak aneh, tidak kaku, tidak sulit diucapkan, dan indah. Dua akronim itu merupakan perkembangan alamiah.

Kecuali merupakan salah satu simpul sesuatu yang aiamiah, keindahan juga dapat lahir karena revelasi (jangan diterjemahkan menjadi "wahyu"), inspirasi, jiwa seni, dan otak cemerlang. Lihat, misalnya, lahirnya gaya jurnalistik majalah "Time". Salah seorang pendiri majalah "Time" adalah pengagum berat sastra Yunani Klasik. Pada suatu pagi dia naik lift, menuju ke ruang kerjanya.

Begitu lift terbuka, terjadilah revelasi (sekali lagi, jangan diterjemahkan menjadi "wahyu"). Dia melihat pemandangan indah di luar gedung melalui jendela kaca. Padahal, pemandangan itu sudah sering dia lihat setiap hari.

Kali itu berbeda. Tidak seperti biasanya, pemandangan itu sangat indah dan sangat memukau. Mendadak kita merasa sebagai seorang serdadu Yunani kuno yang turun dari dalam perut kuda Troya. Nah, pada saat itu pulalah, dalam otaknya berkelebat keindahan bahasa dan sastra Yunani Klasik. Itulah awal mulanya gaya penulisan majalah "Time", suatu gaya yang sangat menarik dan indah.

Majalah "Tempo" juga dapat dijadikan contoh. Goenawan Mohammad berhasil menyuntikkan keindahan ke dalam gaya penulisan majalah "Tempo". Mula-mula dia memasukkan unsur-unsur bahasa Malaysia, sebagai mana misal­nya "berbual-bual", "seronok", "berpusing-pusing", dan lain-lain.

Dengan sendirinya, seorang tukang pun dapat membuat sesuatu yang indah. Namun, keindahan seorang tukang berhenti pada permukaan, clan hanya polesan belaka. Rekayasa bahasa memerlukan inspirasi, seni, dan otak yang encer. Dan orang-orang yang mempunyai kemampuan semacam ini juga mem­punyai kualitas lain, yaitu kemampuan berpikir abstrak dan filosofis.

Karena kesalahan berbahasa sebagian besar anggota masyarakat kita masih banyak yang fatal, para pakar bahasa terpaksa kurang bebas mengem­bangkan kecemerlangan otak mereka. Kewajiban moral menuntut mereka untuk benar-benar turun ke lapangan. Mereka terpaksa berkutat pada masalah­masalah teknis.

Kesalahan berbahasa anggota masyarakat kita memang kadang-kadang lucu. "Mengubah" disulap menjadi "merubah", padahal rubah adalah binatang macam pelanduk. Kita ambil con[oh lain yang pernah dikemukakan oleh Yayah Bachria Lumintaintang (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) dalam "Pemasyarakatan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar" (makalah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Yogyakarta, Yogyakarta, 21-2-Ok­tober 1993). Contoh itu adalah, "Nyonya Helena (40), yang menemukan mayat suaminya, Hasan Usep (45) menjerit histeris". Kalau kalimat ini kita pegang, pasti Hasan Usep bukan suami Nyonya Helena. Dan Hasan Usep pasti masih hidup, dan karena itu dapat menjerit histeris.

Tapi tokh, objek bahasa, sebagaimana halnya objek matematika, hanya ada di kepala. Sekarang marilah kita bayangkan kita sedang berhadapan dengan bola lampu. Listrik bagaikan konsep. Bola lampu bagaikan kepala, dan sinar lampu bagaikan bahasa. Apabila kita terpana pada sinar lampu, maka kita terjerambab pada jurus sarung kedodoran. Kita jongkok sarung melorot, kita berdiri sarung melorot, kita maju sarung melorot, kita mundur sarung melorot, kita ke kanan dan ke kiri sarung juga melorot. Kalau kila menendang, sarung menyerimpet kaki kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar