“SAYA KINI TIDAK MALU CARI ORDERAN…”
Sebagai orang keturunan Jepang Amerika saya pemalu sekali. Ayah miskin saya bilang jangan menjual, orang intelektual tidak menjual. Tetapi ayah kaya saya bilang, uruslah bisnismu sendiri. Latihlah terus ketrampilan menjualmu.
-- Robert T. Kiyosaki
Terus terang saya langsung teringat kata-kata Kiyosaki di atas begitu membaca
berita ringan berjudul “Saya Kini Tidak Malu”. Berita itu menyebutkan bagaimana Direktur Percetakan Delta Grafika, Soedjono, kini ikut turun ke lapangan bersama karyawannya mencari orderan untuk kelangsungan percetakan milik Pemkab Sidoarjo. Hasilnya tidak sia-sia karena toko-toko kini banyak yang memberikan order cetak di percetakan itu. “Saya sempat malu untuk mencari orderan, kini tidak lagi. Saya bertanggungjawab memajukan instansi yang dipercayakan kepada saya,” kata Soedjono (Bhirawa, 22 Desember 2003).
“Saya malu”. Dua kata ini sering terungkap dari orang-orang di sekitar kita menyangkut pekerjaan menjual, apakah mereka itu anak-anak sekolah kita, lulusan sekolah dan perguruan tinggi, atau orang-orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Ungkapan yang menunjukkan sikap itulah kiranya yang ikut berperan dalam menggelembungkan jumlah penganggur di Indonesia, termasuk di Jawa Timur. Sikap itulah pula yang kiranya tidak membantu peningkatan kesejahteraan rakyat di negeri ini.
Akibat sikap tersebut, banyak orang memandang bahwa kerja selalu identik dengan aktivitas kantoran dan gaji. Luar biasa memang “prestasi” para penyuntik mental tersebut di masa lalu. Mereka berhasil membius jutaan orang di negeri ini bermimpi menjadi pegawai meski dengan gaji kecil. Meskipun berbeda, bagaimana pun bisa diibaratkan mereka adalah para abdi dalem di rumah-rumah para bangsawan yang setiap hari harus merangkak-rangkak dan menyembah tuannya untuk memperoleh sesuap nasi.
Karena pembiusan itu, begitu banyak orang yang memandang berjualan tidak patut bagi mereka, keluarga dan kerabatnya. Malahan, seperti dialami Robert T. Kiyosaki, penulis buku seri Rich Dad, Poor Dad, mereka rajin mengajarkan mantra-mantra kepada anak-anaknya untuk tidak jadi pedagang, penjual, dan semacamnya. “Orang intelektual tidak menjual… tidak berdagang… tidak menawarkan barang. Ya, anakku, jangan menjual, jangan sekali-kali menjual, jangan jadi salesman…” begitu kira-kira mantra mereka.
Dampak dari mantra-mantra agar anak-anak kita tidak berjualan memang dahsyat. Tanyalah anak-anak sekolah kita apa impian mereka. Jarang rasanya yang mengatakan ingin kaya raya dengan merintis bisnis kecil-kecilan, yang berarti melakukan aktivitas berjualan. Anak-anak sekolah kejuruan pun umumnya ingin jadi pegawai setelah lulus sekolah.
Keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Saya khawatir, bila tidak ada upaya untuk menumbuhkan jiwa wirausaha, bangsa ini akan benar-benar celaka karena akan menjadi “kacung” bangsa-bangsa lain. Prof Veth, seorang datuk ilmu sejarah awal abad ke-20, pernah menyitir sebuah puisi seorang penyair Belanda untuk menegaskan pandangannya bahwa Indonesia tak pernah merdeka. Bung Karno membantah pendapat Prof Veth itu dalam risalahnya “Mentjapai Indonesia Merdeka” (Maret 1933). Tetapi bunyi syair itu memang patut membuat kita merenung. Bunyinya sebagai berikut:
“Aan Java’s strand verdrongen zich de volken;
Steeds daagden nieuwe meesters over het meer;
Zij velgden op elkaar, gelijk aan het zwerk de wolken;
De telg des lands alleen nooit zijn heer.”
(Di pantainya tanah Jawa yang berdesak-desakan;
Datang selalu Tuan-tuannya setiap masa;
Mereka beruntun-runtun sebagai runtunan awan;
Tapi anak pribumi sendiri tak pernah kuasa).
Puisi itu memang puisi lama, mungkin dibuat hampir 100 tahun yang lalu. Tetapi puisi itu tetapi terasa begitu relevan bila dibaca saat ini. Mengapa? Saya kira salah satu penyebab “anak negeri sendiri tak pernah kuasa” adalah karena masih kentalnya budaya pegawai, budaya malu berjualan dan anehnya, tidak malu melakukan korupsi.
Karena malu berjualan, “tuan-tuan” seperti kreditor Jepang, Amerika, atau IMF dan Bank Dunia dari negeri seberang datang beruntunan bak runtunan awan, menawarkan utang, berbagai barang dari jarum, kancing celana, komputer hingga pesawat terbang. Orang-orang bilang, Indonesia sudah lama merdeka alias bebas. Tetapi, mengutip penyair terkemuka Ezra Pound, apa artinya kemerdekan tanpa kemerdekaan secara finansial dan ekonomi?
Beruntung
Teringat syair itu, saya lega membaca berita tentang Soedjono yang tak malu lagi mencari order untuk percetakaannya. Ia tak lagi malu berjualan. Saya menilai ia beruntung sekali. Apalagi saya dengar Soedjono adalah seorang Letkol TNI AD yang baru saja pensiun. Keberuntungannya saya kira banyak, tetapi yang paling besar adalah kecepatannya belajar dan beradaptasi dengan lingkungan kerja baru. Sebuah lingkungan kerja yang lain sekali dari lingkungan kerja sebelumnya.
Meskipun Soedjono seorang novice entrepreneur, ia toh seorang entrepeneur, seorang wirausaha. Siapakah itu wirausaha? Dr Rhenald Kasali, seorang pengamat bisnis terkemuka, menyebut wirausaha adalah seseorang yang menyukai perubahan. Ia melakukan temuan-temuan yang membedakan dirinya dengan orang lain. Menciptakan nilai tambah, memberi manfaat bagi dirinya dan orang lain. Karyanya dibangun berkelanjutan, bukan ledakan sesaat, tetapi dilembagakan agar lembaga itu kelak dapat bekerja efektif di tangan orang-orang lain.
Berkat semangat kerja Soedjono membenahi Percetakan Delta Grafika, perusahaan daerah itu kabarnya mengalami perbaikan. Mungkin belum memberikan hasil -- apalagi besar -- bagi Pemda Sidoarjo. Tetapi percetakan itu tidak lagi terlihat kumuh. Semangat kerja belasan karyawannya meningkat pesat karena adanya kenaikan gaji cukup berarti dan adanya sistem insentif bila mereka bisa memperoleh order cetak. Bahkan ada karyawan hampir tak percaya mendapat kenaikan gaji yang juga memperhitungkan masa kerjanya.
Percetakan Delta Grafika memang kecil, tidak bisa dibandingkan, misalnya, dengan Telkom. Tetapi apa yang dilakukan Soedjono mungkin tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Cacuk Sudariyanto ketika mulai membenahi Telkom pada akhir 1980-an. Penekanan Cacuk saat itu adalah Telkom harus dikelola dengan orientasi pada hasil usaha melalui perbaikan manajemen terus-menerus. Cacuk juga merombak sistem promosi jabatan dengan tidak mengedepankan senioritas, tetapi prestasi kerja. Meskipun senior kalau tidak berprestasi tidak akan dipromosikan. Sukses Telkom sekarang tak bisa dilepaskan dari jasa Cacuk.
Apa inti kegiatan sebuah usaha kiranya tak perlu diperdebatkan. Kegiatan itu adalah menjual. Banyak istilah untuk hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan itu. Ada istilah salesman, marketing, wiraniaga, pramuniaga, dan sebagainya, namun intinya adalah menjual. Dan kegiatan menjual, mungkin lebih dari yang dipahami kebanyakan orang, sebenarnya adalah kegiatan yang menentukan maju tidaknya sebuah negara. Banyak orang meremehkan pekerjaan menjual, tetapi kegiatan itulah yang telah membuat Amerika Serikat menjadi negara adidaya seperti sekarang.
Berkat para penjual, barang-barang produk AS yang melimpah ruah bisa terjual ke luar negeri setiap tahunnya. Berkat pekerjaan menjual, banyak orang menjadi makmur dan sukses hidupnya di masa tua. Mereka tidak saja bisa mencapai hidup yang berkualitas, tetapi juga dapat membantu orang lain untuk sukses seperti mereka. Sebaliknya, banyak orang terpuruk dan tidak berkualitas hidupnya karena salah dalam menentukan pilihan kerjanya. Tidak peduli tingginya tingkat pendidikan mereka.
Sebagian mereka yang terpuruk itu mungkin saja adalah korban “para pembisik” yang selalu rajin berkampanye, “jangan menjual, jangan menjual.” Adalah hak setiap orang untuk membela profesinya, tetapi sejarah telah menunjukkan bahwa profesi penjual adalah profesi yang agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar