Jumat, 26 Juni 2009

Dokumen Rahasia di Balik Peledakan Bom di Indonesia

Catatan Laluta:

"... Kemudian yang menjadi pertanyaan: kenapa yang dijadikan korban justru turis-turis Australia? ... Dan pada kenyataannya, siapakah yang diuntungkan setelah peristiwa pengeboman itu? Di sinilah kunci utamanya…. [selanjutnya baca Wawancara Fredrick Blake Burks berjudul "Dokumen Rahasia di Balik Peledakan Bom di Indonesia"]

La Luta Continua!

***

Date: Sun, 18 Dec 2005 00:28:51 -0800 (PST)
From: muhamad thorik
Subject: Wawancara Fredrick (K2PSI)

Dokumen Rahasia di Balik Peledakan Bom di Indonesia

Frederick Blake Burks

(Mantan Penerjemah Departemen Luar Negeri

Amerika Serikat)

Pertemuan kami di rumah Ibu Mega terjadi pada tanggal 16 September 2002. Waktu itu saya diminta untuk mendampingi seorang utusan CIA, anggota dewan keamanan nasional Amerika, Kareen Brooks, juga Ralp L Boyce selaku duta besar Amerika untuk Indonesia. Pertemuan ini sangat dirahasiakan, dan hanya berlangsung sekitar 20 hingga 30 menit saja.

Saya masih ingat ketika rombongan kami mendesak Presiden Megawati agar menuruti permintaan George W Bush, supaya Abubakar Ba’asyir segera diekstradisi ke Amerika. Namun beginilah jawaban Ibu Mega: “Maaf, saya tidak bisa memenuhi permintaan kalian. Ba’asyir itu cukup terkenal, dan kalau saya serahkan pada Amerika, tentulah akan mempersulit posisi saya di sini.”

Para utusan itu kaget melihat keberanian Ibu Mega. Kemudian mereka berusaha mendesak secara halus, hingga seorang utusan CIA mengangkat kepalanya, dan berkata:

“Kami mengerti kesulitan yang dialami Ibu Presiden. Tapi Anda harus paham dan mengerti, siapa itu Ba’asyir? Dia itu orang berbahaya. Dari keterangan Omar Al-Farouk, kelompok Islam yang dipimpin Ba’asyir itu sudah dua kali merencanakan untuk membunuh Ibu Presiden. Bahkan pengeboman gereja di malam natal kemarin, juga Ba’asyir-lah yang menjadi otaknya….”

Hingga akhir pertemuan itu Ibu Mega tetap pada pendiriannya. Ia tidak menanyakan apa bahayanya kalau Indonesia tidak menyerahkan Ba’asyir kepada Amerika. Namun di akhir perdebatan sengit itu, Ibu Mega sempat melontarkan kata-kata: “Pokoknya kami tidak akan menyerahkan Ba’asyir, kecuali kalau ada opini-opini negatif tentang dia….”

Setelah itu apa yang terjadi? Belum genap sebulan setelah pertemuan kami, pada tanggal 12 Oktober 2002 terjadilah peledakan Bom Bali, yang kebanyakan korbannya adalah turis-turis Australia.

Tentu saja saya harus menghubungkan peristiwa itu dengan pertemuan di rumah Ibu Mega. Sudah sejak itu saya membaca bahwa pengeboman itu pastilah kerjaan elite penguasa Amerika, dengan memakai kaki-tangan orang-orang lokal sebagai pelakunya. Tujuannya untuk membuat citra-buruk kepada Ba’asyir yang akan dijadikan kambing-hitam sebagai pelaku pengeboman itu.

Kemudian yang menjadi pertanyaan: kenapa yang dijadikan korban justru turis-turis Australia? Hal ini mudah dipahami, karena sebelum peristiwa Bom Bali itu, pemerintah dan rakyat Australia kurang mendukung perang terhadap terorisme yang gencar dipropagandakan Amerika. Dan pada kenyataannya, siapakah yang diuntungkan setelah peristiwa pengeboman itu? Di sinilah kunci utamanya….

Saya sendiri baru mengenal Ba’asyir dalam kunjungan-kunjungan terakhir ke Indonesia. Di Amerika dia kurang dikenal, karena memang rakyat Amerika kurang tertarik untuk mengikuti kejadian-kejadian di luar negerinya. Dalam bulan-bulan ini memang ada beberapa artikel yang membahas terorisme yang disangkut-pautkan dengan Ba’asyir, tapi hampir semuanya cenderung tendensius, dan hanya dibuat-buat untuk menelek-jelekkan Ba’asyir. Entahlah, untuk apa mereka capek-capek menulis artikel semacam itu….

Lantas bagaimana sosok Ba’asyir itu yang sebenarnya? Setelah saya lebih akrab mengenalnya, sungguh pada diri Ba’asyir itu tidak ada watak teroris sama sekali. Memang sepintas dia kelihatan teguh dan tegas pada sikap dan pendiriannya. Namun kenyataannya dia orang baik-baik. Dalam perbincangan dengan saya, dia memang mengakui pernah bercita-cita membangun Indonesia berdasarkan syariat Islam. Menurut saya, hal ini wajar dan sah-sah saja. Pemikiran seperti itu tak bisa dilarang dan merupakan hak asasi dia. Selama pikiran itu tidak dipaksakan dengan kekerasan kepada pihak lain, hal itu harus kita anggap sebagai perbedaan pendapat dan wacana saja. Kenapa yang kewalahan dan uring-uringan justru adalah elite-elite Amerika? Hal ini harus dipahami secara kultural dan struktural.

Dalam soal ini memang ada peneliti Amerika yang tidak sependapat dengan saya, misalnya Sidney Jones selaku Direktur International Crisis Group (ICG). Saya menilai, cukup banyak kelemahan pada analisis Sidney Jones. Dia tidak paham tentang seluk-beluk rekayasa yang menjadi proyek bagi oknum-oknum elite penguasa Amerika. Tapi saya bisa mengerti, karena Sidney memang tidak punya basis di bidang itu. Pengalaman dan aktifitas dia hanya di sekitar human right sebelum terjun ke dunia penelitian tentang jaringan terorisme.

Sebelum masuk ke wilayah Asia Tenggara, boleh jadi Sidney hanya menerima laporan secara sepihak, atau menghimpun informasi yang dibuat-buat oleh intelijen. Bolehlah dikatakan bahwa Sidney salah sumber sebelum melakukan penelitian tentang terorisme, hingga akhirnya dia tak punya pegangan yang kokoh seperti sekarang ini.

Secara pribadi, pada awalnya saya sendiri kurang yakin mengenai adanya konspirasi di tingkat elite penguasa Amerika, tapi setelah saya mendengar, menerima masukan dari mantan-mantan FBI dan CIA, bahkan saya mengalaminya sendiri, waduh, luar biasa kelicikan dan kebohongan yang menjadi proyek-proyek mereka itu. Karena itu saya berkewajiban untuk mengungkap dan membongkarnya, dan itulah yang menjadi aktifitas saya sekarang ini.

Sebelum diminta sebagai saksi atas persidangan Abubakar Ba’asyir, saya sering diwawancarai oleh media-media lokal di Amerika, juga sering diundang selaku narasumber di kampus-kampus. Di hadapan ribuan mahasiswa saya sampaikan terang-terangan mengenai kegiatan yang sedang saya geluti sekarang ini.

Kalau ada yang menanyakan, apakah saya tidak takut diancam atau diintimidasi oleh Pemerintah Amerika? Saya tegaskan bahwa saya percaya pada Kekuasaan Yang di Atas. Saya hanya mengungkap apa-apa yang saya ketahui, berdasarkan fakta dan data-data yang saya yakini kebenarannya. Saya tidak tertarik untuk mencari-cari musuh. Dan saya percaya, masih banyak orang Amerika yang baik dan menggunakan hatinuraninya, termasuk di kalangan pejabat pemerintahannya sendiri.

Saya hanya membongkar cara-cara kerja dari kalangan elite penguasa tertentu, yang banyak mencelakakan umat manusia di bumi ini, termasuk peristiwa WTC dan Pentagon itu. Persoalan ini memang tidak gampang, dan butuh persatuan dan kekompakan dari kawan-kawan pejuang di seluruh dunia.

Hal ini perlu saya tegaskan, karena kawan-kawan jurnalis di Amerika sendiri belum siap menghadapi kenyataan ini. Mereka masih gemar mengunyah-ngunyah opini bikinan yang dicekoki dari mulut penguasa, dan karenanya mereka masih takut memberi pernyataan ilmiah, dan hanya penyataan politik belaka. Dalam kaitan ini saya sangat menghargai perkembangan dunia pers di Indonesia, yang nampaknya lebih berani dan terbuka untuk mengungkap fakta-fakta dari kejadian yang sebenarnya. Selamat berjuang….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar