Jumat, 26 Juni 2009

Bangkrutnya Citra Amerika, Kalahnya Bush

Bangkrutnya Citra Amerika, Kalahnya Bush

Berjuta-juta dollar dihabiskan Pemerintah Amerika Serikat untuk berkampanye guna mengambil hati dunia Islam dalam beberapa tahun terakhir, khususnya setelah peristiwa peledakan Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York 2001. Dana yang besar itu digelontorkan dalam bentuk iklan, majalah-majalah, brosur-brosur dan lainnya untuk mendokrak citra Amerika yang buruk di dunia Islam. Para diplomat, dibantu para tokoh ternam4a negeri itu, dengan rajin berbicara tentang kebijakan-kebijakan pemerintahnya. Tetapi menurut laporan Kantor Akuntan Umum ( GAO), pengawas Kongres AS yang melakukan jajak pendapat di negara-negara Islam, citra Amerika sekarang bahkan makin merosot dibanding sebelum peristiwa 11 September 2001. Survei tersebut melibatkan antara lain Yordania, Lebanon, Maroko, Indonesia, Turki, dan Pakistan.

Di Yordania, misalnya, persentasenya menurun dari 25 persen pada pertengahan tahun 2002 menjadi satu persen pada awal 2003. Di Lebanon, jumlahnya turun dari 35 persen menjadi 27 persen pada periode yang sama. Di Indonesia, tingkat popularitas Amerika turun dari 75 persen menjadi hanya 15 persen!

Laporan turunnya popularitas Amerika di negara-negara Islam tersebut sebenarnya tidak aneh dan mudah diduga. Bila jajak pendapat tersebut melibatkan juga negara-negara non-Islam, sangat boleh jadi popularitas negara adidaya tunggal itu juga akan turun. Hal itu terutama adalah akibat tindakan sewenang-wenang Amerika terhadap negara-negara Islam, khususnya Afghanistan dan Irak. Warga muslim Amerika juga tak luput tindakan diskriminatif, meskipun para pejabatnya mengungkapkan kata-kata manis.

Jauh sebelum turunnya laporan jajak pendapat itu, kebencian dunia terhadap Amerika sudah terlihat terutama ketika Washington melancarkan serangan militer terhadap Irak pada 21 Maret 2003 dengan mengabaikan suara-suara di PBB. Selama berhari-hari, kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat AS mengebomi sasaran-sasaran di Irak.

Laporan-laporan media massa saat itu sudah menunjukkan penentangan dunia terhadap AS. Kantor berita Amerika, AP, menurunkan laporan berjudul Wars Start Sparks Global Protests. “Beribu-ribu pemrotes berpawai menentang perang di berbagai kota seluruh dunia,” begitu antara lain laporan tersebut. Koran Amerika, USA Today, menulis: “Around world, more criticism than support.” (Di seluruh dunia, kritik lebih banyak dibanding dukungan).

Apalagi sekarang, di saat Amerika praktis menjajah Irak (dan Afghanistan). Kebencian terhadap Amerika pun makin berlarut-larut.

Tragis

Bangkrutnya citra Amerika itu boleh dikata sangat tragis. Bagaimana tidak? Lebih dari 200 tahun yang lalu, para bapak bangsa Amerika bertarung menghadapi kolonialis Inggris dan membangun negeri itu dengan visinya yang cemerlang. Bangsa itu pun kemudian tumbuh menjadi sebuah bangsa besar dan sangat maju. Tetapi para penerusnya tampaknya tidak mampu mengemban amanat para leluhurnya. Berbagai tindakan buruk telah dilakukan bangsa itu dalam 50 tahun terakhir ini. Serangan militer besar-besaran Amerika terhadap Irak adalah puncak dari segala kekonyolan tindakan para pemimpin negara itu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Amerika sekarang adalah negara paling kaya dan maju di dunia, dengan anggaran federal lebih dari 1.000 miliar dollar per tahun. Di negeri itu berkumpul para cerdik pandai yang datang dari berbagai suku bangsa. Inilah negeri yang memiliki paling banyak pemenang Hadiah Nobel, dan juga paling banyak miliuner kelas wahid. Amerika memang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang kreatif, cerdas, dan juga kaya raya.

Jutaan orang bermimpi untuk bisa berkunjung ke Amerika. Tidak sedikit pula yang berkeinginan menjadi warga negara negeri itu. Banyak orang memang terpesona pada kebebasan dan vitalitas hidup bangsa itu. Amerika adalah hasil pertama dari nasionalisme, dari anti-kolonialisme dan prinsip kemerdekaan. “Adalah Amerika yang sekarang ini, yang merupakan tempat pengolahan teknologi Amerika, yang telah melampaui kemajuan bangsa-bangsa lain, yang menjelma menjadi bangsa yang besar,” kata Bung Karno dalam kunjungan pertamanya ke AS pada 1956.

“Amerika dewasa ini, yang merupakan suatu keajaiban dunia dengan segala pengaruhnya terhadap bangsa-bangsa di dunia, adalah anak hasil perkawinan antara Amerika yang revolusioner zaman (George) Washington, (Thomas) Jefferson dan (Abraham) Lincoln dengan Amerika yang teknologis yang diliputi oleh semangat teknis dari (Thomas) Edison dan (Henry) Ford.”

“Tembakan yang dilepaskan di Lexington pada 19 April 1775 telah terdengar di seluruh dunia. Gemanya masih tetap dirasakan dalam sanubari mereka yang baru mencapai kemerdekaannya, dan di dalam sanubari bangsa-bangsa yang masih berjuang menentang ikatan-ikatan penjajahan,” kata Bung Karno pula.

Sekarang, di saat “pendekar” demokrasi dan hak-hak asasi manusia itu rajin berbicara tentang demokrasi dan HAM, pada saat yang bersamaan justru ikut menindas semangat demokrasi dan penghormatan terhadap HAM.

Amerika mengatakan, Irak diserang karena pemimpin Irak Saddam Hussein menumpuk senjata kimia. Alasan itu dikomentari dengan sinis oleh mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Dalam wawancara dengan Majalah Newsweek edisi awal September 2002, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian itu mengatakan baik Presiden George W. Bush maupun Perdana Menteri Inggris Tony Blair sama sekali tidak bisa menunjukkan adanya senjata kimia pemusnah massal seperti itu. Tetapi yang diketahui masyarakat dunia adalah Israel memiliki senjata pemusnah massal, namun tak ada orang yang membicarakannya. Mandela juga mengatakan saat wawancara itu, AS telah menjadi “ancaman perdamaian dunia” dan kebijakannya terhadap Irak jelas merupakan langkahnya untuk menyenangkan kalangan industri minyak dan persenjataan.

Kritik keras Mandela terhadap rezim Bush itu pada dasarnya senada dengan pandangan banyak tokoh dunia. Besarnya protes-protes terhadap perang di Irak yang terjadi di seluruh dunia menunjukkan hal itu. Tetapi memang payah ketika dunia menghadapi “pemimpin kurang terdidik dengan baik” seperti Presiden George W. Bush. Ini mengutip pandangan Indonesianis dari Universitas Cornell, Prof Daniel S. Lev.

Lepas dari “faktor” Bush, masalah lain tak kurang peliknya karena sang presiden dikelilingi oleh “kaum rajawali” yang berpandangan sangat keras dan luar biasa besar ambisinya. Ambisi para pembantu dekat Bush tersebut telah diulas secara panjang lebar oleh David Armstrong di Harper’s Magazine edisi Oktober 2002 dengan judul Dick Cheney’s Song of America: Drafting a plan for global dominance.

Meskipun menggunakan kata “lagu” (song), rancangan naskah para pembantu Bush itu boleh dikata terasa “amis bau darah”. Rancangan naskah tersebut sebenarnya sudah lama dibuat oleh Cheney (Wapres sekarang, dulu Menhan di bawah Presiden George Bush Senior sampai awal 1993) dan sejumlah ghostwriter antara lain Paul Wolfowitz dan Colin Powell. Naskah yang dibuat dengan judul Defence Strategy for the 1990s itu sangat luar biasa. Sempat dibekukan karena sangat kontroversial, tetapi dihidupkan kembali setelah serangan terhadap WTC New York 11 September 2001.

Menurut Armstrong, rencana yang dibuat Cheney dan “kaum rajawali” pembantunya itu adalah rencana AS untuk menguasai dunia secara mutlak. Tema yang ditunjukkan adalah unilateralisme, tetapi pada dasarnya adalah dominasi. Naskah rancangan yang akhirnya bocor ke media itu mendesak agar AS selalu mempertahankan superioritas militer dan mencegah munculnya saingan baru di panggung dunia. Diserukan pula agar AS mendikte baik negara sahabat maupun musuh-musuhnya. Ada tambahannya yang justru menjadi intinya: AS tidak hanya harus lebih kuat, tetapi harus menguasai seluruh dunia secara mutlak.

Di dunia Islam kebencian masyarakat terhadap Amerika memiliki warna yang mungkin agak lain, karena faktor sikap mendua negeri itu terhadap Israel. Benar bahwa Amerika tampak menekan negara Yahudi tersebut untuk serius dalam berdamai dengan Palestina, tetapi sebenarnya tidak. Sudah menjadi rahasia umum, nyaris tidak ada politikus Amerika yang berani berkata jujur tentang kekuatan Lobi pro-Israel di Washington. Kekuatannya yang luar biasa mampu membungkam mulut dan hati para politikus. “Mereka tidak berani berbicara jujur karena begitu besarnya kekuatan Lobi Israel,” kata Uskup Desmond Tutu tahun lalu.

Uskup Tutu menunjukkan buktinya, Israel memiliki banyak senjata pemusnah massal. Tetapi tak seorang pun di Washington berani berbicara tentang masalah tersebut. Pernyataan pemimpin Katolik kulit hitam Afrika itu dikutip secara luas di seluruh dunia, tetapi tak ada reaksi dari pejabat Amerika.

Kualitas Diplomasi

Hal-hal tersebut di atas adalah fakta-fakta yang sangat mungkin menyebabkan bangkrutnya citra Amerika di negara-negara Islam.

Tetapi ada masalah lain, yang lebih menjadi perhatian Kongres AS. Kongres menyebutkan, penyebab lainnya adalah kualitas bahasa para diplomat dalam melengkapi tujuan pesan. Tentang hal ini memang telah diisyaratkan para pakar yang menyebutkan bahaya diplomasi Amerika karena rendahnya perhatian negeri itu untuk mempelajari bahasa dan budaya Arab, serta negara-negara Islam lainnya.

Penyebab lainnya lagi adalah kurangnya kesatuan metode penyampaian perkembangan bagi kebutuhan kampanye dan kegagalan menyatukan serta mengkoordinasikan berbagai jenis program. “Departemen Luar Negeri tidak secara sistematis dan komprehensif mengambil langkah menuju sasaran diplomasinya secara terbuka,” kata laporan tersebut.

Tetapi logikanya, sebaik apapun kampanye dilakukan, kalau sikap Amerika tidak berubah, maka citranya tetap akan buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar