Jumat, 26 Juni 2009

Menikmati Buku-Buku di Balik Berita SG

“Perseroan di tahun 2006 berhasil membukukan penghasilan bersih sebesar Rp 8.728 triliun yang merupakan peningkatan sebesar 15,9% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 7.532 triliun. ”

Begitu antara lain kata-kata Direktur Utama PT Semen Gresik (Persero) Tbk, Ir Dwi Soetjipto seperti tertulis dalam buku “Laporan Tahunan 2006” perusahaan tersebut. Laporan itu disampaikannya saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di Jakarta akhir Juni 2007 yang lalu.

Dari buku itu kita tahu kinerja perusahaan semen yang go public sejak 1991 itu, yang 51% sahamnya kini dipegang pemerintah RI. Semen Gresik Group (Semen Gresik, Semen Padang, dan Semen Tonasa) kini mampu memproduksi 16,3 juta ton semen/tahun, dan menguasai pangsa pasar nasional sebesar 46,6%. Debt Equity Ratio (DER) Perseroan menurun dari 38-62 di tahun 2005 menjadi 26-74. Ini berarti posisi keuangan sangat sehat.

Tetapi apakah Semen Gresik (SG) selalu mulus jalannya? Jelas tidak. Buku Semen Gresik dan Perkembangannya (1980) melukiskan betapa SG sering tersandung-sandung dalam menapaki perjalanannya. Dalam tahun-tahun awal setelah pabrik berstatus NV itu diresmikan Presiden Soekarno pada 7 Agustus 1957, masyarakat masih meragukan kualitas SG. Bagian pemasaran pun sering menyelenggarakan demonstrasi penggunaan semen Gresik untuk mengecor dan memasang tiang-tiang pancang bangunan.

Penggunaan semen Gresik baru melambung pada 1960-an, setelah perusahan berubah menjadi PN. Ini bertalian dengan pembangunan proyek-proyek monumental seperti Monumen Nasional, Jembatan Semanggi, Gedung Conefo, Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, dan Proyek Jatiluhur. Terlebih lagi setelah kontraktor Prancis yang membangun Proyek Jatiluhur memberikan rekomendasi penggunaan semen Gresik setelah mengirim contoh-contoh semen yang beredar di Indonesia ke sebuah laboratorium di Prancis. “Pembangunan proyek-proyek raksasa itu mengakibatkan adanya permintaan dan pemakaian semen secara besar-besaran dan terarah,” begitu tertulis dalam buku tersebut.

Namun di dalam pabrik SG sendiri, memanasnya situasi politik di Tanah Air menimbulkan ketegangan di kalangan karyawan. Mereka terkotak-kotak dalam organisasi buruh antara yang pro-PKI dan anti-PKI, yang mencapai puncaknya pada akhir 1965. Dalam proses pembersihan personil, tidak kurang dari 300 orang karyawan SG diberhentikan.

Produksi semen secara perlahan bangkit lagi dengan dilakukannya langkah penyehatan struktur keuangan. Dalam masa transisi pada paro kedua 1960-an, perusahaan berubah statusnya menjadi PT Persero.

Buku Tidak Resmi

Beberapa buku lain di antaranya adalah buku-buku “tidak resmi” mantan pejabat SG yang telah pensiun. Buku-buku otobiografi itu nuansanya lebih menarik, sayangnya tidak diterbitkan dan hanya untuk kalangan terbatas. .

Achmad Pratjojo Tjondro, mantan Kepala Humas SG, misalnya, mengungkapkan kisah-kisah di balik pembangunan pabrik Semen Gresik, bahkan sejak bulan-bulan pertama pabrik tersebut mulai dibangun.

Laki-laki yang pensiun pada 1994 itu mengisahkan bagaimana ia bekerja sebagai interpreter di proyek pabrik semen tersebut dengan berbekal ijazah SMP. Saat melamar pada pertengahan 1955 di Surabaya, ia baru bekerja tiga bulan di NV HVG Ross,Taylor Ltd, sebuah kantor administrasi perkebunan di Jawa Timur. Setelah wawancara singkat, esoknya Pratjojo langsung diajak berangkat ke Gresik dengan interpreter proyek yang telah diterima lebih dulu.

“Gresik, pertengahan 1955. Proyek pembangunan Pabrik Semen Gresik dimulai…,” begitu Pratjojo mengawali bab “Interpreter Proyek Gresik” dalam bukunya Menggapai Angan-Angan 1.

“Ini adalah sebuah proyek raksasa untuk ukuran waktu itu. Proyek ini dimaksudkan untuk membangun sebuah pabrik semen dengan kapasitas 250.000 ton per tahun dengan teknologi proses basah. Proyek yang menelan biaya US $ 14,5 juta (termasuk nilai lawan Rp 515 juta pengeluaran lokal) ini dananya diperoleh dari pinjaman Eximbank, Amerika Serikat, dengan Bank Industri Negara (BIN) sebagai bank pelaksana. Ditunjuk sebagai kontraktor asing adalah Morrison-Knudsen International Co.Inc. dari Amerika Serikat…” tutur Pratjojo.

Sebagai interpreter, tugas Pratjojo adalah menyampaikan pesan-pesan para tenaga kontraktor asing kepada para pekerja lokal, atau sebaliknya. Betapa pentingnya peran para interpreter itu tak diragukan lagi. Tanpa mereka, pastilah para tenaga kerja asing dan pekerja lokal itu akan berbicara ala Tarzan.

Diungkapkan, tenaga-tenaga lokal itu berasal dari berbagai daerah, sesuai sifat keahlian khas orang-orang dari masing-masing daerah yang bersangkutan. “Mereka kebanyakan berasal dari daerah Gresik: Duduk Sampeyan, Manyar, Sembayat, Cerme, Benjeng, Lamongan, Babat, Surabaya, dan Gresik sendiri,” tulis Pratjojo.

Sebagian dari pegawai tersebut adalah protolan dari industri-industri besar yang sudah ada sebelumnya, juga beberapa orang tamatan Sekolah Teknik. Pratjojo tidak menyebutkan nama, tetapi beberapa warga senior SG yang telah pensiun antara lain adalah D.F. Tomatala dan Pratjojo Sedianto -- tidak ada hubungan keluarga dengan Pratjojo Tjondro. Keduanya adalah lulusan STM. Tomatala kemudian lebih banyak menangani seksi keselamatan kerja, sedang Pratjojo Sedianto lebih dipercaya sebagai Field Engineer SG.

Tomatala mengisahkan, dirinya bekerja di proyek SG sejak 1955 sebagai mandor alat-alat berat, setelah keluar dari pekerjaannya sebagai masinis di PJKA. Setiap hari ia pergi dan pulang Surabaya-Gresik naik sepeda pancal. Ia bersama banyak kawannya senang saja karena gajinya lumayan besar.

Berapa gaji pegawai proyek SG waktu itu? Pratjojo Sedianto mengatakan, dirinya punya gaji Rp 1.300 per bulan. Ini sungguh besar nilainya waktu itu, karena harga 1 kg beras hanya Rp 2. “Indekos di rumah dengan kamar terbaik di Gresik waktu itu hanya 200. Hem merk Hero hanya Rp 40 dan harga mesin jahit paling Rp 1.500,” kata Pratjojo Sedianto.

Buku lain ditulis Afghon Anjasmoro, mantan Dirut PT Varia Usaha, anak perusahaan SG. Otobiografinya itu, berjudul Berakit-rakit ke Hulu, disunting Pratjojo Tjondro.

Salah satu ungkapan sangat menarik adalah saat Afghon berhasil merintis ekspor semen ke Thailand pada tahun 1980. Setelah melalui negosiasi, Thailand setuju mengimpor 50.000 M. Ton semen. Tetapi ia terkejut setelah pulang ke Gresik. Ia ditelpon atasannya bahwa pemerintah menetapkan bahwa realisasi ekspor semen itu akan dilayani tiga perusahaan semen. PT SG kebagian 20.000 M. Ton, Indocement (Tiga Roda) sebanyak 20.000 M. Ton, dan PT Semen Cibinong 10.000 M. Ton. “Aku amat kecewa,” tulis Afghon.

Apalagi, pengiriman semen pertama berasal dari Indocement dan diresmikan oleh Presiden RI, sedang pengiriman semen SG dilepas oleh Gubernur Jawa Timur.

“Ini namanya sapi punya susu, pelanduk punya nama,” tulis Afghon.

Afghon juga mengungkapkan contoh lain dikorbankannya kepentingan nasional demi kepentingan pribadi, di antaranya rencana pembangunan pabrik semen di Madura. Adalah SG yang merintis pembebasan tanah di Madura. Ini tidak mudah karena harus berhadapan dengan masyarakat Madura yang bertemperamen keras. “Tetapi kemudian dengan enak saja pemerintah memerintahkan PT SG untuk membatalkan rencana pembangunan pabrik semen di Madura dan menyerahkannya kepada Indocement dengan alasan Pemerintah tidak punya dana,” tulisnya.”Padahal sebelum kejadian itu, Indocement pernah kekurangan modal dan langsung pemerintah membantunya. Setelah mereka menjadi kuat, mereka kembalikan uang negara itu dan tidak menyetujui usul pemerintah untuk mengubah piutang negara itu menjadi saham negara di PT Indocement.”

Saat upacara pembayaran penggantian dana pembebasan tanah di Madura oleh PT Indocement kepada PT SG, Dirut SG Ir Setiadi Dirgo hadir dengan pakaian hitam-hitam. Di muka para undangan, ia mengatakan: “Tahukah bapak-bapak, mengapa saya berpakaian hitam-hitam? Ini karena saya amat sangat kecewa atas pelepasan proyek ini!”

Soal Dana Bantuan

Beberapa buku tentang SG memang menunjukkan perusahaan “plat merah” itu memiliki sumber daya manusia yang mampu. Afghon, misalnya, juga berhasil membesarkan PT Varia Usaha dan merintis anak-anak perusahaan SG lainnya.

“SG itu pabrik yang membanggakan bangsa ini, jangan sampai dijual kepada pihak asing.Untung SG tak jadi dijual kepada Cemex. Kita perlu ingat Bung Karno yang dulu meresmikan,” kata Afghon..

Adalah Bung Karno yang selalu mendengungkan agar bangsa ini berusaha untuk mandiri alias berdikari, meskipun tidak melupakan negara yang membantu. Dalam buku Sukarno, An Autobiography As Told to Cindy Adams (1965), Bung Karno bahkan secara khusus menjelaskan bantuan Amerika dalam pembangunan proyek SG.

“Pada waktu kami membangun Pabrik Semen Gresik, mereka melatih pegawai kami sehingga di saat pabrik itu mulai jalan, maka orang-orang Indonesia yang berpengalaman mengisi jabatan. Kami menghargai pertolongan ini,” kata Bung Karno.

Tetapi Bung Karno juga mengingatkan, bantuan Amerika itu TIDAK cuma-cuma. Ia bukan sebagai hadiah dari seorang bapak yang kaya kepada anak yang melarat. Ini adalah suatu pinjaman dan dibayar kembali. Meminjam uang bukanlah bantuan.

“Aku tidak meminta kepada Amerika supaya memberi kami uang. Mereka harus mengingat, bahwa kami telah mengemis-ngemis selama hidup.Dan kami takkan melakukannya lagi. Tapi ada pertolongan lain yang dapat diberikan selain uang. Apa yang sungguh-sungguh kuinginkan dari Amerika ialah persahabatan,” tutur Bung Karno pula.

Di saat SG berusia 50 tahun, ada banyak hal yang bisa ditulis menjadi buku. Termasuk kisah di balik berita rencana penjualan saham pemerintah kepada Cemex, konglomerat semen dari Meksiko itu.. Siapa mau menulis kisah-kisah di balik beritanya? Pasti berharga dan menarik untuk diikuti. (*)

1 komentar:

  1. buku otobiografi pak afghon anjasmoro bisa didapatkan di mana ya? terima kasih

    BalasHapus