Jumat, 26 Juni 2009

Strategi Penanggulangan KKN

Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap oleh aparat-aparat penegak hukum di daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Namun, pengungkapan kasus korupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu:

(i) besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan

(ii) relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi di daerah, yaitu:[1]

1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu kebijakan, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;

2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;

3. Para penentu kebijakan, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi; dan

4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.

Selain keempat strategi yang dikemukakan oleh Langseth di atas, Dye dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat “Pillars of Integrity” yang melibatkan delapan pillars of integrity sebagai berikut:[2] (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies)[3], (5) media, (6) sektor swasta,[4] (7) masyarakat sipil,[5] dan (8) lembaga-lembaga penegakan

Tidak ada satupun negara yang bebas KKN. Namun yang membedakan disatu negara dengan negara yang lainnya adalah intensitas, kualitas dan modus operandinya yang tergantung dari adat istiadat dan sistem penegakan hukumnya. KKN untuk masa kini maupun msa yang akan datang merupakan ancaman serius yang dapat membahayakan perkembangan kehidupan bangsa. Selain itu KKN menimbulkan disharmoni dan disintegrasi bangsa baik berdasarkan kepentingan kelompok/golongan atau berdasarkan etnis dan semakin lebarnya jurang perbedaan sosial-ekonomi antara pelbagai lapisan dimasyarakat.

Pemberantasan KKN masa reformasi diamanatkan antara lain melalui TAP MPR RI No XI Tahun 1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi. Namun keberadaan produk hukum tersebut tidak menyelesaikan masalah. Justru praktek KKN masa sekarang dilakukan secara terus terang. Sehingga jika dikaji lebih dalam langkah pemberantasan KKN tidak cukup hanya dengan penetapan kebijakan hukum semata-mata namun perlu diikuti partisipasi dan tanggungjawab sosial dimasyarakat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar