Etika dan Sopan Santun, Makluk Apa Itu?
DPRD Surabaya kini punya Kode Etik. Namun dalam dokumen yang disahkan pada Rabu 16 Agustus 2006 tersebut, banyak rancangan kode etik hasil godokan panitia khusus yang “hilang”, di antaranya soal etika perjalanan dinas dan penerimaan imbalan. Dalam rancangan disebutkan, misalnya, anggota dewan tidak diperkenankan menggunakan fasilitas perjalanan dinas untuk kepentingan pribadi. Anggota dewan juga tidak diperbolehkan menerima imbalan dari semua pihak dengan dalih apa pun. (Jawa Pos, 18 Agustus 2006, hlm 30)
Karena banyak yang “hilang” sebagian besar kode etik yang disahkan dalam sidang paripurna hanya mengatur hal-hal yang normatif. Ada yang menyebut, inilah “kode etik minimalis”. Seorang anggota dewan, yang enggan disebut namanya, menuturkan bahwa bila sampai rancangan-rancangan yang ada disetujui, banyak anggota dewan tidak akan berkutik. Oleh karena itu, meskipun pansus mengajukan, sebagian besar anggota dewan menolak.
Sebuah laporan yang menarik. Kejadian itu segera mengingatkan saya pada kata-kata Indayati Oetomo, International Director Sekolah Kepribadian John Robert Powers (JRP) Indonesia. Mengakhiri tugasnya sebagai Koordinator Media Kampanye Pencalonan Pasangan Erlangga Satriagung-AH Tony dalam Pilkada Walikota Surabaya tahun lalu, Indayati antara lain mengatakan bahwa dunia politik tidak membutuhkan etika dan sopan santun. Ia mengaku sempat shocked betapa banyak orang-orang yang berkecimpung di dunia politik yang tidak sepadan dengan profesi serta jabatan yang disandangnya.
Ditanya wartawan untuk melukiskan lebih rinci, spesialis pengembangan pribadi dan komunikasi itu menyebutkan, ada mereka yang menyebut dirinya profesional tapi tidak memiliki kriteria sama sekali. Tidak memiliki komitmen, tidak memiliki integritas, tidak berani mengambil risiko, dan lebih parah lagi tidak dapat dipercaya. “Tidak dapat saya membayangkan apa jadinya kalau tipe orang semacam itu memimpin perusahaan atau sebagai tokoh dan lebih jauh lagi memimpin negara ini,” kata Indayati pula.
Siapa pun bisa tidak setuju dengan penilaian Indayati itu, atau bahkan boleh mencak-mencak. Tetapi apa yang namanya etika dan sopan santun tampaknya memang semakin menjadi sesuatu yang mahal. Kita bisa melihat bagaimana belakangan ini sejumlah aspiran calon pemimpin daerah jadi rasan-rasan perilaku dan tindakannya. Mereka bilang akan memegang etika dan kesantunan dalam menjalani proses politik, tetapi dalam praktik tidak sesuai dengan omongannya.
Pembicaraan tentang etika dan sopan santun kiranya akan lebih menarik lagi bila kita membaca laporan Majalah Reader’s Digest edisi Juli 2006 yang lalu. Dalam sebuah tulisan berjudul “How Polite Are We?”, media tersebut melaporkan hasil surveinya di 35 kota di seluruh dunia, termasuk Jakarta. Dari Thailand hingga Finlandia, dari Buenos Aires, London, hingga Amsterdam, orang-orang di seluruh dunia mencemaskan bahwa kesantunan makin menjadi barang langka. Dengan skor 1 hingga 100, New York disebut memperoleh skor tertinggi (80%) sebagai kota yang masyarakatnya paling menjaga sopan santun. Kemudian disusul Zurich (Swiss) 77%, Toronto 70%, Berlin (Sao Paulo dan Zagreb, Kroatia masing-masing 68%)), Laporan itu bagi negeri ini sangat menyedihkan karena Jakarta berada di urutan ke-28 dan hanya memperoleh skor 43%. Ibukota kita itu termasuk kelompok 11 kota yang paling rendah nilainya dalam memegang sopan santun, dengan Kuala Lumpur (37%), Bukares (35%) dan Mumbai (32) di tempat terendah. Surabaya memang tidak masuk dalam survei itu, tetapi hasil penelitian itu dapatlah dipakai sebagai “kacabenggala” di mana kira-kira posisi metropolis ini.
Materi “uji kesantunan” itu mungkin saja dinilai kurang memadai, apalagi bila dikaitkan dengan perbedaan nilai budaya dalam sopan santun. Tetapi survei menyangkut lebih dari 2.000 responden itu tetap dapat menjadi pelajaran. Para surveyor independen melakukan tiga ujian. Pertama, surveyor pergi ke gedung publik 20 kali di belakang orang-orang yang disurvei untuk mengetahui apakah mereka akan menahan pintu tetap terbuka untuk mempersilahkan surveyor (yang tidak diketahui maksudnya tentu saja). Kedua, surveyor membeli barang-barang sederhana dari 20 toko dan merekam apakah penjualnya mengucapkan terima kasih. Ketiga, surveyor menjatuhkan setumpuk kertas di 20 lokasi yang banyak orangnya untuk mengetahui apakah ada orang yang menolongnya. Dan seperti telah disebutkan di atas itulah hasilnya.
Apakah kita mau bilang survei itu omong kosong? Sekali lagi, siapa pun boleh tidak percaya. Tetapi kita mungkin bisa membuat survei sendiri, mungkin di jalan-jalan Surabaya. Etika masyarakat bisa dilihat dari sopan santunnya dalam berlalulintas, begitu sering kita dengar pandangan para pakar perkotaan. Apakah kita bisa tersenyum melihat kesantunan para pengguna jalan di kota ini? Jawabnya mungkin tidak.
Cara lain untuk melakukan survei etika dan sopan santun bisa melalui forum pesta atau jamuan makan, khususnya bila prasmanan. Di saat seperti itu, pengalaman kita mungkin akan sama. Itulah ketika sebagian tamu, laki-laki atau perempuan yang bahkan berpakaian necis dan mahal, mengambil kue dan masakan lain dalam porsi yang berlebihan. Kadang makanan yang diambil sampai numpuk-numpuk di piring kecil, dan bahkan ada yang dibungkus dan dibawa pulang. Sebagian kita mungkin hanya tersenyum melihat ulah sebagian tamu itu. Sebagian lainnya boleh jadi geleng-geleng kepala. Bukan karena apa. Betapa egoisnya dan tak tahu malunya mereka.
Jelas tidak mudah untuk mengubah perilaku sebagian orang seperti yang digambarkan itu. Ini menyangkut upaya rekayasa sosial yang membutuhkan kemauan politik para pemimpin, karena harus melihatkan berbagai pihak terutama sekolah. Bisa saja dengan menghidupkan kembali pelajaran budi pekerti seperti di masa lalu.
Tidak ada istilah terlambat. Kita tentu tidak ingin mendengar nanti akan muncul pertanyaan: “Etika dan sopan santun, makhluk apa itu?” (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar