Jumat, 18 September 2009

Keutamaan Itikaf

Banyak Keutamaan Itikaf

BULAN Ramadhan 1430 H, sudah memasuki sepuluh hari terakhir. Sebagian umat Islam yang berpuasa, akan menjalankan itikaf sesuai yang disunnahkan Rasulullah Muhammad SAW.

Iktikaf adalah berdiam di mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah. Hukum itikaf adalah Sunnah Muakkad (yang dikuatkan atau sangat dianjurkan).
Hal ini dilakukan Rasulullah SAW pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan bersama istri-istri, dan para sahabat Nabi. Kebiasaan yang saat ini telah banyak menghilang dan yang tersisa hanyalah tulisan-tulisan dalam buku-buku.

Banyak umat Islam saat ini yang enggan melaksanakan itikaf, padahal begitu banyak keutamaannya.
Tak kurang pula hadist shahih yang menjelaskan mengenai keutamaan itikaf itu, di antaranya:
Dari Abu Hurairah, “Rasulullah SAW ber-itikaf di sepuluh hari akhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mewafatkan beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dari Aisyah, “Telah ber- itikaf Rasulullah bersama istri-istri beliau kecuali aku yang saat itu sedang haid.” (HR Bukhari).
Rasulullah bersabda, “Itikaf itu mencegah dari perbuatan dosa dan mengalirkan kebaikan. Jika engkau ber itikaf, hal itu seperti engkau berbuat semua jenis kebaikan yang ada dimuka bumi.” (HR Ibnu Majah)

SYARAT ITIKAF
Syarat-syarat itikaf, yakni dilaksanakan di Mesjid Jami (mesjid tempat dilaksanakannya salat fardu Jumat) berdasarkan hadist dari Aisyah, “Sunnah bagi orang yang ber-itikaf adalah tidak keluar dari mesjid kecuali jika ada keperluan yang mendesak, tidak menjenguk orang sakit, dan tidak menggauli istrinya. Tidak ada itikaf kecuali di mesjid jami dan sunnahnya bagi yang beritikaf adalah puasa.” (HR Baihaqi dan Abu Daud)

Hal-hal yang dibolehkan dalam ber-itikaf, yakni: Keluar mesjid untuk suatu keperluan seperti mandi, buang air dan urusan yang sangat mendesak berdasarkan hadist riwayat Baihaqi dan Abu Daud di atas.

Wanita dibolehkan ber-itikaf, baik bersama suami maupun sendirian berdasarkan hadist bersumber pada Aisyah, “Telah ber- itikaf Rasulullah bersama istri-istri beliau kecuali aku yang saat itu sedang haid.” (HR Bukhari).
Setelah Rasulullah SAW wafat, kebiasaan itikaf ini diteruskan oleh istri-istri Nabi dan para sahabat Rasulullah.

TAK ADA AMALAN KHUSUS
Sedangkan yang membatalkan itikaf adalah jima (menggauli istri). Hal ini berdasarkan firman Allah dalam QS. Al Baqarah [2]:187.
Tidak ada amalan atau doa khusus yang diajarkan Rasulullah SAW dalam ber-itikaf, tapi Rasulullah saw pernah mengajarkan kepada Aisyah sebuah doa di sepuluh malam terakhir Ramadhan untuk memperoleh Lailatul Qadar.
Aisyah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, pada malam-malam Lailatul Qadar, apa yang sebaiknya aku lakukan?”
Nabi menjawab, “Berdoalah dengan melafazkan, Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, dan menyukai ampunan, maka ampunilah aku) ” (HR At Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah).
Demikianlah penjelasan soal itikaf yang bersumber pada kitab Qiyam Ramadhan karya Syaikh M. Nashiruddin Albani dan Bid’ah-Bid’ah yang dianggap Sunnah karya Syaikh Muhammad Abdussalam, seperti ditulis M. Yasser Fachri dirilis eDakwah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar