Pendekatan ekonomi
konvensional menyatakan GDP atau GNP riil dapat dijadikan sebagai suatu ukuran
kesejahteraan ekonomi (measure of economic welfare) atau kesejahteraan
pada suatu negara. Pada waktu GNP naik, maka diasumsikan bahwa rakyat secara
materi bertambah baik posisinya dan demikian pula sebaliknya, tentunya setelah
dibagi dengan jumlah penduduk (GNP per kapita). Kritik terhadap GNP sebagai
ukuran kesehateraan ekonomi muncul. Para pengkritik
mengatakan bahwa GNP per kapita merupakan ukuran kesejahteraan yang tidak
sempurna. Sebagai contoh, jika nilai output turun sebagai akibat orang-orang
mengurangi jam kerja atau mengambah waktu leisure/istirahatnya
tentunya hal itu bukan menggambarkan keadaan orang itu menjadi lebih buruk.
Secara sederhana formulasi konsep MEW:
MEW: C – public
expenditures – durable goods consumption – loss of welfare due to pollution,
urbanization and congestion + value or durables actually consumed during the
year + value of non-market services +value of leisure.
Nordhaus dan Tobin dari
Yale bersama-sama dalam tahun 1972 mengajukan konsep MEW (Measure of
Economic Welfare), tetapi sayang konsep ini tidak berkembang dan sampai
saat ini cenderung masih digunakan GDP riil per kapita sebagai ukuran
kesejahteraan suatu Negara.
Berikut ini beberapa
keberatan penggunaan GDP riil per kapita sebagai indikator kesejahteraan suatu
Negara:
1. Umumnya hanya
produk yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP. Sedangkan produk yang dihasilkan
dan dikonsumsi sendiri tidak tercakup dalam GNP.
2. GNP juga tidak
menghitung nilai waktu istirahat (leisure time), padahal ini sangat
besar pengaruhnya dalam kesejahteraan. Semakin kaya seseorang akan semakin
menginginkan waktu istirahat.
3. Kejadian buruk
seperti bencana alam tidak dihitung dalam GNP, padahal kejadian tersebut jelas
mengurangi kesejahteraan.
4. Masalah polusi
juga sering tidak dihitung dalam GNP. Banyak sekali pabrik-pabrik yang dalam
kegiatan produksinya menghasilkan polusi air maupun udara. Ini jelas akan
merusak lingkungan.
Bagaimana ekonomi islam
mengkritisi perhitungan GDP riil per kapita yang dijadikan sebagai indikator
bagi kesejahteraan suatu negara?
Satu hal yang
membedakan sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah panggunaan
parameter falah. Falah adalah kesejahteraan yang hakiki, kesejahteraan
yang sebenar-benarnya, di mana komponen-komponen rohaniah masuk ke dalam
pengertian falah ini. Ekonomi Islam dalam arti sebuah sistem ekonomi(nidzom
al-iqtishad) merupakan sebuah sistem yang dapat mengantar umat manusia
kepada real welfare (falah), kesejahteraan yang sebenarnya.
Memang benar bahwa
semua sestem ekonomi baik yang sudah tidak eksis lagi atau telah terkubur oleh
sejarah maupun yang saat ini sedang berada di puncak kejayaannya, bertujuan
untuk menghantarkan kesejahteraan kepada para penganutnya. Namun lebih sering
kesejahteraan itu diwujudkan pada pengingkatan GNP yang tinggi, yang kalau
dibagi dengan jumlah penduduk akan menghasilkan per capita income yang
tinggi. Jika hanya itu ukurannya, maka kapitalis modern akan mendapat angka
maksimal.
Pendapatan per kapita
yang tinggi bukan satu-satunya komponen pokok yang menyusun kesejahteraan. Ia
hanya merupakan necessary condition dalam isu kesejahteraan dan bukan sufficient
condition. Al-Falah dalam pengertian Islam mengacu kepada konsep
Islam tentang manusia itu sendiri. Dalam Islam, esensi manusia ada pada
ruhaniahnya. Karena itu seluruh kegiatan duniawi termasuk ekonomi diarahkan
tidak saja untuk memenuhi tuntutan fisik jasadiyah melainkan juga
memenuhi kebutuhan ruhani di mana ia merupakan esensi manusia.
Maka dari itu selain
harus memasukkan unsur falah dalam menganalisis kesejahteraan,
penghitungan pendapatan nasional berdasarkan Islam juga harus mampu mengenali
bagaimana interaksi instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam
meningkatkan kesejahteraan umat.
Pada intinya, ekonomi
Islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi
dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial Islam.
Setidaknya ada empat
hal yang semestinya bisa diukur dengan pendekatan pendapatan nasional
berdasarkan ekonomi Islam, sehingga tingkat kesejahtraan bisa dilihat secara
lebih jernih dan tidak bias. Empat hal tersebut adalah:
1. Pendapatan
Nasional harus dapat mengukur penyebaran pendapatan individu rumah tangga.
Kendati GNP
dikatakan dapat mengukur kinerja kegiatan ekonomi yang terjadi di pasar, GNP
tidak dapat menjelaskan komposisi dan distribusi nyata dari output per kapita.
Semestinya, penghitungan pendapatan nasional islami harus dapat mengenali
penyebaran alamiah dari output per kapita tersebut, karena dari sinilah
nilai-nilai sosial dan ekonomi Islami bisa musuk. Jika penyebaran pendapatan
individu secara nasional bisa dideteksi secara akurat, maka akan dengan mudah
dikenali seberapa besar rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Barangkali inilah
yang menjelaskan, ketika pemerintahan SBY memberikan Bantuan Tunai Langsung
(BLT) kepada rakyat miskin, terjadi banyak ketidakpuasan, karena daftar yang
nyata dari rakyat yang dikatagorikan miskin sesungguhnya sangat tidak akurat.
Penghitungan dari BPS didasarkan pada survei yang kurang mencermikan kenyataan
sesungguhnya, sementara angka GNP memang tidak dapat digunakan untuk mendeteksi
jumlah penduduk miskin.
Demikian pula GNP
tidak mampu mendeteksi kegiatan produksi yang tidak ditransaksikan di pasar.
Itu artinya kegiatan produktif keluarga yang langsung dikonsumsi dan tidak
memasuki di pasar tidak tercatat di dalam GNP. Padahal kenyataan ini sangat
mempengaruhi kesejahtraan individu. Sesengguhnya angka ini bisa diperoleh
melalui satu survei nasional yang menyeluruh. Pendapatan per kapita yang
diperoleh melalui survei demikian, bisa diduga, akan mengahasilakan angka yang
lebih besar ketimbang GNP per kapita.
Persoalan lainnya
adalah, di dalam penghitungan GNP konvensional, produksi barang-barang mewah
memiliki bobot yang sama dengan produksi barang-barang kebutuhan pokok.
Maksudnya, produksi beras yang menghasilkan uang Rp 10 juta, sama nilainya
dengan produksi perhiasan emas yang juga menghsilkan Rp 10 juta. Maka untuk
lebih mendekatkan pada ukuran kesejahteraan, ekonomi Islam menyarankan agar
produksi kebutuhan pokok memiliki bobot yang lebih berat ketimbang produksi
barang-barang mewah.
2.
Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Produksi Di Sektor Pedesaaan.
Sangatlah
disadari bahwa tidak mudah mengukur secara akurat produksi komoditas subsisten,
namun bagaimanapun juga perlu satu kesepakatan untuk memasukkan angka produksi
komoditas yang dikelola secara subsistem tersebut ke dalam penghitungan
pendaptan nasional. Komoditas subsisten ini, khususnya pangan, sangatlah
penting di negara-negara muslim yang baru dalam beberapa dekade ini masuk dalam
percaturan perekonomian dunia.
Satu contoh
betapa tidak sempurnanya perkiraan produksi komoditas subsisten ini adalah,
kita tidak pernah benar-benar dapat mengetahui berapa sesungguhnya pendapatan
masyarakat desa dari sektor subsisten ini. Oleh karena itu sangat dibutuhkan
pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan, khususnya berkaitan dengan tingkat
kesejahteraan rakyat lapisan bawah yang secara masa memiliki jumlah terbesar.
Untuk mengetahui
tingkat produksi komoditas subsisten ini, harus diketahui terlebih dahulu
tingkat harga yang digunakan. Pada umumnya ada dua jenis harga pasar, yakni
harga yang secara nyata diterima petani atau diharapkan akan diterima oleh
petani, dan satu set harga lainnya adalah nilai yang dibayar oleh konsumen di
pasar eceran. Peningkatan produksi pertanian di tingkat rakyat pedesaan,
umumnya justru mencerminkan penurunan harga produk-produk pangan di tangat
konsumen suburban, atau sekaligus mencerminkan peningkatan pendapatan para
pedagang perantara, yang posisinya berada di antara petani dan konsumen. Ketidakmampuan
mendeteksi secara akurat pendapatan dari sektor subsisten ini jelas satu
kelemahan yang harus segera diatasi, karena di sektor inilah bergantung nafkah
dalam jumlah besar, dan di sinilah inti masalah dari distribusi pendatapan.
3.
Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Kesejahteraan Ekonomi Islami
Kita sudah
melihat bahwa angka rata-rata pendapatan per kapita tidak menyediakan kepada
kita informasi yang cukup untuk mengukur kesejahtraan yang sesugguhnya. Adalah
sangat penting untuk mengekspresikan kebutuhan efektif atau kebutuhan dasar
akan barang dan jasa, sebagai persentase total konsumsi. Hal itu perlu
dilakukan karena kemampuan untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan,
perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, rekreasi dan pelayanan
publik lainnya, sesungguhnya bisa menjadi ukuran bagaimana tingkat kesejahtraan
dari suatu negara atau bangsa.
Sungguh menarik
untuk mengkaji apa yang dilakukan Nordhaus dan Tobin dengan Measures for
Economics Welfare (MEW), dalam konteks ekonomi barat. Kalau GNP mengukur hasil,
maka MEW merupakan ukuran dari konsumsi rumah tangga yang memberi kontribusi
kepada kesejahtraan manusia. Perkiraan MEW didasarkan kepada asumsi bahwa
kesejahtraan rumah tangga yang merupakan ujung akhir dari seluruh kegiatan
ekonomi sesungguhnya sangat bergantung pada tingkat konsumsinya.
Beranjak dari definisi
konsumsi yang ada selama ini, kedua proffesor itu lalu membagi jenis konsumsi
ke dalam tiga katagori:
a.
Belanja untuk keperluan publik, seperti membuat jalan, jembatan, jasa polisi
dll.
b.
Belanja rumah tangga, seperti membeli TV, mobil, dan barang-barang yang habis
dipakai.
c.
Memperkirakan berkurangnya kesejahtraan sebagai akibat urbanisasi, polusi, dan
kemacetan.
Disamping tiga kategori di atas, kedua profesor itu juga mambuat tiga tambahan
pendekatan lagi, yakni:
a.
Memperkirakan nilai jasa dari barang-barang tahan lama yang dikonsumsi selama
setahun.
b.
Memperkirakan nilai dari perkerjaan-pekerjaan yang dilakukan sendiri, yang
tidak melalui transaksi pasar.
c.
Memperkirakan nilai dari rekreasi.
Meski MEW ini diukur
dalam konteks barat, konsep ini sebenarnya menyediakan petunjuk-petunjuk yang
berharga untuk memperkirakan level kebutuhan hidup minimum secara islami.
4.
Penghitungan Pendapatan Nasional Sebagai Ukuran Dari Kesejahteraan Sosial
Islami Melalui Pendugaan Nilai Santunan Antar Saudara dan Sedekah.
Kita tahu bahwa
GNP adalah ukuran moneter dan tidak memasukkan transfers payments
seperti sedekah. Namun haruslah disadari, sedekah memiliki peran yang
signifikan di dalam masyarakat islam. Dan ini bukan sekedar pemberian suka rela
kepada orang lain namun merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan
kehidupan beragama. Di dalam masyarakat Islam, terdapat satu kewajiban
menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Meski tidak gampang
memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan semacam ini dapat
menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya sistem
keamanan sosial yang mengakar di masyarakat islam.
Di sejumlah
negara muslim, jumlah dan kisaran dari kegiatan dan transaksi yang didasarkan
pada keinginan untuk melakukan amal kebajikan, memiliki peran lebih penting
dibanding negara barat. Tidak hanya karena luasnya kisaran dari kegiatan
ekonomi yang diambil alih oleh keluarga maupaun suku, tetapi juga ada begitu
banyak ragam kewajiban santunan di antara anggota keluarga. Tidak semuanya
melibatkan jumlah uang yang besar, karena yang terjadi kadang-kadang hanya merupakan
hibah berupa barang atau jasa yang kecil nilainya. Ada satu kesenjangan keterikatan antara jasa
dan pembayaran, misalnya donasi untuk pemeliharaan masjid, menggaji imam
masjid, kegiatan pedesaan, dll.
Adalah penting
untuk menentukan sifat alami dan tingkatan dari amal shadaqah antar saudara.
Melalai peningkatan pencatatan dan sektor tambahan dari aktivitas ini dapat
dikaji untuk pengambilan keputusan.
Dibanding amal
sedekah yang sering dikeluarkan umat Islam kepada mereka yang kurang beruntung,
sesungguhnya lebih mudah mengestimasi zakat, satu kewajiban pembayaran transfer
yang paling penting di negara muslim. Kini sedang diupayakan mengukur
pendapatan dari zakat sebagai persentase dari GNP. Pengukuran ini akan sangat
bermanfaat sebagai variabel kebijakan di dalam pengambilan keputusan di bidang
sosial dan ekonomi, sebagai bagian dari rancangan untuk mengentaskan
kemiskinan. Pendayagunaan peran zakat untuk mengatasi masalah kemiskinan di
negara-negara muslim kini tengah menjadi agenda negara-negara tersebut.
Pengukuran
Pendapatan Nasional Tolok ukur yang biasa dipakai untuk mengukur keberhasilan
perekonomian suatu negara diantaranya adalah pendapatan nasional, produk
nasional, tingkat kesempatan kerja, tingkat harga dan posisi neraca pembayaran
luar negeri. Pendapatan nasional (National Income) adalah merupakan salah satu
tolok ukur yang sangat penting dalam menganalisis dan mengatasi masalah-masalah
ekonomi makro yang dihadapi masyarakat sesuatu negara. Dalam menghitung
pendapatan nasional terdapat tiga metode yang dapat digunakan yakni: 1. Metode
produksi (Production Approach) 2. Metode pendapatan (Income Approach) 3. Metode
pengeluaran (Expenditure Approach) Metode Produksi. Penghitungan pendapatan
nasional dengan metode produksi ini didasarkan atas jumlah nilai dari barang
dan jasa yang dihasilkan sesuatu masyarakat atau negara dalam satu tahun. Semua
nilai hasil akhir barang dan jasa tersebut dijumlahkan. Apabila jumlah produk
ke 1 kita tandai dengan Q1, produk ke 2 kita tandai dengan Q2, dan seterusnya
hingga produk ke n kita tandai dengan Qn, sedangkan di lain pihak harga satuan
produk kita tandai dengan P1, harga satuan produk ke 2 kita tandai dengan P2,
dan seterusnya hingga satuan produk ke n yang kita tandai dengan Pn, maka dalam
bentuk persamaan matematika pendekatan produk akan kita dapatkan: NI = P1Q1 +
P2Q-2 + ..... + PnQn atau NI = EMBED Equation.2 yang mempunyai makna bahwa
pendapatan nasional atas dasar harga pasar (NI) besarnya sama dengan produk
nasional atas dasar harga pasar. Metode Pendapatan. Perhitungan pendapatan
nasional dengan mengunakan metode pendapatan adalah dengan menjumlahkan semua
pendapatan yang diperoleh semua pelaku ekonomi dalam suatu masyarakat atau
negara pada periode tertentu. Pendapatan tersebut berupa p-endapatan dari sewa,
bunga, upah, keuntungan dan lain sebagainya. Angka yang diperoleh dari
penghitungan pendapatan nasinal dengan menggunakan metode ini menunjukkan
besarnya Pendapatan Nasional (National Income = NI). Metode Pengeluaran. Dalam
penghitungan pendapatan nasional dengan metode pengeluaran, ad-alah dengan
menjumlahkan seluruh pengeluaran sektor ekonomi, yakni dari rumahtangga,
perusahaan, pemerintah dan sektor luar negeri pada suatu masyarakat atau negara
pada periode tertentu. Angka yang diperoleh dari perhitungan ini menunjukkan
besarnya Produk Nasional bruto (Gross National Product = GNP) masyarakat dalam
perekonomian negara tersebut. Ke-tiga cara di atas akan menghasilkan nilai yang
sama. Dengan kata lain, GNP = GNI = GNE. Beberapa bentuk dari istilah
"Pendapatan nasional" Definisi dari pendapatan nasional. * Produk
Nasional Bruto: pendapatan nasional yang dihitung dengan cara pengeluaran *
Produk Domestik Bruto: pendapatan nasional yang dihitung secara produksi *
Pendapatan Nasional: pendapatan nasional yang dihitung secara pendapatan Dari
definisi pendapatan nasional, ini berarti walaupun barang- barang yang
diciptakan adalah berbetuk benda, pendapatan nasional dihitung dengan
menentukan nilai uang dari berbagai jenis barang dan jasa yang diproduksi oleh
sesuatu perekonomian. Tujuannya untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh
perbedaan dalam satuan penghitungan. Pendapatan Nasional Menurut Harga yang
Berlaku dan Pendapatan Nasional Riil Dengan adanya perubahan harga yang berlaku
dari satu tahun ke tahun lainnya, maka nilai pendapatan nasional yang dihitung
menurut harga yang berlaku pada tahun di mana barang dan jasa yang dijual ke
pasar tidak selalu mencerminkan perubahan jumlah produksi barang dan jasa yang
sebenarnya terjadi dalam perekonomian. Untuk mengatasinya, haruslah dipastikan
agar nilai-nilai pendapatan nasional yang diperbandingkan tersebut dihitung
menurut harga yang tetap. Yang dimaksud, pendapatan nasional menurut harga
tetap atau pendapatan nasional riil. Sebaliknya adalah pendapatan nasional
menurut harga yang berlaku. Cara yang paling sederhana untuk menentukan
pendapatan nasional riil adalah dengan mendeflasikan nilai pendapatan nasional
menurut harga yang berlaku, yakni dengan cara menghitung nilai pendapatan
nasional riil dari berbagai tahun dengan mengabaikan pengaruh kenaikan harga
yang terjadi dari tahun ke tahun terhadap kenaikan pendapatan nasional pada
tahun yang bersangkutan dengan menggunakan indeks harga. Salah satu tujuan dari
penghitungan pendapatan nasional adalah untuk mengetahui perkembangan ekonomi
suatu negara, yakni dengan mengetahui pertambahan pendapatan nasional riil
yang terjadi dalam satu tahun tertentu pada sesuatu negara yang berlaku dari
tahun ke tahun. EMBED Equation.2 EMBED Equation.2 GNPr1 : pendapatan
nasional riil pada tahun yang tingkat perkembangan ekonominya akan ditentukan.
GNPr0 : pendapatan nasional riil pada tahun sebelumnya. G : tingkat
perkembangan ekonomi yang dicapai dinyatakan dalam persentasi dari GNPr0
Pendapatan Nasional dengan Metode Pengeluaran Di negara-negara yang
perekonomiannya sudah sangat maju, menghitung pendapatan nasional dengan cara
pengeluaran adalah cara yang paling penting. Karena dapat memberikan gambaran
mengenai tingkat kegiatan ekonomi yang telah dicapai. Dalam menghitung nilai
pendapatan nasional menurut metode pengeluaran, kita harus dapat membedakan
antara barang jadi dan barang setengah jadi. Hal ini karena dalam perekonomian
suatu negara sering berlaku keadaan di mana sesuatu barang diproses oleh
beberapa perusahaan sebelum menjadi barang jadi. Berarti suatu barang jadi
mungkin telah beberapa kali diperjual belikan di pasar sebelum selesai
mengalami proses produksi. Apabila semua nilai jualbeli yang terjadi dijumlahkan
ke dalam pendapatan nasional, maka nilai yang diperoleh akan lebih besar
dibandingkan nilai produksi yang sebenarnya telah diciptakan. Untuk menghindari
hal tersebut, maka yang harus dijumlahkan di dalam menghitung pendapatan
nasional adalah: (1) nilai barang jadi saja, atau (2) nilai-nilai tambahan yang
diciptakan dalam setiap tingkat proses produksi. Penghitungan pendapatan
nasional dengan metode pengeluaran, membedakan pengeluaran dalam 4 golongan,
yaitu: 1. Pengeluaran konsumsi rumahtangga, yakni pengeluaran yang dilakukan
oleh rumah tangga- rumah tangga atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh
berbagai perusahaan. 2. Konsumsi pemerintah, yakni pengeluaran yang dilakukan
oleh pemerintah atas barang yang bersifat konsumtif, artinya barang bukan
kepentingan investasi. 3. Pembentukan modal bruto atau investasi bruto, yakni
pengeluaran yang dilakukan oleh para pengusaha guna membeli barang dan modal
untuk mendirikan perusahaan ataupun memperluas perusahaan sendiri. 4. Ekspor
bersih atau ekspor neto, yakni penjualan barang dan jasa yang diproduksikan di
negara yang bersangkutan ke negara lain dikurangi dengan pengeluaran atas
barang dan jasa yang diproduksikan di negara lain oleh penduduk negara
tersebut. Atau dengan kata lain ekspor neto adalah ekspor bruto dikurangi impor
Penggolongan ini sesuai dengan corak analisis makroekonomi, yang juga
membedakan jenis pengeluaran dalam masyarakat seperti yang dilakukan dalam
penghitungan pendapatan nasional dengan cara pengeluaran. Nilai yang diperoleh
dalam perhitungan dinamakan Produk Nasional Bruto (GNP atau Gross National
Product) menurut harga pasar. Ada
juga yang menyebut sebagai pengeluaran atas pendapatan nasional, karena
nilai-nilai yang ditunjukkan dalam penghitungan tersebut menggambarkan berbagai
jenis pengeluaran atas barang dan jasa yang diproduksi di negara itu. Peranan
Berbagai Sektor Dalam Menciptakan Pendapatan Nasional Cara kedua untuk
menghitung pendapatan nasional adalah dengan cara produksi. Nilai pendapatan
nasional diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai-nilai tambahan yang
diciptakan oleh tiap-tiap sektor yang ada dalam perekonomian. Seluruh nilai
tambahan yang diciptakan dalam sesuatu sektor merupakan nilai produksi dari
sektor tersebut yang disumbangkan kepada pendapatan nasional. Di samping untuk
menunjukkan besarnya kontribusi dari tiap-tiap sektor ekonomi kepada pendapatan
nasional, penghitungan pendapatan nasional dengan cara produksi dilakukan hanya
dengan menjumlahkan nilai-nilai tambahan yang diciptakan, adalah dengan tujuan
untuk menghindari penghitungan dua kali. Dalam proses produksi barang jadi,
akan menggunakan barang setengah jadi yang dihasilkan oleh industri lain,
artinya output suatu perusahaan menjadi input bagi perusahaan lain. Misalnya
yang termasuk produksi pakaian adalah produksi tukang jahit, produksi kue
dengan produksi terigu dan sebagainya. Sebagai contoh, nilai penjualan dari
seluruh perusahaan yang tergolong dalam industri pakaian adalah sebesar Rp. 3
milyar. Nilai bahan mentah untuk memproduksi barang tersebut sebesar Rp.750
juta, maka nilai pendapatan nasional dari sektor industri pakaina yang dihitung
berdasarkan metode produksi bukan sebesar Rp. 3 milyar, karena di dalamnya
terdapat nilai bahan mentah sebesar Rp.750 juta yang dihitung pada saat
menghitung nilai pendapatan nasional dari sektor industri barang setengah jadi.
Dengan demikian terjadi penghitungan dua kali. Untuk menghindari hal tersebut,
yang dihitung adalah nilai tambah yang diciptakan oleh industri tiap sektor.
Dari contoh di atas nilai tambah yang diciptakan dalam industri pakaian adalah
Rp. 3 milyar dikurangi Rp.750 juta, yakni sebesar Rp. 2 milyar 250 juta. Nilai
tersebut merupakan besarnya sumbangan industri itu kepada pendapatan nasional.
Perbedaan antara Produk Nasional Bruto Menurut Harga Pasar dengan Produk
Domestik Bruto Menurut Harga Faktor Nilai pendapatan nasional yang dihitung
dengan metode pengeluaran biasa disebut dengan Produk Nasional Bruto menurut
harga pasar, sedangkan dengan metode produksi biasa disebut dengan Produk
Domestik Bruto menurut harga faktor. Faktor yang menyebabkan perbedaan penggunaan
istilah tersebut adalah: 1. penghitungan pendapatan nasional dengan menggunakan
metode pengeluaran berbagai barang dan jasa yang termasuk dalam pendapatan
nasional dihitung menurut harga pasar. Dengan cara produksi, nilai produksi
yang diciptakan oleh berbagai sektor dihitung menurut harga faktor (gaji dan
upah, bunga, sewa dsb). 2. perbedaan kedua cara penghitungan pendapatan
nasional tersebut adalah dalam memperlakukan: (i) pendapatan faktor produksi
yang dimiliki negara-negara lain yang digunakan di negara tersebut (ii)
pendapatan yang diperoleh penduduk negara itu dari faktor produksi yang
dimilikinya, yang digunakan oleh negara lain. Perbedaan nilai antara pernyataan
(i) dengan pernyataan (ii) disebut dengan: pendapatan faktor neto dari luar
negeri. Dalam penghitungan pendapatan nasional dengan metode produksi, nilai
pendapatan faktor dari luar negeri tidak termasuk dalam nilai pendapatan
nasional, akan tetapi nilai pembayaran pendapatan faktor ke luar negeri diperhitungan.
Pendapatan Nasional: Pendapatan dari Faktor Produksi Cara Menggolongkan
Pendapatan Faktor Produksi Pendapatan nasional tidak ditentukan dengan
menghitung dan menjumlahkan seluruh gaji dan upah, sewa, bunga serta keuntungan
yang diterima oleh seluruh faktor produksi dalam satu tahun tertentu. Karena
dalam perekonomian terdapat banyak kegiatan di mana pendapatannya merupakan
gabungan dari gaji atau upah, sewa, bunga dan keuntungan. Penghitungan
pendapatan nasional dengan metode pendapatan, pada umumnya menggolongkan
pendapatan yang diterima faktor-faktor produksi dengan cara sebagai berikut: 1.
Pendapatan para pekerja, yakni: gaji dan upah. 2. Pendapatan dari usaha
perseorangan (perusahaan perseorangan). 3. Pendapatan dari sewa. 4. Bunga neto,
yakni: seluruh nilai pembayaran bunga yang dilakukan dikurangi bunga pinjaman
konsumsi dan bunga pinjaman pemerintah. 5. Keuntungan perusahaan. Bunga
pinjaman pemerintah dan bunga pinjaman untuk konsumsi tidak dihitung sebagai
bagian dari pendapatan nasional karena dipandang pembayaran bunga yang
diperoleh tersebut bukanlah bunga yang dibayarkan kepada modal yang dimiliki
oleh masyarakat dan perusahaan, yang dipinjamkan untuk digunakan dalam
kegiatan yang bertujuan untuk melakukan pembentukan modal/investasi.
Berdasarkan alasan yang sama bunga yang dibayar oleh konsumen untuk membeli
barang-barang konsumsi secara cicilan tidak termasuk sebagai bagian dari
pendapatan nasional. Penghitungan Pendapatan Nasional di Indonesia Penghitungan
Menurut Metode Produksi Pendapatan nasional di Indonesia yang dihitung dengan
cara produksi, nilai pendapatan nasional yang diperoleh dinamakan Produk
Domestik Bruto menurut harga pasar. Hal ini berarti di dalam menilai produksi
yang tercipta di tiap-tiap sektor, bukan saja dihitung pembayaran kepada
faktor-faktor produksi yang digunakan, tetapi juga pajak tak langsung yang
dibayar oleh tiap-tiap sektor. Penghitungan Menurut Metode Pengeluaran Dengan
penghitungan pendapatan nasional menggunakan metode pengeluaran, maka dapat
diketahui sekaligus Produk Domestik Bruto, Produk Nasional Bruto dan Pendapatan
Nasional. Yang terlebih dahulu diperoleh adalah Produk Domestik Bruto. Dalam
penghitungan pendapatan nasional Indonesia dan beberapa negara
berkembang lainnya, dari penjumlahan berbagai jenis pengeluaran dalam
masyarakat yang kemudian dikurangi dengan impor diperoleh Produk Domestik Bruto
menurut harga pasar. Untuk memperoleh Produk Nasional Bruto, maka Produk Domestik
Bruto harus ditambah dengan pendapatan faktor bersih dari luar negeri. Apabila
Produk Nasional Bruto dikurangi pajak tak langsung neto (pajak tak langsung
dikurangi subsidi) dan penyusutan nilai, maka akan diperoleh Pendapatan
Nasional. Meskipun penghitungan pendapatan nasional dengan metode pendapatan
tidak dilakukan di Indonesi, namun nilai pendapatan nasional masih dapat
diperoleh.
[+/-] Selengkapnya...
[+/-] Ringkasan...